Selama dua dekade ini, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin pesat. Saat ini setiap orang semakin terhubung dalam interaksi baik di wilayah privat maupun sosial. Selain membawa kemajuan dan kemudahan dalam kehidupan manusia, teknologi komunikasi dan informasi juga dimanfaatkan dalam sisi gelap manusia dengan terciptanya kejahatan jenis baru dan menjadi modus operandi untuk kejahatan konvensional yang akhirnya semakin sulit dan kompleks untuk ditelusuri. Pada titik ini, bukti elektronik menjadi vital untuk pengungkapan suatu kejahatan. Berbagai macam bentuk bukti elektronik mulai dari rekaman suara, rekaman video, catatan percakapan, surat elektronik, hingga laporan-laporan keuangan yang dihasilkan melalui suatu sistem informasi akan berperan penting untuk menentukan modus operandi, siapa pelaku kejahatan, siapa saja yang terkait dengan kejahatan, hingga kemana larinya aliran dana hasil kejahatan serta siapa penikmat dana hasil kejahatan tersebut. Hal ini tentunya akan berimbas kepada praktik-praktik hukum acara pidana maupun pengaturan teknis dalam tiap-tiap instansi aparat penegak hukum. Bukti-bukti elektronik ini dapat menyentuh ranah paling pribadi setiap individu, sehingga secara global tuntutan terhadap pengaturan bukti elektronik baik pada ranah undang-undang maupun teknis telah lebih jauh mengemuka jika dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini tidak hanya terkait dengan bagaimana cara perolehan bukti tersebut, tetapi juga sampai kapan aparat penegak hukum dapat menyimpan konten atau data dari bukti tersebut.
Dunia internasional menerima beberapa standardisasi yang dimulai dari standardisasi laboratorium forensik (ISO 17025) sampai dengan standardisasi penanganan dan pengelolaan bukti elektronik, misalnya Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence, yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police of England, Wales and Northern Ireland (ACPO); ISO 27037 tentang identifikasi, koleksi, akuisisi dan preservasi bukti digital; Guide to Integrating Forensic Techniques into Incident Response yang dibuat oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) Departemen Perdagangan Amerika Serikat; dan Forensic Examination of Digital Evidence – A guide for Law Enforcement yang dibuat oleh Technical Working Group for the Examination of Digital Evidence (SWGDE) dari National Institute of Justice (NIJ) Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Perlakuan bukti elektronik yang sesuai dengan standardisasi internasional tersebut akan mendukung pertukaran bukti untuk kejahatan serius bersifat lintas yurisdiksi seperti pada Tindak Pidana Perdagangan Orang, Terorisme, Kejahatan Siber, Korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Indonesia telah mengenal bukti elektronik dalam berbagai Undang-undang seperti Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Lingkungan Hidup, TPPU dan lain-lain. Namun keberadaan berbagai undang-undang tersebut belum mendukung kesiapan hukum acara terkait perolehan, penanganan, pengelolaan, penyajian di persidangan hingga pemusnahan bukti elektronik yang tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan bukti elektronik yang bisa mengakibatkan terlanggarnya hak asasi individual.
Atas dukungan Pemerintah Belanda melalui International Development Law Organization, Kemitraan dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) telah melakukan kajian Analisis Kesenjangan Pengaturan Bukti Elektronik dengan membandingkan pengaturan di Amerika Serikat, Belanda serta Inggris terkait bukti elektronik serta juga standar-standar teknis penanganan bukti elektronik yang berlaku secara internasional. Kajian tersebut berupaya menelusuri; (1) bagaimana pengaturan tentang penanganan bukti elektronik secara umum; (2) bagaimana kewenangan lembaga yang secara hukum memiliki wewenang untuk memperoleh bukti-bukti elektronik tersebut; (3) sejauh mana pengaturan-pengaturan tersebut telah memadai; dan (4) sejauh mana pula ketentuan hukum yang ada saat ini telah mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dari penggunaan bukti elektronik dalam proses penegakan hukum.
Hasil kajian menunjukkan masih adanya kesalahpahaman dalam praktik penegakan hukum dalam memandang bukti elektronik baik sebagai perangkat maupun sebagai data yang terkandung di dalam perangkat. Kesalahpahaman tersebut telah berdampak pada kekosongan dalam hukum acara pidana penyitaan, penggeledahan hingga penyimpanan data setelah putusan pengadilan. Demikian halnya, perhatian terkait hak atas privasi rentan disalahgunakan akibat kekosongan prosedur tata cara perolehan yang sesuai.
Kajian ini disusun oleh tim Kemitraan dan LeIP selama tahun 2017 hingga 2018 dengan melibatkan aparat penegak hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, BARESKRIM POLRI yaitu Pusat Laboratorium Forensik, Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Tindak Pidana Siber, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui JAMPIDUM dan JAMPIDSUS, dan yang terakhir Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Kajian ini dibukukan dengan tujuan agar dapat lebih mudah disebarluaskan bagi masyarakat sehingga bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum untuk mempersiapkan lebih lanjut kerangka hukum yang diperlukan bagi perbaikan regulasi terkait bukti elektronik, baik pada hukum acara pidana maupun pada tingkatan teknis pelaksanaan lembaga penegak hukum.