Hampir tiga minggu ini isu pembatalan hukuman mati terhadap ‘gembong’ narkotika mengemuka. Isu ini mulai naik sejak putusan pembatalan hukuman mati terhadap Hanky Gunawan di tingkat Peninjauan Kembali terbuka. Putusan ini sendiri sebenarnya telah diputus Agustus tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Agustus 2011 melalui putusan nomor 39 PK/Pid.Sus/2011, namun baru menjadi pemberitaan berbagai media massa sekitar awal bulan oktober ini, setelah LeIP menerbitkan artikelnya melalui di Majalah Tempo 1 oktober yang lalu yang bertemakan inkonsistensi putusan Mahkamah Agung.
Artikel LeIP yang ditulis dalam infotorial tersebut memang tidak dimaksudkan secara spesifik mempermasalahkan putusan Hanky Gunawan tersebut, namun sebagaimana judul tulisan tersebut, yaitu mempermasalahkan inkonsistensi dalam tubuh Mahkamah Agung dalam menerapkan maupun menafsirkan hukum. Putusan HG tersebut hanyalah salah satu contoh inkonsistensi dimana dalam satu putusan Mahkamah Agung menafsirkan bahwa hukuman mati melanggar konstitusi, namun dalam putusan lainnya yang diputus setelah itu, yaitu dalam putusan PK terhadap Very Idham (Ryan Jombang) ternyata tidak. Dalam artikel tersebut diberikan contoh inkonsistensi lainnya (contoh lainnya ini sebenarnya yang lebih dieksplor secara lebih mendalam), terkait dapatkah pengadilan memutus perkara berdasarkan suatu pasal yang tidak didakwakan.
Saat artikel tersebut ditulis memang kami telah menduga bahwa putusan HG tersebut akan menjadi kontroversial, karena dua hal, pertama (dan terutama) karena pertimbangan hukum dalam putusan tersebut yang menyatakan hukuman mati melanggar konstitusi. Kedua, karena perkara tersebut adalah perkara narkotika yang sebelumnya memang cukup banyak pihak yang menuntut agar perkara narkotika dijatuhi hukuman mati. Beberapa bulan yang lalu tuntutan agar hukuman mati dijatuhkan dalam perkara narkotika pernah menguat setelah BNN menyatakan bahwa sejak 2009 belum pernah ada lagi Terdakwa kasus narkotika dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan.