
Pada 25 Mei 2023 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 26/PUU-XXI/2023 telah memutus Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) khusus terkait frase “Departemen Keuangan” inkonstitusional secara bersyarat. Putusan ini pada intinya mengakhiri kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Departemen Keuangan atas Pengadilan Pajak, di mana MK menghendaki agar ketiga kewenangan tersebut dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan sistem satu atap.
Sistem peradilan pajak yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak selama ini memang merupakan anomali dalam sistem peradilan yang ada. Pengadilan ini pada awalnya memang didesain sebagai sebuah lingkungan peradilan tersendiri yang berbeda dari 4 (empat) lingkungan peradilan yang telah dikenal sebelumnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini yang menjelaskan mengapa dalam UU Pengadilan Pajak ini diatur kewenangan pembinaan administrasi, keuangan dan organisasi Pengadilan Pajak tidak berada di bawah Departemen Kehakiman yang saat itu merupakan pembina organisasi, keuangan dan administrasi baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara tetapi di bawah Departemen Keuangan, serta mengapa dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan sama sekali kedudukan Pengadilan Pajak dalam susunan lingkungan peradilan yang telah ada saat itu.
Secara umum model pengaturan Pengadilan Pajak ini menyerupai pengaturan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), lembaga penyelesaian sengketa pajak sebelumnya yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 1997. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 ini pada dasarnya hanyalah peningkatan status BPSP yang sebelumnya bukan lembaga peradilan menjadi lembaga peradilan.
Ketidakjelasan kedudukan Pengadilan Pajak yang tidak berada dalam satu lingkungan peradilan yang ada dalam Amandemen Ketiga Pasal 23A UUD 1945 sebenarnya telah disadari oleh Ketua Badan Legislasi DPR tahun 2004, Zein Badjeber, bahwa hal tersebut akan membuat kedudukan Pengadilan Pajak menjadi inkonstitusional.2 Atas pertimbangan tersebut maka dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) disisipkan penjelasan yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, walaupun hal ini tidak terdapat dalam UU No. 14 Tahun 2002 itu sendiri.
Selain soal kedudukan, terdapat beberapa anomali atau perbedaan lainnya yang membuat Pengadilan Pajak berbeda dengan pengadilan pada umumnya. Perbedaan pertama terletak pada syarat dan kedudukan para hakimnya. Syarat dan kedudukan hakim pajak tidak menggunakan sistem karier tetapi menggunakan masa kerja. Selain itu Pengadilan Pajak mengenal hakim ad-hoc tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berbeda dengan hakim ad-hoc pada badan peradilan. Perbedaan berikutnya adalah terkait dengan jabatan kesekretariatan di Pengadilan Pajak. Pada pengadilan ini dikenal suatu jabatan kesekretariatan yang tidak dikenal di pengadilan pada umumnya, yaitu Sekretaris Pengganti. Terkait hukum acara dan susunan pengadilan juga berbeda dengan hukum acara dan susunan pengadilan pada umumnya. Pengadilan Pajak hanya memiliki 1 (satu) buah pengadilan, yaitu yang berkedudukan di ibukota negara dan hanya memiliki satu tingkat upaya hukum yaitu Peninjauan Kembali karena putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat.
Adanya berbagai perbedaan sistem dalam Pengadilan Pajak dengan pengadilan-pengadilan pada umumnya mulai dari sistem kepegawaian hakim, sekretaris, panitera, susunan dan kedudukan pengadilan, remunerasi, hingga hukum acara sebagaimana di atas, menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimana konsekuensi Putusan MK terhadap pengaturan peradilan pajak di masa penyatuan atap? Apakah untuk melaksanakan Putusan MK tersebut cukup hanya dengan mengalihkan kewenangan Kementerian Keuangan yang disebut dalam UU No. 14 Tahun 2002 ke Mahkamah Agung, atau harus dilakukan perubahan UU No. 14 Tahun 2002 secara mendasar? Jika iya, bagaimana sistem pengaturan yang seharusnya berlaku untuk Pengadilan Pajak ini sehingga dapat memenuhi prinsip-prinsip peradilan yang adil, independen, dan imparsial? Hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan agar Pengadilan Pajak di masa penyatuan atap berjalan secara efisien dan efektif, sekaligus dapat melindungi kepentingan wajib pajak secara proporsional? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan area-area yang perlu dijawab dan menjadi pokok perhatian dalam proses pengalihan Pengadilan Pajak kepada MA.
Oleh karena itu, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dengan dukungan dari DDTC, melakukan kajian yang bertujuan untuk memetakan berbagai persoalan hukum dan kelembagaan pada Pengadilan Pajak. Pada 2023, DDTC menerbitkan sebuah kajian tentang persoalan dan tantangan peradilan pajak di Indonesia yang kemudian menjadi titik berangkat dalam kajian yang secara khusus menyoroti perjalanan Pengadilan Pajak menuju penyatuan atap di Desember 2026. Kajian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan informasi yang diperlukan oleh para pengambil keputusan baik di Pemerintah maupun MA dalam melaksanakan proses pengalihan Pengadilan Pajak secara efisien dan efektif.