Terwujudnya konsistensi putusan merupakan salah satu tujuan pembaruan peradilan. Salah satu upaya untuk menunjang hal tersebut dilakukan melalui transparansi (publikasi) putusan. Transparansi putusan khususnya putusan di tingkat Mahkamah Agung telah dimulai sejak tahun 2008, melalui website direktori putusan MA. Sampai awal April 2019, MA telah menguggah sebanyak 119.053 putusan ke dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/. Jumlah yang sangat fantastis, mengingat sebelumnya MA merupakan salah satu lembaga yang paling tertutup, terlebih mengenai putusan.
Publikasi putusan menjadi sarana bagi publik untuk mengetahui dan menguji konsisten atau tidaknya sikap pengadilan terhadap satu isu (pertanyaan hukum) yang sama. Sehubungan dengan itu, publikasi putusan secara tidak langsung juga mendorong lembaga pengadilan untuk senantiasa meningkatkan kualitas putusannya.
Inkonsistensi putusan masih ditemukan di antara berbagai putusan MA dan membuat putusan- putusan MA belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengadilan-pengadilan di tingkat bawah. Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain belum maksimalnya penggunaan yurisprudensi dalam memeriksa dan memutus perkara yang serupa (memiliki pertanyaan hukum yang sama). Pada sisi lain, kajian akademis terhadap putusan pengadilan juga masih sangat minim. Akibatnya, para hakim tidak terdorong membaca kaidah-kaidah hukum dalam berbagai putusan, bahkan tidak merasa terbebani untuk melahirkan putusan yang berkualitas, karena merasa tidak ada yang mengkritisi putusannya selain pihak yang berperkara.
Putusan-putusan pengadilan dapat menjadi sumber penting dalam pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Bagi akademisi, putusan dapat digunakan untuk bahan penelitian, bahan ajar, dan bahan bagi pengembangan/penemuan hukum. Bagi praktisi, putusan dapat dijadikan sumber pembelaan atau pekerjaan teknis lainnya dikarenakan praktisi dapat melihat tren penghukuman terhadap satu kasus tertentu yang mungkin sekali relevan dengan kasus yang ia tangani. Bagi pembela hak sipil, putusan dapat dijadikan basis pembelaan. Bagi mahasiswa, putusan dapat menjadi ”teropong” untuk melihat hukum dalam realitas das sollen dan das sein.
Jika yang disampaikan di atas adalah manfaat putusan bagi aktor non-hakim, pemanfaatan putusan secara luas oleh masyarakat berimplikasi positif juga bagi hakim. Hakim akan merasa kinerjanya disoroti ketika mengadili satu perkara. Masyarakat menjadi mampu menelaah secara kritis tentang putusan yang ia buat. Masyarakat lambat laun juga akan mengetahui bahwa seorang hakim harus menghasilkan putusan yang baik dengan menampilkan legal reasoning yang jelas. Sehingga, secara singkat, hakim tidak dapat lagi membuat putusan yang tidak berkualitas, serampangan, dan miskin pertimbangan hukum (legal reasoning), atau jika tetap nekat, maka hal itu hanya akan merusak reputasinya di dunia Ilmu Hukum Indonesia.
Pada level Mahkamah Agung, putusan yang dibuat tidak semata sebagai penyelesaian sengketa atau penjatuhan hukuman, melainkan memiliki sifat yurisprudensial. Oleh karena itu, sebagai judex jurist, MA harus mampu memberi penekanan pada bagaimana norma hukum seharusnya diaplikasikan dalam satu peristiwa hukum. Sehingga ketika masyarakat membaca putusan MA tersebut, masyarakat dapat memahami satu peristiwa hukum (kasus) dan mengerti aturan hukum apa yang mengikat perbuatan tersebut dalam satu logika hukum yang sistematis, dan mengetahui bahwa ada penghukuman atau ukuran yang serupa yang akan dijatuhkan padanya jika melakukan kesalahan yang serupa. Selain itu, Putusan MA harus berkualitas karena putusan ini akan menjadi acuan bagi putusan pengadilan di bawahnya.
Dengan telah diunggahnya puluhan ribu putusan di situs yang dimiliki MA, maka sudah waktunya diskursus hukum memasukkan putusan pengadilan sebagai salah satu objek kajiannya. LeIP sebagai lembaga penelitian dan advokasi yang fokus pada isu pembaruan hukum dan peradilan telah banyak melakukan kajian putusan dan pemanfaatan putusan. Salah satu media yang sering dipakai LeIP untuk mempublikasi kajian putusan adalah Jurnal Dictum.
Tahun 2003, LeIP telah menerbitkan jurnal “Dictum”. Jurnal Dictum merupakan jurnal kajian putusan-putusan pengadilan, berisi resume dan anotasi terhadap putusan-putusan yang menarik. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh keprihatinan melihat rendahnya kualitas sebagian putusan pengadilan, dan minimnya kajian terhadap putusan pengadilan. Mengingat putusan pengadilan sangat menentukan masa depan hukum negara ini, maka Dictum mencoba mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini ditinggalkan dalam bidang kajian putusan. Melalui Dictum, LeIP berusaha memantik kalangan akademisi, praktisi hukum, juga mahasiswa fakultas hukum untuk secara rutin dan konsisten melakukan kajian dan anotasi terhadap putusan-putusan hakim, terutama terhadap putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Melalui referensi berkualitas yang digunakan sebagai rujukan berulang, diharapkan dapat menunjang terwujudnya konsistensi putusan.
Atas dasar itu, untuk menyebarkan “virus mengkaji putusan”, LeIP dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) bermaksud melakukan diskusi publik dengan tema: “Mengkaji Putusan Hakim”. Selain membahas pentingnya mengkaji putusan hakim, dalam diskusi yang dilaksanakan ini, LeIP juga memaparkan hasil kajian para penulis Dictum, antara lain tentang hak kekayaan intelektual dan pidana dalam hukum pidana perikanan.
Kegiatan diskusi ini dilaksanakan pada Selasa, 14 Mei 2019 di A One Hotel Jakarta. Bertujuan untuk mendorong para akademisi, praktisi, mahasiswa fakultas hukum, juga masyarakat umum untuk rutin dan konsisten melakukan kajian terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sesi I mendiskusikan tentang alasan pentingnya melakukan kajian putusan, sedangkan sesi II membahas beberapa contoh kajian putusan yang dilakukan LeIP.
Unduh di sini untuk Jurnal DICTUM Edisi 13: Kajian Putusan Penting