Oleh: M. Tanziel Aziezi
Pada tanggal 19 April 2016, Mahkamah Agung RI menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (Perma No. 4 Tahun 2016). Perma ini dibentuk untuk mengakhiri polemik boleh atau tidaknya putusan praperadilan diajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) apabila terdapat penyelundupan hukum.[1]
Perma No. 4 Tahun 2016 mengatur tentang larangan PK atas putusan praperadilan, juga mengatur objek perkara yang dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.[2]
Saya sangat mengapresiasi terbitnya Perma ini. Sebab, menurut saya Mahkamah Agung (MA) telah berupaya menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan yang ada saat ini. Melalui perma ini, MA telah menjawab kegundahan saya tentang sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan (Praperadilan Atas Sah Tidaknya Penetapan Tersangka (Perjudian Hukum Yang Di(ter)biarkan”).
Selain itu, Perma ini menunjukan “kepatuhan” MA dalam menjalankan putusan MK. Pasalnya, isi materi Perma, khususnya mengenai objek praperadilan, sesuai dengan putusan MK.
Namun demikian, perma ini masih memiliki kekurangan. Ada dua hal yang perlu dikritisi. Pertama, mengenai pengaturan tentang objek praperadilan dan materi pembuktiannya. Dalam poin ini, ada 3 (tiga) catatan penting: (a) ketidakjelasan hukum acara praperadilan atas sah tidaknya penyitaan dan penggeledahan; (b) ketidakjelasan frase “2 (dua) alat bukti yang sah” dalam Pasal 2 Ayat (2) Perma 4/2016; dan (c) ketidakjelasan siapa pihak yang dibebankan untuk membuktikan dalam praperadilan tersebut.
Poin (a), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai objek praperadilan: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun melalui Perma Nomor 4 Tahun 2016 ini, MA menambah objek praperadilan dari yang telah ada, yakni memasukan penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan.[3]
Saya tidak sependapat dengan pengaturan tersebut. Sebab, seharusnya yang ditambahkan menjadi objek pemeriksaan praperadilan hanyalah sah tidaknya penetapan tersangka. Penetapan tersangka sebelum putsan MK, belum memiliki sistem pengawasan dan check and balances dari lembaga peradilan. Sedangkan, penyitaan dan penggeledahan sebenarnya sudah mempunyai mekanisme pengawasan oleh peradilan, yaitu berupa kewajiban adanya surat izin dari ketua pengadilan negeri sebelum melaksanakan penyitaan dan/atau penggeledahan tersebut.
Menurut Perma Nomor 4 Tahun 2016, pengujian sah tidak penetapan tersangka hanya bisa dilakukan sejauh objek pemeriksaannya menyangkut aspek formil: ada tidaknya dua alat bukti yang sah.[4] Tidak satupun pasal yang mengatur hukum acara mengenai sah tidaknya penyitaan atau penggeledahan.
Pertanyaannya, apa objek pemeriksaan dalam sah tidaknya penyitaan atau pengeledahan? Apakah surat izin dari ketua pengadilan pegeri bisa dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan atau penggeledahan? Apa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh penyidik ketika melakukan penyitaan atau penggeledahan?
Lalu, apa implikasinya apabila suatu penyitaan atau penggeledahan dinyatakan tidak sah? Apakah harus mengembalikan barang yang disita atau digeledah, seperti yang sudah diatur apabila terdapat gugatan ganti rugi atas penyitaan atau penggeledahan, atau seperti apa?
Apakah penyidik dapat kembali menyita barang-barang tersebut dengan alasan yang sah? Tidak diatur dalam Perma. Padahal, penyitaan dan penggeledahan merupakan objek perkara praperadilan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut.
Lalu, mengapa ketentuan-ketentuan ini tidak diatur dalam Perma ini? Apakah Mahkamah Agung tidak memiliki bayangan tentang hukum acara untuk pemeriksaan sah tidaknya penyitaan atau penggeledahan? Atau karena belum pernah menjadi masalah sehingga tidak perlu diatur?
Poin (b), terdapat ketidakjelasan dalam ketentuan “2 (dua) alat bukti yang sah”. Apakah dua alat bukti yang sah tersebut untuk menunjukan telah terjadi tindak pidana, atau untuk menunjukan bahwa tersangka-lah yang diduga melakukan tindak pidana?
Ketidakjelasan ini dapat saja menimbulkan masalah. Bisa saja seseorang ditetapkan sebagai tersangka atas dasar dua alat bukti yang sah telah terjadi suatu tindak pidana. Atau, berdasarkan dua alat bukti yang sah seseorang telah melakukan tindak pidana. Hal ini jelas merugikan seorang tersangka. Pasalnya, orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka bukan atas dasar dugaan yang beralasan bahwa ia yang melakukan tindak pidana, melainkan hanya karena dugaan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi.
Pasal 1 angka 14 KUHAP mengatur,”seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan sehingga patut diduga seseorang tersebut adalah pelaku tindak pidana.” Perma Nomor 4 Tahun 2016 menyamakan antara “bukti permulaan” dan “2 (dua) alat bukti yang sah”, yang sama-sama menunjukkan seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Pengaturan ini jelas mengandung kekeliruan hukum. Penetapan tersangka terjadi pada tahap penyidikan, sedangkan dalam tahap penyidikan tidak ada yang namanya “alat bukti”. Alat bukti hanya ada di dalam persidangan.
(Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan, Sebuah Progresivitas Hukum Yang Dibutuhkan)
Poin (c), terkait objek pemeriksaan dan materi pembuktian. Perma Nomor 4 Tahun 2016 tidak menjelaskan pihak yang memiliki beban pembuktian[5] dalam persidangan praperadilan. Tidak jelas siapa yang harus membuktikan mengenai dua alat bukti yang sah: apakah Pemohon? Tersangka? Atau penyidik? Hal yang sama juga berlaku untuk objek praperadilan lainnya.
Menurut saya, yang seharusnya diberi beban pembuktian adalah penyidik, bukan tersangka. Sebab, yang diperiksa adalah keabsahan dari suatu tindakan penyidik.
Kedua, larangan PK atas putusan praperadilan. Berdasarkan Pasal 83 Ayat (1) KUHAP, putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan yang dapat dimintakan “putusan akhir” ke Pengadilan Tinggi (yang dapat disebut juga banding), yang diatur dalam Pasal 83 Ayat (2) KUHAP, adalah putusan terkait sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Namun, 1 Mei 2012, MK mengeluarkan putusan No. 65/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa Pasal 83 Ayat (2) KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Seluruh putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Lalu, berdasarkan Pasal 45A Ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Namun, MA membolehkan putusan praperadilan diajukan upaya hukum PK. Dalam surat edaran yang diterbitkan tahun 2014,[6]diperbolehkannya putusan praperadilan diajukan PK dengan alasan bahwa terdapat penyelundupan hukum. Ketentuan ini, pada akhirnya dianulir melalui Perma ini dengan alasan, terdapat perbedaan penafsiran mengenai penyelundupan hukum. Oleh karena itu, saya menyimpulkan, putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
Lantas, apa upaya yang dapat ditempuh apabila terdapat kesalahan dalam putusan praperadilan dan merugikan pihak yang berperkara? Perma mengatur solusi pengawasan oleh Mahkamah Agung terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugas Praperadilan.
MA diberi wewenang untuk meminta keterangan tentang teknis pemeriksaan Praperadilan; dan Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu terhadap putusan Praperadilan yang menyimpang secara fundamental.
Menurut penulis, selain melakukan pengawasan, MA juga harus mengatur objek pemeriksaan praperadilan atas sah tidaknya penyitaan dan/atau penggeledahan, akan timbul di kemudian hari apabila terjadi praperadilan atas sah tidaknya penyitaan dan/atau penggeledahan.
Mahkamah Agung juga harus memberi penjelasan tentang “bukti” yang dimaksud dalam syarat untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka. Jangan sampai, “2 alat bukti” yang dimaksud disamakan alat bukti dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Menurut saya, ketentuan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP merupakan bukti-bukti yang ditampilkan pada tahap persidangan.
Mahkamah Agung harus menjelaskan bahwa “bukti” yang dimaksud adalah bukti yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka, bukan sebatas bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Mahkamah Agung juga harus mengatur mengenai pihak yang seharusnya dibebankan beban pembuktian. Beban pembuktian diserahkan ke penyidik, bukan kepada pihak yang dikenai upaya paksa.
Mahkamah Agung seharusnya tidak memilih jalan untuk melarang PK atas putusan praperadilan, melainkan memberi tafsir yang jelas terkait “penyelundupan hukum” sebagai syarat PK atas putusan praperadilan. Mahkamah Agung tidak seharusnya menutup akses upaya hukum atas putusan praperadilan, agar masih memiliki jalan untuk mengkoreksi putusan praperadilan yang mengandung kesalahan.
Menjalankan putusan MK adalah hal yang sangat baik dan patut diapresiasi. Namun, bukan berarti dampak-dampak yang terjadi akibat putusan MK tidak bisa diatur. Dalam hal ini, Mahkamah Agung seharusnya tidak hanya mengikuti putusan MK terkait praperadilan, namun juga mengatur dampak-dampak yang terjadi akibat putusan MK tersebut. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus dapat melihat permasalahan secara lebih jernih agar dapat memberikan solusi yang tepat atas suatu permasalahan hukum yang ada.
(Penulis bekerja sebagai Peneliti di LeIP, bisa dihubungi melalui email: tanziel.aziezi@leip.or.id)
[1] Sebelumnya, MA menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Ternyata pengaturan dalam SEMA tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda atas apa definisi “penyelundupan hukum”.
[2] Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi memperluas objek praperadilan, yakni melingkupi pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka.
[3] Pasal 2 ayat (1) Perma Nomor 4 Tahun 2016
[4] Pasal 2 ayat (2). Idem
[5] Beban pembuktian dalam praperadilan sudah menjadi isu lama yang belum terpecahkan sampai sekarang, walaupun perma ini sudah disahkan.
[6] SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan