Oleh: Ade Rizky Fachreza[1]
- Sekilas Mengenai Yurisprudensi
Berdasarkan Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung bertugas untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan pada semua badan peradilan yang berada di bawahya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.[2] Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman melalui putusan-putusannya juga diharapkan mampu memberikan arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Sistem Peradilan Indonesia harus membangun kesatuan hukum agar hukum Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud.[3] Kesatuan hukum, panduan atau pedoman tersebut salah satunya dilakukan melalui yursiprudensi dari Mahkamah Agung.
Yurisprudensi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Yurisprudensi sudah sangat akrab dalam dunia peradilan. Peranan yurisprudensi di Indonesia sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber hukum yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara. Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif.[4]
Fungsi yurisprudensi sendiri dalam hal hakim membuat putusan adalah mengisi kekosongan hukum karena menurut AB, hakim tidak boleh menolak perkara karena tidak ada hukum yang mengatur. Kekosongan hukum hanya bisa teratasi dan ditutupi melalui “judge made law” yang akan dijadikan pedoman sebagai yurisprudensi sampai terciptanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku.[5]
Yurisprudensi, selain terkait dengan pembentukan hukum, terkait juga dengan akuntabilitas dan pengawasan hakim. Yurisprudensi dapat menunjang pembaharuan dan pembinaan hukum.[6] Semakin konsisten para hakim dalam memutus perkara yang sama maka akan semakin baik sistem peradilan secara keseluruhan, dimana dengan yurisprudensi dalam fungsinya sebagai guidelines tadi, hakim dapat menekan angka disparitas. Dengan kekonsistenan dalam memandang suatu fakta hukum, maka akan mudah melihat adanya “ketidakberesan” para hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini terkait fungsi Mahkamah Agung (MA) salah satunya adalah pengawasan terhadap hakim-hakim.
Dalam sebuah penelitian, Yurisprudensi diterima sebagai suatu sumber hukum dikarenakan hal-hal berikut:[7]
- Adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya;
- Salah satu fungsi Pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah menciptakan sumber hukum baru;
- Hal yang baik dalm mencari dan menegakkan keadilan.
Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law maupun common law. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para hakim dalam sistem hukum civil law, memang berbeda dengan sistem hukum common law. Walaupun harus diakui bahwa dalam kenyataan dan perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut tidak lagi terlalu mutlak untuk secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan sudah saling memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis.[8]
Perbedaan preseden dalam common law (stare decicis) dan yurisprudensi telah kehilangan ketajamannya selama abad kedua puluh. Jika putusan pengadilan Anglo-Amerika mempunyai “kekuatan mengikat”, putusan pengadilan civil law memperoleh “kekuatan persuasif” yang sebetulnya tidak kalah kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan hierarkis, kekuatan mengikat ini lebih melekat pada putusan Mahkamah Agung ketimbang putusan pengadilan tingkat bawah.[9]
Otoritas putusan civil law nyaris mendekati kekuatan preseden yang mengikat dalam sistem Anglo-Amerika. Hal ini terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang identik dalam serangkaian perkara. Demikianlah, apabila dalam sistem civil law sebuah putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi dapat mempunyai otoritas persuasif yang besar, maka serangkaian putusan yang konsisten mengenai suatu permasalahan hukum tertentu dapat dipandang mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh fakta bahwa pengadilan tertinggi di berbagai negara yang menganut sistem civil law telah mengacu pada putusan mereka sendiri dan demikian telah menciptakan “yurisprudensi tetap”. Hal mana dapat dikatakan bertentangan dengan doktrin dan praktik awal civil law. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan di kebanyakan negara civil law mempunyai dampak pembuatan hukum yang menjangkau di luar pihak yang berperkara. Dengan demikian perbedaan antara stare decicis Anglo-Amerika dan yurisprudensi civil law harus dilihat, dengan memperhatikan nuansa-nuansa yang subtil, sebagai area abu-abu dan bukan sekedar hitam dan putih.[10]
Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik dari sudut ilmu hukum, atau suatu penafsiran atau penalaran hukum baru terhadap suatu norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.[11] Yurisprudensi dibagi kedalam dua jenis yaitu:[12]
- Yurisprudensi Tetap
Yurisprudensi tetap adalah keputusan keputusan hakim yang berulangkali dipergunakan pada kasus-kasus yang sama, putusan mana merupakan Standaardaaresten, yaitu keputusan MA yang menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengambil keputusan.
- Yurisprudensi Tidak Tetap
Artinya adalah yurisprudensi yang belum menjadi yurisprudensi tetap, karena tidak selalu diikuti oleh hakim.
Badan Pembinaan Hukum Nasonal (BPHN) berdasarkan penelitian pada tahun 1994/1995 merumuskan bahwa sebuah putusan dapat dikatakan sebagai yurisprudensi apabila sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu:[13]
- Keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
- Keputusan itu merupakan keputusan tetap;
- Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dan dalam kasus yang sama;
- Memiliki rasa keadilan;
- Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Namun terkait dengan unsur pokok putusan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tetap, Paulus Effendi Lotulung tidak sepakat terkait masalah putusan tersebut harus berulang kali. Lotulung mengatakan:[14]
“Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah yurisprudensi itu merupakan yurisprudensi tetap ataukah tidak tetap, tidaklah didasarkan pada hitungan matematis yaitu berapa kali sudah diputuskan yang sama mengenai kasus yang sama, tetapi ukurannya lebih ditekankan pada muatannya yang secara prinsipiil berbeda.”
Namun mengenai pemisahan yurisprudensi tetap dan tidak tetap ini, sejauh penelusuran penulis tidak menemukan adanya hal yang sama di negara-negara lain, baik itu negara yang menganut civil law maupun negara yang menganut common law.
- Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim
Hakim tidak hanya merdeka secara institusional namun hakim juga merdeka secara personal, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan secara merdeka dalam menyelenggarakan peradilan yang adil. Artinya, hakim bebas dan merdeka serta tidak dapat dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya dalam mengadili suatu perkara, bahkan termasuk oleh sesama hakim yang tidak memutus perkara tersebut atau hakim yang pernah menangani kasus serupa terdahulu. Konsep ini lah yang menjadikan adanya perdebatan dalam kedudukan yurisprudensi, karena yurisprudensi tetap dianggap sebagai pencederaan terhadap kemerdekaan seorang hakim dari intervensi hakim lainnya.
Banyak ahli hukum menegaskan bahwa putusan pengadilan telah menyempurnakan undang-undang, tetapi tidak punya kapasitas membuat undang-undang. Bahkan doktrin civil law kadang-kadang mampu mengakomodasi peningkatan otoritas yurisprudensi dalam praktik, kalau bukan dalam teori, sekalipun jika diperlukan harus dengan upaya khusus. Dengan demikian, walaupun doktrin civil law tidak akan mengakui kekuatan ”yurisprudensi tetap” sebagai sumber hukum tersendiri, namun doktrin ini memberikan otoritas mengikat lewat pintu kebiasaan. Misalnya, walaupun menganggap bahwa tidak ada rangkaian putusan pengadilan yang bisa dikatakan mengikat, tetapi pada kenyataannya terdapat garis konsisten yang memunculkan “kebiasaan”, yang oleh sistem ini diakui sebagai sumber hukum.[15]
Dalam beberapa perkara, kesenjangan antara doktrin dan realitas memang tidak bisa dijembatani. Hal ini terlihat jelas ketika berusaha mempertemukan pembuatan hukum oleh preseden dengan pengertian yang berlaku tentang kebebasan yudisial. Dalam sistem Anglo-Amerika, doktrin tentang preseden yang mengikat tidak dipandang sebagai sesuatu mempengaruhi kebebasan yudisial. Namun tidak menyangkal realitas bahwa preseden mengikat, seperti halnya undang-undang, adalah sebuah instrumen untuk memastikan kepatuhan para hakim. Bagaimanapun juga kualitas doktrinalnya, telah menghalangi perdebatan tentang apa yang sesungguhnya merupakan pembatas bagi kebebasan para hakim untuk memutus menurut nurani mereka, meskipun kebebasan tersebut dibenarkan. Civil law tidak memiliki doktrin demikian, yuris civil law sudah terbiasa dengan pandangan bahwa para hakim bisa dibatasi dan diarahkan oleh undang-undang dan kebiasaan. Konsep civil law tentang kebebasan yudisial jelas menutup kemungkinan para hakim di bawah dibimbing oleh hakim senior. Akibatnya profesi hukum dan para hakim harus melakukan lompatan mental untuk mengakomodasi ide tentang preseden mengikat, dan ini mengundang banyak penolakan, sistem civil law tidak benar-benar membutuhkan preseden mengikat untuk mewujudkan kepatuhan di tubuh pengadilan.[16]
Memang benar bahwa hakim tidak dapat di intervensi oleh hakim yang lebih tinggi dalam memutus sebuah perkara, dalam perkara mengenai yurisprudensi ini harusnya tidak diartikan sebagai sebuah intervensi dari hakim lebih tinggi kepada hakim dalam tingkatan yang lebih rendah. Shetreet, dalam pembahasan mengenai sentencing guidelines yang diberikan oleh chief judge memberikan sebuah analogi bagaimana ketika para hakim berkumpul dalam sebuah ruangan dan saling bercerita dan saling berkonsultasi mengenai kasus masing-masing, apakah dapat dikatakan melanggar individual judicial independence? orang dapat berpendapat bahwa dengan kondisi demikian maka para pihak kehilangan haknya untuk mengajukan argumentasi. Akan tetapi, disini sama saja dengan hakim pergi ke perpustakaan dan berkonsultasi dengan orang lain terkait perkaranya. Apakah berpengaruh terhadap individual judicial independence? Menurut Shetreet hal ini tidak dapat dengan mudah dijawab.[17]
Terkait dengan hakim yang menerima putusan hakim lain melanggar prinsip kemerdekaan hakim, Utrech menyatakan pendapat bahwa tentang seorang hakim membuat peraturan umum apabila memberi suatu keputusan yang kemudian diturut oleh seorang hakim lain adalah suatu kesalahpahaman. Seorang hakim yang menuruti suatu keputusan seorang hakim lain, tidak berarti bahwa hakim yang disebut pertama secara tegas mendapat suatu perintah dari hakim yang lain itu supaya menurut keputusannya. Karena menurut Utrecht, sesuai Pasal 1917 KUHPerdata keputusan hakim hanya berlaku terhadap kedua belah fihak yang perkaranya diselesaikan oleh keputusan itu. Menurut ketentuan ini, maka keputusan hakim tidak berlaku umum, namun tidak menutup untuk diikuti.[18]
Sepanjang yurisprudensi tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan hakim dan hakim menjadi berat sebelah, dalam arti hakim memihak, baru dapat dikatakan ada pelanggaran terhadap kemerdekaan hakim, seperti didalam kasus perkara yurisprudensi tancho yang digunakan dalam perkara nike II yang menekankan perlunya unsur “itikad baik” dalam pendaftaran merek. Putusan tancho oleh Presiden Soeharto saat itu sengaja dipaksa dijadikan yurisprudensi agar hakim tidak merdeka dalam memberi putusan.[19] Hakim terikat dengan yurisprudensi sepanjang memang sejalan dengan rasio hukum dari sebuah yurisprudensi, dengan maksud yaitu wajib dipertimbangkan. Ketika tidak sesuai hakim tetap dapat menolak menerapkan norma dalam yurisprudensi tersebut, namun wajib memberikan alasannya, demi tercapainya keadilan. Jadi tetap konsep keterikatannya adalah persuasive, namun wajib dipertimbangkan.
- Yurisprudensi dan Konsistensi Putusan
Persamaan persepsi di dalam penerapan hukum akan mewujudkan kepastian hukum. Terwujudnya kepastian hukum akan mencegah atau menghindarkan disparitas dan inkonsistensi putusan disebabkan hakim telah menerapkan standar hukum yang sama terhadap kasus atau perkara yang sama atau serupa dengan perkara yang telah putus atau diadili oleh hakim sebelumnya, sehingga putusan terhadap perkaranya dapat diprediksikan oleh pencari keadilan.[20] Dengan adanya putusan yang konsisten tersebut maka rasa keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud.[21]
Kepastian hukum akan memudahkan proses penegakan hukum, disebabkan dengan telah terwujud konsistensi penerapan hukum maka putusan akan mudah dilaksanakan tugasnya. Konsistensi penerapan hukum juga dapat menumbuh kembangkan yurisprudensi sebagai sumber hukum dan pengembangan hukum, sebab undang-undang tidak selalu lengkap dan tuntas mengatur segalanya. Peranan hakim dalam hal ini menjadi pengisi kekosongan hukum ketika undang-undang tidak mengatur dengan cara menciptakan hukum baik hukum formil maupun hukum materiil.[22]
Pada hakekatnya yurisprudensi mempunyai berbagai fungsi yaitu:[23]
- Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang sama
- Dengan adanya standar hukum yang sama, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat
- Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan dan ada transparansi
- Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang sama. Andai kata timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus).
Dengan adanya pedoman atau pegangan yang ada dalam yurisprudensi tersebut, maka akan timbul konsistensi dalam sikap peradilan dan menghindari putusan-putusan yang kontroversial, hal mana pada gilirannya akan memberikan jaminan kepastian hukum serta kepercayaan terhadap peradilan dan penegakan hukumnya, baik di forum nasional dan terutama tingkat internasional.[24]
Selain memberikan jaminan hukum dan kepercayaan terhadap peradilan, dengan adanya konsistensi putusan dapat mengakibatkan berkurangnya arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Dimana berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 93,16% perkara di tingkat banding masuk ke Mahkamah Agung dan salah satu faktor dominan tingginya arus perkara tersebut adalah inkonsistensi putusan atau ketidakjelasan sikap Mahkamah Agung atas suatu permasalahan hukum. Perlu diketahui bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung saat ini sudah melakukan tahap awal untuk membentuk suatu kesatuan hukum demi konsistensi putusan dengan diterapkannya sistem kamar sejak September tahun 2011.
- Kesimpulan
Dari segi kemerdekaan hakim, yurisprudensi pada pokoknya tidak mencederai nilai-nilai kemerdekaan hakim. Yurisprudensi sebagai konsekuensi bahwa ia adalah penghalusan dari undang-undang, didalamnya terkandung norma undang-undang yang mengikat hakim, sehingga hakim tidak dapat dikatakan tidak merdeka ketika hakim memutus mempertimbangkan yurisprudensi.
Kemudian Yurisprudensi dijadikan sebagai pedoman untuk hakim memutus suatu perkara. Dengan adanya pedoman atau pegangan yang ada dalam yurisprudensi tersebut, maka akan timbul konsistensi dalam sikap peradilan dan menghindari putusan-putusan yang kontroversial, hal mana pada gilirannya akan memberikan jaminan kepastian hukum serta kepercayaan terhadap peradilan dan penegakan hukumnya, baik di forum nasional dan terutama tingkat internasional.
[1] Peneliti LeIP
[3] Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LLM, Sistem Kamar Dalam Mahkamah Agung: Upaya membangun Kesatuan Hukum, https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4156 dilihat pada tanggal 15 Maret 2016, Pukul 13.47 WIB.
[4] Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, (Jakarta: Penerbit Balitbang Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI, 2010), hal. 103.
[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hal. 31.
[6] Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Op.Cit.
[7] Paulus Effendi Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1997), hal. 8-9.
[8] Ibid., hal. 10.
[9] Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 605
[10] Ibid, hal. 605-606.
[11] Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Op.Cit, hal. 5.
[12] Mahkamah Agung, Naskah Akademis Tentang Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2005), hal. 39.
[13] Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit, hal. 8.
[14] Ibid, hal. 9.
[15] Sebastiaan Pompe, Op.Cit, hal. 606-607.
[16] Ibid, hal. 607.
[17] Simon Shetreet, Judicial Independence, (Netherlands: Martinus Mijhoff Publisher, 1985), hal. 643.
[18] Ernst Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), hal. 125.
[19] Lihat Sebastiaan Pompe, Op.Cit, hal. 646-651.
[20] Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, Meningkatkan Kualitas Peradilan TUN Dengan Persamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum, Makalah, https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/15j.MENINGKATKAN_KUALITAS_PERADILAN_TUN_DG_PERSAMAAN_PERSEPSI.pdf diakses pada tanggal 24 Maret 2016, hal. 2.
[21] Prof. Takdir Rachmadi, Op.Cit.
[22] Ibid.
[23] Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit, hal. 17.
[24] Ibid, hal. 19.