Pada hari Selasa, 14 Januari 2025, Kejaksaan Agung menangkap RS, mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, atas dugaan keterlibatannya dalam kasus penjatuhan vonis bebas terhadap Ronald Tanur di Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam kasus tersebut, RS diduga menerima uang sebesar 20.000 dolar Singapura dari ED (Hakim Ketua Majelis) dan 43.000 dolar Singapura dari LR (pengacara Ronald Tanur) atas perannya dalam pemilihan majelis hakim yang membebaskan Ronald Tanur. Namun demikian, ketika penggeledahan dilakukan terhadap 2 (dua) unit rumah RS, Kejaksaan Agung ternyata menemukan uang dengan jumlah yang jauh lebih besar dalam beberapa pecahan mata uang, yaitu sebesar 1.728.844.000 Rupiah, 388.600 dolar Amerika Serikat, dan 1.099.626 dolar Singapura, sehingga total jumlah uang yang ditemukan dalam penggeledahan setara dengan sekitar 21 miliar Rupiah. Saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan RS sebagai tersangka dan langsung melakukan penahanan terhadap RS.
RS menambah panjang daftar nama pejabat pengadilan di posisi kepemimpinan yang harus menjalani proses hukum karena dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi. Kita tentu masih ingat nama dua orang mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi dan Hasbi Hasan, yang sebelumnya dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Selain nama-nama tersebut, kita juga masih punya nama-nama unsur pimpinan pengadilan lainnya di dalam daftar tersebut. Sebut saja Setyabudi Tejocahyono (Wakil Ketua PN Bandung, 2013), Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan, 2015), Janner Purba (Ketua PN Kepahiang, 2016), dan Sudiwardono (Ketua PT Manado, 2017). Dan tentu saja, dua orang mantan Hakim Agung, Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh, serta ZR, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA (BLDK), yang kasus korupsinya masih hangat hingga sekarang. Meskipun bukan pimpinan, jabatan Hakim Agung dan Kepala BLDK adalah jabatan penting dan sangat strategis, yang seharusnya steril dari orang-orang dengan integritas yang bermasalah.
Kasus-kasus di atas semakin menegaskan bahwa posisi strategis pada lembaga peradilan, termasuk di Mahkamah Agung (MA), masih terlalu sering ditempati oleh individu-individu yang rawan membahayakan integritas lembaga. Hal ini patut disayangkan karena tentunya akan berdampak pada semakin buruknya citra pengadilan dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Peristiwa ini juga akan mencoreng capaian-capaian penting reformasi peradilan yang telah digulirkan oleh Mahkamah Agung untuk mewujudkan lembaga pengadilan yang lebih profesional dan bebas dari korupsi.
Panjangnya daftar personil pengadilan yang terjerat kasus suap dan mafia peradilan di luar nama-nama tersebut di atas tentu menjadi masalah untuk kita. Namun daftar nama di atas, yang terdiri dari orang-orang dengan posisi penting dan strategis di pengadilan, menyalakan alarm keras: ada krisis kepemimpinan di pengadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa orang-orang yang bermasalah secara integritas dapat mengisi posisi kepemimpinan yang penting dan strategis di Mahkamah Agung. Lebih dari itu, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai apakah perilaku koruptif orang-orang tersebut sama sekali tidak terdeteksi di lingkungan pengadilan dan oleh sistem pengawasan MA. Perlu diketahui bahwa RS bahkan pernah menduduki jabatan Ketua pengadilan di pengadilan yang paling bergengsi lainnya, yaitu PN Jakarta Pusat, setelah bertugas sebagai Ketua PN Surabaya. Jika tidak tersandung dan ditangkap, bukan tidak mungkin RS akan terus melaju menduduki jabatan-jabatan penting lainnya di pengadilan dan Mahkamah Agung.
Penangkapan RS mempertegas indikasi bahwa korupsi di pengadilan (judicial corruption) masih menjadi masalah sistemik yang mengakar dan struktural, terutama dalam manajemen perkara dan akuntabilitas kepemimpinan pengadilan. Harus diakui bahwa upaya dan capaian pembaruan yang dilaksanakan Mahkamah Agung dengan dukungan berbagai pihak belum dapat dengan tuntas menyelesaikan masalah sistemik tersebut. Kasus ini mengungkap fakta bahwa korupsi di lembaga peradilan tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga disebabkan oleh sistem kelembagaan yang masih membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan pengadilan. Kasus RS adalah bukti nyata bahwa struktur hierarki dalam lembaga peradilan masih memungkinkan praktik korupsi melalui penyalahgunaan otoritas dalam pengelolaan perkara dan pemilihan majelis hakim.
Alarm ini tidak dapat lagi direspon dengan biasa-biasa saja. Mahkamah Agung perlu menjadikan peristiwa penangkapan RS sebagai momentum untuk “bersih-bersih” lembaga pengadilan dari praktik korupsi. Komposisi kepemimpinan MA yang saat ini diketuai oleh Ketua MA Sunarto bisa dikatakan komposisi yang paling baik, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Harapan besar—kalau tidak boleh disebut tuntutan— tentu diarahkan kepada Ketua MA Sunarto dan jajaran pimpinan MA lainnya untuk segera mengambil langkah yang lebih strategis. Dengan modal rekam jejak dan integritas yang kuat, serta dukungan mayoritas Hakim Agung yang tercermin dari hasil pemilihan Ketua MA Oktober lalu, harapan untuk melihat pengadilan yang bersih dan bermartabat tentu bukan harapan kosong belaka.
Ujian terbesar Pimpinan MA saat ini adalah memastikan posisi-posisi kepemimpinan pengadilan diisi oleh figur-figur dengan rekam jejak yang bersih. Kegagalan Mahkamah Agung dalam memastikan posisi-posisi kunci diisi oleh figur-figur yang qualified dan berintegritas tinggi adalah ancaman serius bagi fondasi kelembagaan dan kredibilitas lembaga peradilan. Jika krisis ini tidak segera diatasi, lembaga peradilan berisiko semakin kehilangan legitimasi di mata publik dan semakin jauh dari visi mewujudkan peradilan yang agung, independen, dan bersih dari korupsi.
Terlepas dari hal-hal di atas, peristiwa penangkapan RS perlu dilihat sebagai angin segar dalam pemberantasan korupsi di dunia peradilan, khususnya lembaga pengadilan. Oleh karena itu, kami mendukung segala upaya untuk membersihkan lembaga pengadilan dari praktik-praktik korupsi guna meningkatkan integritas lembaga pengadilan dan memulihkan kepercayaan publik kepada lembaga pengadilan. Kami berharap semua pihak yang terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dapat bersinergi guna membongkar semua praktik judicial corruption di lndonesia dan mengusut serta memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam kasus korupsi di pengadilan, baik dalam kasus ini, maupun kasus-kasus lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, kami Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menyatakan hal-hal sebagai berikut:
- Meminta Pimpinan Mahkamah Agung untuk merapatkan barisan dan meningkatkan soliditas untuk mengambil langkah konkret dalam proses seleksi dan evaluasi kepemimpinan pengadilan serta satuan-satuan kerja di Mahkamah Agung, agar hanya figur dengan integritas dan profesionalitas tertinggi yang dapat menduduki posisi-posisi strategis;
- Meminta Mahkamah Agung untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pengawasan internal serta memastikan bahwa reformasi peradilan tidak hanya berfokus pada aspek kelembagaan, tetapi juga mengatasi korupsi yang bersifat sistemik, struktural dan kultural;
- Mendorong semua pihak yang terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi untuk bersinergi dalam membongkar praktik judicial corruption di lndonesia dan mengusut serta memproses hukum pihak-pihak yang terlibat.
Narahubung:
Muhammad Tanziel Aziezi (Direktur Eksekutif LeIP)
0822600152523; tanziel.aziezi@leip.or.id