Masyarakat memiliki peran penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai pihak terdampak dari pembangunan yang acap kali mempengaruhi kelestarian lingkungan hidup, penolakan maupun penerimaan dari masyarakat menjadi unsur yang menentukan kelancaran pembangunan. Guna menjamin pengejawantahan peran penting masyarakat tersebut, ruang untuk partisipasi publik haruslah dibuka sebesar-besarnya.
Menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah menyediakan beberapa ketentuan umum bagi masyarakat untuk berpendapat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hak ini dijamin melalui disediakannya peluang bagi masyarakat untuk beracara di pengadilan dengan menggunakan hak gugat perwakilan sebagaimana terdapat dalam Pasal 90 s.d. Pasal 92. Di luar ragam hak gugat perwakilan tersebut, terdapat pula perlindungan Anti–Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP) sebagaimana dimuat dalam Pasal 66 UU PPLH. Instrumen-instrumen yang memberikan ruang partisipasi publik sebagaimana dimuat dalam UU PPLH tersebut juga sudah dirinci dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Kendati demikian, undang-undang dan SK KMA tersebut ternyata tidaklah cukup. Penelaahan terhadap beberapa putusan perdata lingkungan hidup menunjukkan masih terjadi ketidakseragaman, baik dari segi gugatan yang diajukan oleh Penggugat maupun pertimbangan dan putusan hakim.
Dalam hal hak gugatan perwakilan, citizen lawsuit menjadi instrumen yang masih memiliki permasalahan. Lain halnya dengan class action yang telah diatur secara terperinci dalam Perma No. 1 Tahun 2002. Ketiadaan regulasi yang mengatur prosedur dan ketentuan citizen lawsuit secara rinci memunculkan gugatan-gugatan yang tidak memenuhi persyaratan seperti kurang jelasnya penguraian kedudukan Penggugat sebagai masyarakat, adanya gugatan yang meminta ganti kerugian serta gugatan yang tidak didahului notifikasi pada salah satu Tergugat. Gugatan-gugatan tersebut pun berdampak pada putusan dengan amar ditolak maupun niet onvankelijke verklaard (N.O).
Ketidakseragaman juga ditemui dalam anti-SLAPP yang masih belum ramai ditemukan dalam putusan-putusan perdata lingkungan hidup. Garis-garis besar kriteria penegakan anti-SLAPP sebagaimana dirumuskan dalam Lampiran SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 tidak diterapkan secara seragam dalam berbagai putusan hakim. Adanya ketidakseragaman tersebut menjadi tantangan untuk menjamin partisipasi publik dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga kehadiran suatu peraturan yang lebih terperinci amat diperlukan. Namun untuk mendorong lahirnya peraturan, publik tentu harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana realita penerapan mekanisme partisipasi publik yang semula dijamin dalam UU PPLH a quo. Karenanya, dibutuhkan sebuah diskusi publik sebagai forum inklusif yang mempertemukan praktisi, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk membahas penerapan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup.
Berikut materi dari para pembicara:
- Nani Indrawati, S.H., M.H. – WaKa PT Palangka Raya/Pokja LHN Mahkamah Agung RI, unduh materi di sini
- Nelson Nikodemus Simamora, S.H. – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, unduh materi di sini
- Nisrina Irbah Sati, S.H. – Peneliti LeIP, unduh materi di sini
- Jasmin Ragil Utomo – Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK, unduh materi di sini