Pada Selasa (28/3), DPR RI mengumumkan hasil fit & proper test enam Calon Hakim Agung dan tiga Calon Hakim Ad Hoc HAM untuk tingkat kasasi yang telah diuji sepanjang 27 – 28 Maret 2023. Dari total sembilan orang yang diuji, hanya tiga nama calon Hakim Agung yang dinyatakan lolos dan di antaranya tidak ada satupun nama Calon Hakim Ad Hoc HAM. Padahal, ketiga orang calon Hakim Ad Hoc HAM tersebut sejatinya akan bertugas untuk memutus perkara pelanggaran HAM di Paniai pada tahun 2014 di tingkat kasasi, yang perkara kasasinya sudah diajukan oleh Kejaksaan Agung sejak akhir Desember 2022.
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) memandang tidak lolosnya seluruh Calon Hakim Ad Hoc HAM tersebut sebagai hasil yang layak dan pantas. Perlu diketahui, LeIP telah memiliki catatan penting terhadap kualitas para calon Hakim Ad Hoc HAM tersebut sejak tahapan seleksi wawancara di Komisi Yudisial. Pada intinya, LeIP melihat keseluruhan calon tersebut belum memiliki kualitas, pengetahuan, dan kompetensi yang mumpuni untuk menangani penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, berdasarkan pemantauan LeIP, masalah kompetensi dan kualitas tersebut masih muncul pada tahap fit & proper test di Komisi III DPR RI kemarin. Paparan makalah, argumentasi, dan jawaban yang disampaikan ketiga calon yang belum cukup menggambarkan kualitas minimum yang dibutuhkan seorang Hakim Ad Hoc HAM pada tingkat kasasi. Bahkan, beberapa Anggota Komisi III DPR RI juga telah mengekspresikan penolakannya secara eksplisit dan langsung saat pelaksanaan fit and proper test.
Tidak lolosnya tiga Calon Hakim Ad Hoc HAM pada fit & proper test di DPR tentu berkonsekuensi pada perlu diulangnya proses seleksi oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. LeIP menyadari bahwa proses seleksi ulang akan memakan waktu dan sumber daya ekstra. Belum lagi persoalan minimnya calon pendaftar yang berkualitas dan berkompeten yang menjadi salah satu problem besar sejak awal proses seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM yang telah berjalan. Namun, LeIP melihat kondisi tersebut sebagai ruang dan kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan Hakim Ad Hoc HAM yang lebih memiliki kompetensi dan kualitas mumpuni untuk mengemban tugas sebagai penjaga kesatuan hukum di tingkat kasasi.
Untuk itu, LeIP memandang bahwa seluruh pihak perlu menjadikan proses seleksi ulang ini sebagai momentum perbaikan proses seleksi yang telah berlangsung sebelumnya. LeIP mendorong seluruh aktivis, akademisi, dan para praktisi yang memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni terkait perkara pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mendaftar dalam proses seleksi ulang calon Hakim Ad Hoc HAM tingkat kasasi nantinya. LeIP juga mendorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melaksanakan proses seleksi yang baru dengan lebih mengedepankan kualitas pengetahuan dan kompetensi para calon Hakim Ad Hoc HAM terpilih mengingat peran penting Hakim di tingkat kasasi dalam menjaga kesatuan penerapan hukum.
Selain itu, perlu dipahami bahwa jabatan Hakim Ad Hoc HAM adalah pekerjaan profesional dengan segala risiko dan tanggung jawabnya, layaknya profesi lain pada umumnya. Jaminan pemenuhan hak-hak terkait jabatan Hakim Ad Hoc HAM merupakan isu yang fundamental agar para pendaftar potensial yang berkualitas dan berkompeten dapat merasa aman secara finansial dan pemenuhan hak-hak lainnya untuk mendaftar sebagai calon Hakim Ad Hoc HAM. Namun, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, yang merupakan dasar regulasi terkait hak-hak kepegawaian Hakim Ad Hoc HAM saat ini, sudah tidak lagi relevan dengan kondisi hari ini di tahun 2023 dan dikhawatirkan tidak dapat memenuhi hak-hak Hakim Ad Hoc HAM ketika bertugas. Bahkan, para Hakim Ad Hoc HAM yang sebelumnya mengadili perkara Paniai pada tingkat pertama di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar masih menerima hak keuangan berdasarkan peraturan 10 tahun lalu yang sudah tidak relevan tersebut dan belum mendapatkan penyesuaian perolehan hak-hak hingga saat ini. Kondisi ini tentu berpotensi membuat calon pendaftar potensial yang berkualitas dan berkompeten menjadi ragu untuk mengikuti proses seleksi calon Hakim Ad Hoc HAM.
Untuk itu, LeIP mendorong Presiden untuk turut andil dalam upaya perbaikan proses seleksi tersebut. Presiden perlu untuk segera menerbitkan aturan baru terkait hak-hak Hakim Ad Hoc HAM yang lebih relevan dengan kondisi hari ini. Revisi terhadap Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 pada dasarnya sudah lama dibahas, namun hingga kini tidak kunjung rampung. LeIP melihat pengabaian terhadap hal-hal mendasar seperti ini akan berdampak pada menurunnya kualitas penanganan persidangan pelanggaran HAM berat ke depannya. Padahal, di samping sebagai upaya pemenuhan hak yang relevan, perbaikan hak keuangan dan fasilitas Hakim Ad Hoc HAM secara tidak langsung akan memperlihatkan komitmen dan keseriusan Pemerintah untuk mendorong penanganan perkara pelanggaran HAM berat yang lebih baik ke depannya.
Melihat dan mempertimbangkan situasi-situasi di atas, LeIP mendorong:
- Para aktivis, akademisi, dan para praktisi yang memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni terkait perkara pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mendaftar dalam proses seleksi ulang calon Hakim Ad Hoc HAM tingkat kasasi;
- Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan DPR untuk melaksanakan proses seleksi yang lebih mengedepankan kualitas pengetahuan dan kompetensi para calon Hakim Ad Hoc HAM terpilih;
- Presiden untuk segera menerbitkan aturan baru terkait hak-hak Hakim Ad Hoc HAM yang lebih relevan dengan kondisi hari ini. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi dan menyesuaikan aturan hak-hak Hakim Ad hoc HAM dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc;
Jakarta, 30 Maret 2023
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
- Mentari A. R. (Peneliti LeIP), telepon: +62 856-5416-9311
- Muhamad Dwieka F. (Peneliti LeIP), telepon: +62 852-9136-0001
- Shevierra Danmadiyah (Peneliti LeIP), telepon: +62 812-3632-5338