Setelah sehari sebelumnya masyarakat disuguhi tontonan memalukan kekisruhan bahkan diwarnai kekerasan dalam rapat DPD, polemik pemilihan Ketua DPD justru kemudian diamini oleh MA yang melantik Ketua DPD baru hasil pemilihan yang penuh sengketa tersebut. Sikap MA ini mengecewakan, mengingat sehari sebelumnya MA pula yang membatalkan putusan DPD tentang pergantian pimpinan DPD, yang menjadi dasar proses pemilihan yang dilaksanakan kemarin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketua DPD baru Oesman Sapta dan wakil ketua baru Nono Sampono dan Damayanti Lubis adalah produk dari proses yang tidak lagi memiliki dasar hukum karena putusan DPD tersebut telah dibatalkan sendiri oleh MA.
Langkah MA untuk tetap mengambil sumpah yang diwakili oleh Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial ini sangat disayangkan. Langkah tersebut juga dapat dipandang bahwa MA seolah-olah menginjak-injak putusannya sendiri yang memutus bahwa Tata Tertib DPD yang menjadi dasar pemilihan Ketua DPD yang berlangsung sebelumnya tidak sah, sebagaimana tertuang dalam putusan MA No. 20 P/HUM/2017. Ini sama artinya MA menganulir sendiri putusannya secara tidak langsung. Padahal sesungguhnya saat ini MA seringkali menyatakan sedang mengupayakan peningkatan konsistensi dan kualitas putusan-putusannya.
Dugaan kuat bahwa MA tengah berpolitik juga muncul setelah sehari sebelumnya Putusan MA yang membatalkan putusan DPD tersebut mengandung kesalahan pada bagian yang sangat substansial yang menyatakan mencabut putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan bukan Dewan Perwakilan Daerah. Sehingga salah satu pihak yang merasa dikalahkan di dalam DPD berpendapat putusan MA tidak perlu ditaati. Meskipun MA segera memperbaiki kekeliruan tersebut melalui renvoi, namun kekeliruan ini yang menjadi salah satu dasar para pendukung untuk tetap melakukan pemilihan Ketua DPD. Kesalahan serius seperti ini sangat disayangkan bisa terjadi pada perkara yang sangat penting.
Sikap politik MA yang mendua justru akan berdampak memperkeruh sengketa internal DPD dan tatanan kelembagaan negara di Indonesia. Alangkah bijaksananya jika MA tidak bersedia melakukan penyumpahan dalam pelantikan, dan membiarkan DPD menyelesaikan masalah internalnya dengan mengacu pada putusan yang sudah ditetapkan. Yang paling celaka, langkah MA ini juga merendahkan kewibawaan kekuasaan yudikatif itu sendiri, seolah-olah mengajarkan kepada publik bahwa putusan pengadilan/Mahkamah Agung dapat diabaikan begitu saja.
Astriyani
Direktur Eksekutif
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
astriyani@leip.or.id