Restorative Justice yang Tidak Me-Restore dan Tidak Justice
Pemberitaan tentang kesalahan fatal dalam penanganan kasus perkosaan kembali muncul ke publik. Kanal berita konde.co (24/10) memberitakan adanya kasus perkosaan seorang perempuan oleh 4 orang laki-laki pada tahun 2019, yang proses hukumnya dihentikan karena korban dikawinkan dengan salah satu pelaku. Perkara ini menjadi sorotan publik karena terjadi di dalam lingkup pekerjaan, di mana pelaku dan korban sama-sama bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM RI dan pemerkosaan tersebut terjadi ketika korban dan pelaku sedang melaksanakan tugas pekerjaannya. Alih-alih mendapat penyelesaian yang memulihkan, penyidikan kasus ini justru dihentikan oleh kepolisian pada tahun 2020. Melalui laman Twitter, Polres Bogor menerangkan “sudah ada perkawinan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Karena merasa tidak mendapat keadilan dan kondisi korban tak kunjung membaik, keluarga korban memutuskan membuka lagi kasus ini pada tahun 2022 agar bisa maju ke pengadilan.
Penghentian penyidikan kasus kekerasan seksual karena penyelesaian melalui perdamaian, kesepakatan, atau perkawinan, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada awal tahun 2022, ramai pemberitaan perdamaian kasus perkosaan yang terjadi di Pekanbaru. Bahkan, di akhir tahun 2021, sempat beredar berita oknum Kepolisian di Polsek Tambusai Utara yang mengancam korban perkosaan karena menolak penyelesaian kasus secara damai dengan pelaku melalui perkawinan antara korban dengan pelaku. Oleh oknum Kepolisian, hal ini jamak disebut sebagai upaya untuk mencapai restorative justice (keadilan restoratif).
Berkaca pada hal-hal tersebut, ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP mengecam keputusan Polres Bogor untuk menghentikan kasus ini karena penyelesaian melalui kesepakatan damai dengan cara menikahkan pelaku dan korban yang disebut sebagai usaha restorative justice dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan tidak pernah menjadi jalan keluar yang tepat bagi korban untuk memperoleh keadilan. Keputusan ini, justru akan membawa korban pada masalah-masalah baru. Salah satunya, korban rentan menjadi korban kembali untuk kedua kalinya (re-viktimisasi).
Kedua, pola perdamaian dalam kasus perkosaan seringkali diwarnai oleh intimidasi dari pihak pelaku maupun dari aparat penegak hukum (APH). Hal ini seringkali dilakukan pihak pelaku agar bebas dari jeratan hukum. Selain itu, penanganan RJ oleh APH seringkali berfokus pada kewenangan, efisiensi penegakan hukum, bahkan bertujuan untuk meminimalisir overcrowding rutan dan lapas, dengan mendorong penghentian perkara melalui kesepakatan damai atau mediasi. Pada akhirnya, korban tidak memperoleh keadilan dan menghambat korban memperoleh hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Hal ini juga yang terjadi pada dalam kasus ini. Setelah kesepakatan damai terjadi, korban justru mendapatkan pengabaian dan akhirnya mengalami re-viktimisasi, di mana ia menjadi korban untuk kedua kalinya.
Ketiga, restorative justice tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai penghentian perkara. Perkapolri 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif seharusnya mengecualikan mekanisme penghentian perkara dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa menjadi komponen yang tidak terpisahkan dari perbuatan. Hal ini menyebabkan kerentanan penyalahgunaan mekanisme restorative justice. Oleh karena itu, mekanisme restorative justice dalam konteks penghentian perkara melalui perdamaian, menjadi tidak ideal dilakukan pada perkara kekerasan seksual karena keberadaan relasi kuasa yang tidak imbang di antara antara korban, pelaku, dan aparat penegak hukum. Hal ini telah disadari oleh pembentuk UU TPKS yang secara tegas melarang penyelesaian di luar proses peradilan dalam perkara-perkara kekerasan seksual. Saat ini, konsep restorative justice di Indonesia masih belum sesuai dengan prinsip dasarnya, yang bertujuan agar seluruh pihak yang terlibat dalam sebuah perkara dapat mencari jalan keluar dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan dari perbuatan pidana yang terjadi. Konsep ini menempatkan kepentingan korban sebagai fokus utama untuk mencari jalan keluar, berbeda dengan sistem peradilan konvensional yang seringkali membatasi ruang korban untukdidengar dan diakomodasi kebutuhannya. Jalan keluar yang dicapai dalam restorative justice bukan merupakan penghentian perkara, melainkan penyelesaian dengan bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan korban, yang inisiatifnya juga muncul dari sudut pandang korban secara bebas. Pemahaman yang tidak utuh pada konsep restorative justice oleh aparat penegak hukum, menjadikan pelaksanaan restorative justice pada kasus-kasus kekerasan seksual sebagai sesuatu yang rentan disalahgunakan.
ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP menegaskan dalam kasus-kasus perkosaan seperti ini, Kepolisian seharusnya hadir untuk mengakomodir kepentingan dan hak-hak korban, bukan malah mengintimidasi korban untuk menghentikan laporan. Kepolisian harus menghentikan segera praktik-praktik pelaksanaan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual, karena saat ini restorative justice hanya dimaknai sebagai penyelesaian perkara, dan Pasal 23 UU TPKS sudah melarang mekanisme ini terjadi (kecuali terhadap pelaku anak) .
Berdasarkan hal ini, kami mendorong adanya upaya pra-peradilan atas penghentian perkara kasus ini, dan meminta Hakim untuk memeriksa perkara dengan substansial. Lebih lanjut, untuk mencegah berulangnya kesalahan implementasi restorative justice di tahap Kepolisian, kami mendorong kepada Kapolri untuk melakukan perubahan terhadap Perkapolri 8/2021 dan re-edukasi bagi jajaran POLRI tentang perspektif yang lebih tepat dalam penggunaan restorative justice dalam penanganan perkara yang sesuai dengan definisi dan prinsip dasar restorative justice, salah satunya adalah pertimbangan terhadap kepentingan korban.
Jakarta, 25 Oktober 2022
Hormat Kami,
ICJR, IJRS, PUSKAPA, dan LeIP