MENINJAU KEMBALI FORMAT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
oleh: Ade Rizky Fachreza, SH.
Tiga tahun terakhir, Mahkamah Agung RI (MA) berhasil mempercepat proses penanganan perkara, khususnya pada proses memutus perkara. Keberhasilan ini ditandai oleh kian meningkatnya produktivitas MA dalam memutus perkara. Pada tahun 2015 saja, rasio produktivitas MA mencapai 78,53% (14.452 perkara dari total beban MA 18.402 perkara), dengan menyisakan perkara yang belum diputus sebanyak 3.950. Namun, tingginya produktivitas dalam memutus perkara, belum diimbangi dengan peningkatan produktivitas dalam minutasi perkara. Akibatnya, beban minutasi yang harus diselesaikan oleh MA semakin membengkak.
Memang jumlah perkara yang telah diminutasi pada tahun 2015 meningkat, dari sebanyak 13.069 perkara[1] pada tahun 2014 menjadi 14.172 perkara. Namun dari 14.172 perkara yang telah diminutasi hanya sebanyak 2.484 perkara register 2015, sebanyak 7.006 perkara diregister 2014, dan 4.682 perkara yang register sebelum tahun 2014.[2] Selain itu, dari sisi waktu penyelesaian, hanya sekitar 29% perkara yang bisa diminutasi dalam waktu di bawah 6 bulan, sedangkan 70.71% sisanya diminutasi lebih dari 6 bulan bahkan sampai lebih dari 2 tahun.[3]
Salah satu pangkal permasalahan dalam hal tersebut yaitu format/template putusan yang tidak sederhana. Putusan MA memuat banyak informasi yang telah dimuat dalam putusan pengadilan tingkat bawah, seperti surat dakwaan (putusan pidana), gugatan, jawab jinawab dan informasi lain yang sebenarnya tidak terkait dengan pemeriksaan perkara di tingkat MA. Sedangkan bagian pertimbangan putusan, yang merupakan bagian yang benar-benar dibuat oleh Mahkamah Agung sendiri rata-rata hanya berjumlah 1-2 halaman.
Tulisan ini akan mencoba untuk mengulik permasalahan yang terjadi dalam format putusan MA saat ini. Penulis juga mencoba untuk memberikan rekomendasi akan permasalahan yang dialami oleh MA mengenai inefisiensi format putusan MA saat ini.
[1] Laporan Tahunan MA RI Tahun 2014, hlm. 30.
[2] Laporan Tahunan MA RI Tahun 2015, hlm. 20.
[3] Ibid., hlm. 21.