Dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), negara adalah pemegang kewajiban (duty bearer) dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, baik warga negara, maupun setiap orang dalam wilayah negara tersebut. Sebagai salah satu cabang kekuasaan negara yang menjalankan fungsi yudisial, pengadilan juga seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, salah satunya dalam memeriksa dan memutus perkara. Lebih dari itu, perkara-perkara di pengadilan sangat sering bersinggungan dengan ketentuanketentuan HAM, seperti perkara-perkara pidana terkait kasus penodaan agama (blasphemy) yang seringkali berhubungan erat dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, perkara penghinaan yang lazim berhubungan dengan hak atas kebebasan berekspresi, dll. Belum lagi penerapan prinsip-prinsip fair trial yang tidak hanya menjadi bagian dari hukum acara pidana, namun juga prinsip penting dalam HAM yang seringkali harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan putusan. Dengan negitu, penerapan prinsip-prinsip HAM dalam putusan pengadilan pada dasarnya merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh pengadilan sebagai wujud pelaksanaan kewajibannya dalam penegakan prinsip-prinsip HAM.
Selama ini, diskusi-diskusi publik mengenai putusan pengadilan masih cenderung mengarah pada putusan-putusan yang belum menerapkan prinsip-prinsip HAM dengan baik. Hal ini tentunya sangat perlu untuk terus dilakukan sebagai kontrol dari masyarakat guna lebih meningkatkan kualitas putusan pengadilan. Namun, perlu dicatat bahwa pengadilan juga telah menghasilkan putusan yang berhasil mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM dengan sangat baik. Salah satu contohnya adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT yang berhasil mempertimbangkan prinsip pembatasan HAM dalam memutuskan pembatasan dan penutupan akses internet di Papua dan Papua Barat pada periode 14 Agustus – 9 September 2019 sebagai perbuatan yang melawan hukum. Sayangnya, putusan yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip HAM dengan baik seperti ini relatif tidak diketahui dan mendapat perhatian masyarakat. Padahal, putusan-putusan baik tersebut juga perlu diketahui oleh masyarakat dan patut diapresiasi sebagai salah satu kemajuan penerapan prinsip-prinsip HAM oleh pengadilan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dengan dukungan penuh dari Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) melakukan pengumpulan dan analisis terhadap putusan-putusan pengadilan yang telah menerapkan prinsipprinsip HAM dengan baik, untuk kemudian dipublikasikan sebagai “putusan-putusan penting (landmark decisions)” terkait penerapan prinsip HAM agar dapat diketahui masyarakat. Di samping untuk diketahui oleh masyarakat, publikasi putusan-putusan pengadilan tersebut juga dapat digunakan sebagai bentuk apresiasi kepada para hakim yang telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam putusannya, sehingga para Hakim tersebut diharapkan dapat terus menghasilkan putusan yang berkualitas, khususnya dari perspektif HAM. Lebih dari itu, putusan-putusan tersebut dapat diharapkan pula dapat menjadi referensi yang baik bagi hakim-hakim lainnya, sehingga hakim-hakim lain juga dapat menghasilkan putusan pengadilan yang cukup mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM. Selain itu, putusan-putusan tersebut juga diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi para akademisi dan peneliti dalam konteks penerapan prinsip-prinsip HAM oleh pengadilan. Dengan demikian, pengumpulan putusan tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat luas, namun juga bagi kalangan akademisi, bahkan di kalangan hakim sendiri.
Kumpulan Putusan-putusan Penting (Landmark Decisions) Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diunduh di sini