Oleh: Ade Rizky Fachreza[1]
Dalam proses wawancara antara Komisi Yudisial dengan calon Hakim Agung pada Juni 2016 lalu, salah seorang peserta seleksi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pentingnya konsistensi putusan untuk mencapai kesatuan hukum. Menurutnya, setiap putusan Hakim harus mempertimbangkan keadaan pribadi saksi dan terdakwa, dan oleh sebab itu setiap perkara akan berbeda, begitu pula dengan putusannya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh beberapa Hakim, baik Hakim di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), dalam berbagai kesempatan dialog. Alasannya, setiap perkara mempunyai keunikan tersendiri, sehingga tidak mungkin putusan yang sama diterapkan untuk setiap perkara. Hal ini mendorong penulis mengupas lebih jauh apa yang menjadikan konsistensi putusan dipahami sedemikian rupa, hingga menjauhkannya dari makna dan tujuan yang sebenarnya.
Konsistensi putusan sesungguhnya merupakan salah satu cita-cita yang ingin dicapai oleh Mahkamah Agung (MA) melalui penerapan sistem kamar.[2] Cita-cita ini berkait erat dengan tugas dan fungsi MA sebagai pengadilan kasasi,[3] yakni menjaga kesatuan hukum, di mana untuk mencapai kesatuan hukum tersebut MA seyogyanya hanya mengadili perkara yang berkaitan dengan persoalan hukum, dan bukan persoalan fakta seperti halnya pengadilan tingkat bawah.[4] Sayangnya, yang terjadi di Indonesia tidaklah demikian. Pembedaan antara persoalan hukum dan persoalan fakta tertutup oleh perkembangan yang lebih fundamental dengan adanya perluasan definisi persoalan hukum hingga mencakup pula persoalan fakta sebagaimana yang kerap dilakukan oleh MA dalam berbagai putusannya.[5] Bahkan, dalam banyak perkara, MA juga kerap mengubah amar putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman.[6] Padahal, berat ringannya hukuman justru sangat tergantung pada pemeriksaan fakta yang menjadi wewenang pengadilan tingkat bawah.
Disadari atau tidak hal ini telah menggeser tugas dan fungsi MA dari yang semula judex juris menjadi mencakup pula judex factie. Tidak hanya itu, perubahan fundamental ini juga menyebabkan pembedaan antara persoalan hukum dengan persoalan fakta menjadi tercampur aduk dan tidak jelas. Padahal, pembedaan ini menjadi kunci untuk memahami mengapa konsistensi putusan diperlukan.
Persoalan hukum atau biasa disebut pertanyaan hukum merupakan interpretasi prinsip-prinsip hukum atau undang-undang yang diaplikasikan dalam perkara dan menjadi wewenang hakim kasasi untuk menentukannya. Pertanyaan hukum melibatkan penafsiran prinsip-prinsip hukum yang berpotensi untuk berlaku untuk kasus-kasus lainnya di masa depan.[7] Sedangkan persoalan fakta atau pertanyaan fakta merupakan mengenai benar atau tidaknya suatu kejadian yang ditetapkan oleh hakim untuk mencapai putusan dari perkara tersebut.[8] Jika diaplikasikan dalam suatu perkara, misalnya: X menggugat ganti rugi terhadap Y karena keberadaan 2 pohon besar yang berada di depan rumah Y dengan cabangnya yang mengarah ke rumah X dianggap telah menggangu kenyamanan X, maka pertanyaan fakta dalam perkara ini adalah: apakah benar pihak tergugat yang menanam pohon di depan rumah penggugat?. Sedangkan pertanyaan hukumnya adalah: apakah gugatan tersebut dapat diajukan meski kerugian yang nyata (kerugian materil) belum terjadi?.[9]
Di sinilah konsistensi putusan MA sebagai penjaga kesatuan penerapan hukum diperlukan. Sebab, meski tiap perkara memiliki fakta yang berbeda-beda, namun pertanyaan hukumnya sama. Pertanyaan hukum inilah yang harus dijawab oleh MA secara konsisten agar terjadi keseragaman dalam penerapannya hingga tercapai kepastian hukum. Kesatuan penerapan hukum akan sulit terwujud tanpa adanya konsistensi putusan. Konsistensi putusan dalam pemaknaan yang benar adalah kesepahaman dalam memandang suatu permasalahan hukum atau pertanyaan hukum. Konsistensi putusan tidak dimaksudkan sebagai penyeragaman hukuman. Konsistensi putusan tidak diartikan bahwa setiap terdakwa pembunuhan yang dilakukan dengan cara yang sama harus dihukum dengan hukuman yang sama. Konsistensi putusan yang dimaknai demikian adalah salah dan harus diluruskan.
Selain memberikan kepastian hukum, konsistensi putusan juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan dan mengurangi tingginya arus perkara yang masuk ke MA, di mana melalui putusan yang konsisten para pihak telah dapat memprediksi putusan yang akan dikeluarkan oleh MA. Hasil kajian Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan bahwa 93,16% perkara banding masuk ke MA.[10] Hal ini terjadi, salah satunya karena sikap inkonsisten MA atas suatu permasalahan hukum tertentu hingga mendorong para pihak untuk terus menguji peruntungan perkaranya hingga ke MA.
Saat ini banyak putusan Mahkamah Agung yang bertentangan antara satu putusan dengan putusan lainnya. Salah satunya tentang saksi mahkota. Dalam perkara No. 1986 K/Pid/1989, MA menerima adanya saksi mahkota dengan beberapa syarat yaitu dalam perkara penyertaan, terdapat kekurangan alat bukti dan saksi dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberi kesaksian (ada pemisahan berkas perkara atau splitsing). Namun di sisi lain, MA menyatakan penggunaan saksi mahkota bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana terdapat dalam putusan No. 1174 K/Pid/1994. Contoh lainnya yaitu dalam perkara narkotika. Seringkali terjadi perbedaan kapan suatu pelaku tindak pidana dapat dikatakan penyalahguna dan kapan dikatakan sebagai memiliki, menguasai narkotika. Kemudian ada lagi putusan MA yang juga tidak konsisten dalam menerapkan hukum, kali ini mengenai hukuman mati. Dalam putusan No. 38 PK/Pid.sus/2011 MA menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari terpidana Myuran Sukumaran yang divonis hukuman mati. Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa pidana mati masih dianut dan diberlakukan dalam hukum positif di Indonesia dan menyatakan bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang serius dan tindakan terpidana sangat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara Indonesia dengan pengrusakan mental generasi muda. Namun dalam perkara psikotropika lainnya, yaitu putusan MA No. 39 PK/Pid.sus/2011 hukuman mati dibatalkan. Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa pidana mati melanggar konstitusi, khususnya pasal 28 ayat (1) yang mengatur tentang hak hidup, dimana menurut Mahkamah Agung hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi, tidak terkecuali oleh putusan hakim/pengadilan. Dalam hal ini Mahkamah Agung bisa memilah dari putusan-putusan yang telah ada mana yang dijadikan pedoman agar konsistensi dan kesatuan hukum tersebut dapat terjadi. Dan dari pemilihan tersebut tidak boleh saling bertentangan lagi dan harus sesuai dengan perkembangan hukum yang ada di masyarakat saat ini.
Sebagai upaya untuk menyatukan kesatuan penerapan hukum, MA telah memberlakukan sistem kamar. Di dalamnya diatur mengenai rapat pleno kamar sebagai elemen penting untuk memastikan terjadinya konsistensi putusan. SK Sistem Kamar telah mengatur kriteria perkara yang akan dibahas dalam rapat pleno kamar dan tata cara pelaksanaan rapat pleno kamar, yaitu:[11]
- Perkara Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi dan/atau putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut;
- Perkara yang pemeriksaannya dilakukan secara terpisah dan diperiksa oleh Majelis Hakim yang berbeda dan kemungkinan penjatuhan putusan yang berbeda;
- Dalam hal terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki permasalahan hukum yang serupa yang ditangani oleh Majelis Hakim yang berbeda dengan pendapat hukum yang berbeda atau saling bertentangan;
- Perkara yang memerlukan penafsiran yang lebih luas atas suatu permasalahan hukum;
- Adanya perubahan terhadap yurisprudensi tetap;
- Alasan lain yang dianggap penting.
Berdasarkan SK Sistem Kamar, rapat pleno kamar tersebut diadakan secara rutin oleh masing-masing kamar setidaknya sekali dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan. Tetapi pada praktiknya rapat pleno kamar baru dilakukan oleh kamar di Mahkamah Agung setelah banyak permintaan atau banyak hal yang perlu dibahas dalam rapat pleno, sehingga ketentuan setidaknya 3 (tiga) bulan sekali tersebut belum berlaku secara baku di Mahkamah Agung. Hingga saat ini sudah terdapat 4 (empat) hasil rapat pleno yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan dituangkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).[12] Namun hasil rapat pleno, berdasarkan SK Sistem Kamar, tidaklah mengikat Majelis Hakim dalam memutus perkara dan tetap dikenal istilah dissenting opinion dalam hal tidak sependapat dengan hasil rumusan rapat pleno.
Berbeda halnya dengan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda, rapat pleno perkara di Hoge Raad dilaksanakan secara teratur setiap minggu untuk membahas setiap perkara yang masuk. Di dalam rapat pleno kamar setiap Hakim Agung diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya terhadap pertanyaan hukum yang diajukan di dalam perkara untuk kemudian diputus secara bersama-sama oleh seluruh Hakim Agung di kamar. Hoge Raad tidak mengenal dissenting opinion.[13] Jika terjadi perbedaan pendapat di antara Hakim Agung maka perbedaan tersebut diselesaikan secara akademis di bawah koordinasi Ketua Kamar untuk mencapai kesatuan pendapat. Keputusan rapat pleno kamar bersifat mengikat bagi Hakim Agung di kamar, dan meski putusan tersebut hanya akan ditandatangani oleh majelis Hakim yang ditunjuk, namun pada dasarnya putusan yang diambil adalah putusan kamar.[14]
Pelaksanaan rapat pleno kamar di MA belum dapat dikatakan ideal karena beberapa faktor, yaitu:, masih terbatas pada pembahasan atas isu-isu hukum tertentu,[15] belum belum dilaksanakan secara konsisten sebagai forum untuk pengambilan putusan secara kolegial atas nama kamar, dan yang paling krusial: keputusan rapat pleno kamar tidak mengikat Hakim Agung. Poin yang terakhir ini terkait dengan pemahaman konsep independensi peradilan yang belum dipahami secara tepat. Dalam banyak literatur perkuliahan hukum di Indonesia kerap disebutkan bahwa di negara yang menganut civil law, yurisprudensi tidak memiliki kekuatan mengikat seperti preseden yang dianut di negara common law. Seringkali Hakim berpandangan tidak perlu mengikuti yurisprudensi karena hakim memiliki independensi personal dalam memutus suatu perkara dan tidak boleh ada campur tangan dari pihak lain. Hal ini seringkali dilontarkan oleh hakim apabila diminta untuk mengikuti yurisprudensi yang telah ada, padahal mengikuti yurisprudensi tidaklah melanggar independensi hakim.[16] Independensi saat memutus perkara di Mahkamah Agung seharusnya tidak dimaknai sebagai independensi individual, melainkan independensi institusional atau independensi kelembagaan.[17] Kemerdekaan hakim dalam memeriksa perkara sudah terpenuhi ketika hakim yang bersangutan menuangkan pendapatnya dalam rapat pleno kamar, dan ketika Hakim yang bersangkutan berbeda pendapat dengan mayoritas, ia diberikan kesempatan untuk berdiskusi secara ilmiah dengan koleganya yang lain dan pendapatnya tersebut tetap diakomodir dalam catatan kamar sebagai masukan pada rapat-rapat selanjutnya.[18]
MA dan badan-badan peradilan di bawahnya berhak melakukan penafsiran hukum terhadap peraturan. Selain itu, dalam hal terjadi perkembangan di masyarakat dan hukum belum mengaturnya, maka dibuka kemungkinan bagi Hakim untuk melakukan pembentukan hukum melalui putusan. Sebagai contohnya misalnya hukum perusahaan kolonial. Sejak 1928 Badan Legislatif Kolonial tidak kunjung mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Perkembangan hukum dagang tak lepas dari peran Hakim yang melalui putusan pengadilannya menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum di bidang perdagangan serta mengikuti kondisi dan konsep modern yang berkembang di Eropa.[19]
Dalam kuliah umum yang diberikan di Erasmus Huis pada 24 Mei 2016 lalu, Presiden Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda, Maarten Feteris, menuturkan bahwa Hakim dapat melakukan pembentukan hukum terhadap suatu permasalahan hukum yang belum diatur. Melalui pembentukan hukum yang dibuat oleh Hakim dalam putusannya, diharapkan praktik hukum yang ada akan berjalan sesuai dengan putusan tersebut dan sebagai konsekuensinya akan menghindari persidangan- persidangan selanjutnya yang membahas isu hukum yang sama.[20]
Yurisprudensi yang nantinya akan menjadi tiang utama dalam mencapai konsistensi putusan bukan berarti tidak akan bisa berubah hingga kapanpun. Sesuai dengan pendapat Friedrich Von Savigny,[21] hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, dan bukan sebaliknya. Suatu permasalahan hukum dapat berubah penafsirannya apabila sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu, sehingga membutuhkan suatu penafsiran/penemuan/pembentukan hukum oleh hakim. Namun, dalam melakukan hal tersebut tetap dibutuhkan konsistensi, karena hukum yang terlalu sering berubah akan menjauhkan kepastian hukum dan untuk mengubah hukum diperlukan pertimbangan dengan argumentasi yang kuat.
Sebagai sebuah cita-cita, idealnya konsep konsistensi putusan untuk mencapai kesatuan hukum dipahami secara benar oleh seluruh warga pengadilan, terutama Hakim, agar tidak terjadi kesalahan dalam memaknai konsep tersebut hingga menjauhkan pengadilan dari cita-citanya sendiri.
[1] Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
[2] Sistem Kamar adalah sistem yang menempatkan Hakim Agung dalam kamar-kamar perkara yang sesuai dengan latar belakang dan/atau keahliannya. Sistem kamar bertujuan untuk: (1) menjaga kesatuan hukum dan konsistensi putusan; (2) meningkatkan profesionalitas Hakim Agung; dan (3) mempercepat proses penyelesaian perkara. Sistem ini diterapkan di MA sejak 2011 melalui Surat Keputusan Ketua MA No. 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di MA. Dalam perkembangannya SK KMA tersebut telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan SK KMA No. 213/KMA/SK/XII/2014. Ada 5 kamar perkara di MA, yaitu: kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer dan kamar tata usaha negara.
[3] Pasal 24A UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Selain itu Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan peradilan.
[4] Tirtaadmijaja menyatakan kasasi diadakan dengan maksud memajukan hukum, penafsiran hukum hakim yang berbeda-beda tidak akan bermanfaat untuk kesatuan hukum. Kasasi tidak diadakan untuk pihak yang berperkara, tetapi untuk kepentingan kesatuan hukum, oleh karena itu kasasi hanya memeriksa apakah hakim tingkat bawah telah menerapkan hukum dengan tepat dalam perkara tersebut, sedangkan mengenai fakta hakim kasasi harus menerima bahwa hal itu benar terjadi seperti fakta yang dikemukakan di pengadilan tingkat bawah, Lihat Mr. M.H. Tirtaadmijaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara Pemeriksaan Perkara-Perkara Pidana dan Perdata, (Djakarta: Fasco, 1953), Hal. 108-109.
[5] MA kerap tetap memeriksa berbagai perkara yang sebenarnya berkenaan dengan persoalan fakta, dan bukan persoalan hukum. Pemeriksaan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh MA menjadi mencakup pula pemeriksaan atas fakta. Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung yang memeriksa fakta pada tingkat kasasi yaitu Putusan No. 903 K/Pid.Sus/2014 atas nama terdakwa Endang Mulyadi dan Putusan No. 1842 K/Pid.Sus/2014 atas nama terdakwa Drs. Sumadi, Lihat Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan, 2012), Hal. 328.
[6] Terdapat banyak putusan Mahkamah Agung yang mengubah amar putusan, diantaranya adalah Putusan No. 903 K/Pid.Sus/2011 atas nama terdakwa Burwawi Tihang, Putusan No. 1488 K/Pid.Sus/2012 atas nama terdakwa Ari Arifin dan Putusan No. 285 K/Pid.Sus/2015 atas nama terdakwa Ratu Atut Chosiyah.
[7] http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Point+of+law, diakses pada 18 Agustus 2016 pukul 13.27
[8] http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Question+of+Fact, dilihat pada 18 Agustus 2016.
[9] Ilustrasi ini diambil dari putusan MA No. 1022 K/Pdt/2006 yang juga dikenal dengan “Perkara Pohon Mangga.” Dalam perkara ini MA melalui putusannya menyatakan dalam pertimbangannya bahwa kerugian tidak selalu harus disertai dengan kerugian materil, melainkan juga dapat diartikan apabila kerugian itu mengancam hak dan kepentingan pemohon/penggugat.
[10] Penelitian LeIP mengenai Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung tahun 2016. Pada tahun 2015 perkara yang masuk ke MA berjumlah 13.977 perkara, sedangkan perkara yang masuk ke Pengadilan Tinggi (PT) berjumlah 15.002. Pada tahun 2014, perkara yang masuk ke MA berjumlah 12.511, sedangkan perkara yang masuk ke PT berjumlah 13.668. Apabila dilihat dari data tersebut, beban kerja seluruh PT dengan MA hampir sama, sehingga beban dari hakim agung sangat berat untuk memutus seluruh perkara tersebut dan sangat sulit untuk menciptakan kesatuan hukum.
[11] Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 213/KMA/SK/XII/2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia,
[12] 4 (empat) SEMA yang dikeluarkan hasil dari rapat pleno kamar yaitu SEMA No. 7 Tahun 2012, SEMA 4 Tahun 2014, SEMA 5 Tahun 2014 dan SEMA No. 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
[13] Djoko Sarwoko menyatakan bahwa Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas yang pada awalnya hanya dikenal dalam sistem hukum Common Law. Apabila dalam suatu perkara yang dipegang lima majelis, dua hakim menyatakan terbukti dakwaan subsidair, satu primair, dan dua lainnya bebas, menurut Djoko, pendapat hakim yang menyatakan terbukti dakwaan primair termasuk dissenting opinion. Sebab, satu hakim menggunakan dakwaan berbeda. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51f1005f68a4c/idissenting-opinion-i-di-mata-mantan-hakim-agung
[14] Penerapan Sistem Kamar Untuk Menjaga Kesatuan Hukum, (Jakarta: LeIP, 2015), Hal. 24-25.
[15] Ibid., Hal. 13.
[16] Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim Dalam Kaitannya dengan Konsistensi Putusan Dalam Peradilan Indonesia, Ade Rizky Fachreza, https://leip.or.id/yurisprudensi-dan-kemerdekaan-hakim-dalam-kaitannya-dengan-konsistensi-putusan-dalam-peradilan-indonesia/.
[17] Independensi Institusional atau independensi kolektif pada dasarnya menghendaki pengelolaan organisasi, administrasi, finansial dan teknis yudisial dalam satu atap di Mahkamah Agung, sehingga terlepas dari campur tangan atau intervensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif serta lembaga ekstra judisial lainnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Keadilan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, 2015, Hal. 325.
[18] Dr. Andi Samsan Nganro, Sistem Kamar dan Independensi Hakim dalam Penerapan Sistem Kamar Untuk Menjaga Kesatuan Hukum, Hal. 34.
[19] Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta:LeIP, 2012), Hal. 609.
[20] Maarten Feteris, The Role of The (Supreme) Court Judges in A State Governed By The Rule Of Law, pidato saat kunjungan Hoge Raad ke Indonesia, 24 Mei 2016, Hal. 7.
[21] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet-IX, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2004), Hal. 65.