Pada hari Senin, 8 Januari 2024, PN Jakarta Timur menggelar persidangan terakhir untuk perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dengan agenda pembacaan putusan dalam kasus dugaan pencemaran nama baik kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, atas Terdakwa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Setelah menjalani proses persidangan selama kurang lebih 9 bulan sejak sidang perdana tanggal 3 April 2023, Majelis Hakim dalam perkara ini mempertimbangkan bahwa perbuatan Fatia dan Haris tidak memenuhi seluruh pasal dakwaan Penuntut Umum dan memutuskan untuk membebaskan Fatia dan Haris. Putusan ini kemudian disambut baik oleh berbagai kalangan masyarakat, khususnya para penggiat Hak Asasi Manusia terutama terkait hak atas kebebasan berekspresi.
Memang sudah seharusnya para hakim menghasilkan putusan-putusan berkualitas yang melindungi hak-hak warga negara. Namun, LeIP memandang Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana, Muhammad Djohar Arifin, dan Agam Syarief Baharudin patut untuk diapresiasi karena telah berhasil mempertimbangkan beberapa prinsip HAM terkait hak atas kebebasan berekspresi dengan baik, walaupun tidak menyebutkan prinsip-prinsip HAM tersebut secara eksplisit dalam putusannya. Putusan ini seakan menjadi salah satu harapan bahwa para Hakim Indonesia mampu menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam putusannya di tengah kondisi keringnya perujukan prinsip-prinsip HAM dalam putusan-putusan pengadilan selama ini. Adapun beberapa pertimbangan baik dalam putusan yang membebaskan Fatia dan Haris tersebut adalah sebagai berikut:
- Dalam mempertimbangkan unsur “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Majelis Hakim pada intinya menyebutkan bahwa:
“Perkataan Lord yang diletakkan sebelum nama Saksi LBP telah sering disematkan oleh media online dan menjadi suatu notaire apabila orang menyebut nama LBP, bahkan dalam perbincangan sehari-hari sering diucapkan, namun tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi Saksi LBP”
Pertimbangan ini secara implisit menunjukkan bahwa Majelis Hakim melindungi ekspresi Fatia dan Haris dari pembatasan yang tidak dilakukan untuk tujuan yang sah (legitimate aim) menurut prinsip-prinsip HAM [Lihat ICCPR, Pasal 19 ayat (3) jo. UU No. 12 Tahun 2005]. Hal ini terlihat dari Majelis Hakim yang menguji proporsionalitas proses hukum yang dihadapi Fatia dan Haris dengan pihak-pihak lain yang tidak menghadapi proses hukum apapun atas perbuatan yang sama, yaitu menyematkan kata “Lord” sebelum nama saksi LBP. Dengan kata lain, apabila proses hukum terhadap Fatia dan Haris memang dilakukan untuk tujuan yang sah, maka pihak-pihak lain yang sebelumnya melakukan tindakan serupa juga pasti sudah menjalani proses hukum yang sama dengan Fatia dan Haris, yang kenyataannya tidak demikian;
2. Selain itu, Majelis Hakim pada intinya juga mempertimbangkan bahwa unsur tersebut tidak terpenuhi karena “penyebutan kata Lord pada Saksi LBP bukanlah ditujukan pada personal Saksi LBP, tetapi lebih kepada posisi LBP sebagai seorang menteri pada Kabinet Presiden Jokowi”.
Hal ini pada dasarnya berkesesuaian dengan prinsip HAM yang pada intinya menyebutkan bahwa pejabat-pejabat publik merupakan objek yang sah untuk dikritik dalam diskursus politik, sehingga ekspresi yang dapat dianggap menghina suatu jabatan publik tidak pantas untuk dijatuhi hukuman [Komentar Umum ICCPR No. 34, Paragraf 38]. Selain itu, pertimbangan ini juga sejalan dengan yurisprudensi pengadilan HAM regional di negara-negara lain yang pada intinya menyebutkan bahwa pejabat publik harus memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap ekspresi masyarakat biasa dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi harus bersifat lebih longgar ketika terkait dengan diskursus publik mengenai figur publik atau pejabat publik (lihat Putusan Pengadilan HAM Eropa, Medžlis Islamske Zajednice Brčko and Others v. Bosnia and Herzegovina; Putusan Pengadilan HAM Inter-Amerika, Herrera Ulloa v. Costa Rica; Putusan Pengadilan HAM Afrika, Lohe Issa Konate v. Burkina Faso];
3. Majelis Hakim juga menilai bahwa “frasa Lord pada LBP bukanlah dimaksudkan sebagai suatu penghinaan atau pencemaran nama baik”. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim telah berhasil menafsirkan pasal penghinaan sesuai dengan Memorie van Toelichting (MvT) KUHP yang menjelaskan bahwa syarat utama dari penghinaan adalah adanya animus injuriandi, yaitu maksud untuk menjatuhkan harga diri orang lain (eergevoel te krenken) ataupun untuk mengurangi/merendahkan harga diri seseorang di mata orang-orang lain [LeIP, Melindungi Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM Putusan Pengadilan di Indonesia, hal. 100]. Artinya, tanpa adanya maksud atau tujuan untuk melakukan penghinaan, maka seseorang tidak dapat dipidana karena penghinaan. Hal ini juga telah dipertegas dalam SKB UU ITE yang menerangkan bahwa fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) [Lihat Lampiran SKB UU ITE No. 3 huruf g];
4. Yang terakhir, dalam mempertimbangkan bahwa seluruh dakwaan tidak terbukti, Majelis Hakim pada intinya menyatakan bahwa:
“Pernyataan terkait keterlibatan LBP dalam pertambangan di Papuaadalah hal yang tidak dapat diingkari karena terbukti PT Toba Comdel Mandiri sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang 99% sahamnya dimiliki oleh Saksi LBP memang berbisnis pertambangan di tanah Papua” dan “bukan termasuk dalam kategori penghinaan dan/atau pencemaran nama baik oleh karena yang dikemukakan dalam podcast adalah telaahan, komentar, analisa, pendapat, dan penilaian atas hasil kajian singkat yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil”
Pertimbangan ini secara jelas menunjukkan bahwa Majelis Hakim telah berhasil menerapkan SKB UU ITE dengan baik, yang juga sudah dirujuk sebagai dasar hukum oleh Hakim dalam putusannya, yang pada intinya menyatakan bahwa suatu ekspresi tidak dapat dipidana apabila ekspresi tersebut merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan [lihat SKB UU ITE No. 3 huruf c]. Hal ini juga sejalan dengan standar hukum HAM internasional dimana salah satu hal yang dapat menguatkan pembelaan terdakwa dalam kasus-kasus terkait kebebasan berekspresi adalah kebenaran tuduhannya (defence of truth) [lihat Komentar Umum ICCPR No. 34, Paragraf 47]. Selain itu, pertimbangan ini juga sejalan dengan yurisprudensi pengadilan HAM regional di negara-negara lain yang pada intinya menyebutkan bahwa penyampaian suatu pendapat atas dasar faktual yang cukup (seperti dalam kasus Fatia dan Haris adalah kajian Masyarakat Sipil) merupakan suatu ekspresi yang sah dan tidak dapat dibatasi, termasuk dengan penjatuhan hukuman pidana [lihat Putusan Pengadilan HAM Eropa, GRA Stiftung Gegen Rassismus und Antisemitismus v. Switzerland dan Tešić v. Serbia; Putusan Pengadilan HAM Inter-Amerika, Herrera Ulloa v. Costa Rica; Putusan Pengadilan HAM Afrika, Ingabire Victoire Umuhoza v. Rwanda].
Berdasarkan jabaran-jabaran tersebut, LeIP berkesimpulan bahwa putusan No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim merupakan salah satu harapan baik yang patut dijaga dalam pemajuan penerapan prinsip-prinsip HAM oleh pengadilan di Indonesia. Putusan inipun telah selaras dengan pidato Ketua Mahkamah Agung pada acara peluncuran buku bertajuk “Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR), yang pada intinya meminta para hakim menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam memeriksa dan memutus perkara. Untuk itu, LeIP menyerukan beberapa hal sebagai berikut:
- Mendorong berbagai pihak untuk memanfaatkan putusan No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim sebagai salah satu rujukan dalam pembahasan, diskusi, kajian, dan bahan dalam perkara-perkara terkait kebebasan berekspresi di Indonesia;
- Mendorong para Hakim di Indonesia untuk terus selalu menghasilkan putusan-putusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip HAM;
- Mengingat Jaksa telah mengajukan kasasi atas putusan No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim, LeIP mendorong Majelis Hakim yang ditunjuk Mahkamah Agung guna mengadili perkara ini pada tingkat kasasi untuk memperhatikan pertimbangan-pertimbangan berkualitas yang sudah dihasilkan oleh Majelis Hakim pada putusan No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim.
Jakarta, 9 Januari 2024
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan
Narahubung:
Shevierra Danmadiyah (081236325338)
Muhammad Tanziel Aziezi (082260015253)