A. Mengenali Korupsi di Pengadilan
1. Korupsi di pengadilan adalah segala tindakan oleh dan untuk mempengaruhi hakim dan aparat pengadilan, yang melanggar prinsip independensi peradilan, untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak benar atau melawan hukum.
2. Korupsi di pengadilan terdiri dari korupsi sistemik dan korupsi non sistemik. Korupsi sistemik adalah korupsi yang menggunakan kelemahan sistem (birokrasi) sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak benar atau melawan hukum. Sedangkan korupsi non sistemik adalah korupsi yang terjadi secara langsung tanpa menggunakan kelemahan sistem (birokrasi) secara lebih jauh/terstruktur.
3. Modus yang digunakan pada korupsi non sistemik lebih sederhana dibandingkan dengan modus korupsi sistemik, dan umumnya terkait langsung dengan suatu perkara. Misalnya ketika Panitera Pengganti atau staf pengadilan menerima atau meminta sejumlah imbalan dari pihak berperkara untuk informasi atau dokumen tertentu terkait dengan perkara.
4. Pada korupsi sistemik modus yang digunakan lebih rumit, melibatkan beberapa pihak -terutama pemegang jabatan atau pengambil kebijakan. Korupsi sistemik tidak selalu terkait dengan perkara tertentu, tetapi telah dikondisikan (terstruktur) jauh sebelumnya hingga menimbulkan keterikatan dan hutang budi yang dapat ditagih sewaktu waktu. Misalnya dalam proses mutasi dan promosi hakim sebagai media untuk memindahkan hakim ke daerah yang “basah” atau “kering,” untuk selanjutnya memberikan dukungan atau layanan dalam jangka panjang melalui pemberian jabatan dan posisi tertentu.
5. Korupsi di pengadilan merupakan ujung dari korupsi dalam proses peradilan yang umumnya telah terjadi sejak tahapan penyelidikan hingga penuntutan, dengan melibatkan polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim dan para “operator” di semua tahapan.