Pada hari Kamis, 2 Februari 2023, Komisi Yudisial (KY) menyelenggarakan wawancara terhadap 5 (lima) orang calon Hakim Agung Ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu: 1). Harnoto, S.H.; 2). Heppy Wojongkere, S.H.; 3). Lafat Akbar, S.H., M.H.; 4). M. Fatan Riyadhi, S.H., M.H.; dan 5). Dr. Ukar Priyambodo, S.H., M.H. guna mengisi kekosongan formasi Hakim Agung Ad Hoc HAM di Mahkamah Agung (MA) saat ini. Wawancara ini tidak terlepas dari adanya pengajuan kasasi oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 21 Desember 2022 terhadap putusan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara pelanggaran HAM berat di Paniai. Putusan Pengadilan HAM tersebut pada intinya memutuskan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di Paniai pada tanggal 7 dan 8 Desember 2014, namun membebaskan terdakwa (Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu) karena tidak terbukti memiliki pertanggungjawaban komando dalam peristiwa tersebut.
Merujuk pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, perkara pelanggaran HAM di tingkat kasasi harus diadili oleh Majelis Hakim yang memiliki 3 (tiga) orang Hakim Agung Ad Hoc HAM yang diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan DPR. Untuk itu, dalam waktu yang dekat, calon Hakim Agung Ad Hoc HAM yang terpilih dari wawancara ini diproyeksikan untuk mengisi kebutuhan formasi 3 (tiga) orang Hakim Agung Ad Hoc HAM untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat di Paniai di tingkat kasasi.
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) sendiri terlibat dalam pemantauan proses penyelenggaraan persidangan pelanggaran HAM berat di Paniai sejak awal persiapan persidangan perkara tersebut di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar. Dari pemantauan tersebut, LeIP menemukan 3 orang calon Hakim Agung Ad Hoc HAM yang sudah pernah mendaftar sebagai Hakim Ad Hoc tingkat pertama dan banding, namun dinyatakan tidak lulus proses seleksi oleh Panitia Seleksi MA, yaitu Lafat Akbar dan M. Fatan Riyadhi (tidak lolos seleksi tertulis) serta Ukar Priyambodo (tidak lolos seleksi wawancara dan profile assessment). Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait alasan KY meloloskan calon-calon tersebut dari proses seleksi kualitas hingga tahap wawancara ini.
Berdasarkan pemantauan dalam proses wawancara oleh KY, LeIP belum menemukan calon Hakim Agung Ad Hoc HAM yang memiliki pengetahuan mumpuni terkait pelanggaran HAM berat, khususnya terkait unsur “meluas atau sistematis” dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan konsep pertanggungjawaban komando. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan para calon memberikan jawaban-jawaban yang tepat dan baik terkait materi-materi tersebut dalam proses wawancara. Misalnya, terdapat calon yang menyatakan bahwa harus terdapat “komando” untuk membuktikan unsur “sistematis”, komandan yang tidak berada di tempat terjadinya pelanggaran HAM berat tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, dll. Kalaupun terdapat calon yang dapat memberikan jawaban yang cukup baik terkait hal-hal tersebut, jumlah calon tersebut belum cukup untuk memenuhi formasi 3 orang Hakim Agung Ad Hoc HAM yang diamanatkan UU No. 26 Tahun 2000.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas Hakim Agung Ad Hoc HAM yang nantinya terpilih dan ikut mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM berat di tingkat kasasi, termasuk peristiwa Paniai. Peradilan kasasi memiliki peran yang sangat penting sebagai penjaga kesatuan hukum dengan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berguna untuk kemajuan pemikiran hukum. Dengan demikian, Hakim-hakim Agung, termasuk Hakim Agung Ad Hoc, seharusnya merupakan orang-orang pilihan yang memiliki pengetahuan dan kualitas yang baik guna dapat menjalankan peran penting tersebut dengan maksimal.
Meskipun Pasal 33 UU 26 Tahun 2000 mengatur mengenai jangka waktu penyelesaian perkara di tingkat kasasi, namun resiko yang ditimbulkan dengan memilih calon yang tidak berkualitas sangat besar. Apalagi hakim ad hoc akan menjadi mayoritas dalam majelis hakim pengadilan HAM di tingkat kasasi. Hakim Agung yang tidak berkualitas akan berdampak pada pemberian keadilan kepada korban, para pihak, dan para pencari keadilan. Pengabaian terhadap kualitas calon dengan alasan pragmatis, sama halnya dengan menutup mata terhadap akuntabilitas proses persidangan pelanggaran HAM berat dan pemberian hak atas keadilan bagi para korban.
Oleh karena itu LeIP meminta KY untuk:
- Tidak meluluskan calon-calon yang tidak memenuhi syarat kualitas dan integritas sebagai hakim agung HAM Ad Hoc pada Mahkamah Agung;
- Melakukan seleksi ulang terhadap calon-calon hakim agung HAM Ad Hoc.
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Narahubung:
Mentari Anjhanie (085654169311)
Muhamad Dwieka (085291360001)