Polemik dan desas-desus seputar calon-calon yang akan digadang-gadang untuk memegang jabatan Jaksa Agung perlu disikapi secara cermat. Isu yang berkembang saat ini adalah apakah calon Jaksa Agung akan berasal dari kalangan internal (karir) atau dari eksternal (non karir). Koalisi Pemantau Peradilan telah melakukan pemetaan terhadap prestasi rezim Jaksa Agung terdahulu, yang berasal dari kalangan internal dan berkesimpulan bahwa kinerja Jaksa Agung terdahulu memiliki catatan buruk yang berpotensi dan bahkan sudah melemahkan upaya perbaikan sistem hukum dan ancaman bagi upaya penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan menilai, mengambil Jaksa Agung dari kalangan eksternal adalah suatu opsi yang wajib dipilih oleh Presiden.
Koalisi mencatat setidaknya terdapat sedikitnya 7 kasus korupsi kelas kakap yang dihentikan dan 40 kasus korupsi kelas kakap yang tidak jelas perkembangannya. Upaya untuk memburu uang milik Tommy Soeharto yang diduga hasil korupsi di Guersney Inggris juga mengalami kegagalan. Khusus untuk semester I 2010. ICW mendokumentasikan sebanyak 54,82 % koruptor divonis bebas di pengadilan umum. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran jaksa dalam menyusun dakwaan. Kondisi ini menjadi salah satu catatan kelam selama kepemimpinan Hendarman Supandji sebagai mantan Jaksa Agung.
Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama Tahun Anggaran 2006-2008 menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan di institusi Kejaksaan Agung mendapat penilaian Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Selain itu terdapat temuan hasil Audit BPK semester I 2009 atas Kekurangan Penerimaan Negara pada Kejaksaan Agung uang pengganti senilai Rp8,15 triliun (termasuk Rp3,00 triliun ekuivalen dari USD293.85 juta berdasar nilai kurs tengah BI per 30 Juni 2009 USD1=Rp10.225,00) serta denda senilai Rp30,19 miliar di lingkungan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta belum berhasil ditagih atau masuk ke Kas Negara.