Oleh
Muhammad Rafi[1]
Kemarin (Rabu, 27 April 2016) muncul sebuah artikel yang cukup menarik dari media online Hukumonline.com yang berjudul “Catatan KY untuk Sistem Penanganan Perkara MA”[2]. Media tersebut pada intinya membahas mengenai 4 cara mencegah adanya Mafia Perkara di Mahkamah Agung dimana Farid Wadji sebagai Juru Bicara Komisi Yudisial sebagai narasumbernya.
Menurut Farid, satu dari empat cara utama untuk mengurangi Mafia Peradilan di Mahkamah Agung adalah dengan membuat perkara kasasi yang diperiksa oleh Mahkamah Agung terbuka untuk umum. Bahkan Farid menambahkan bahwa tertutupnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah sesuatu hal yang baru. Untuk memperkuat argumennya, Farid mengutip disertasi dari seorang akademisi Belanda yaitu Sebastian Pompe[3] yang menyatakan bahwa peradilan Indonesia mengadopsi konsep terbuka untuk umum dari mulai tingkat pertama sampai dengan MA. Namun sejak kepemimpinan Oemar Senoadji sebagai ketua MA, barulah sidang-sidang pada peradilan Indonesia, khususnya pada tingkat kasasi tidak lagi terbuka untuk umum.
Wacana mengenai terbukanya untuk umum persidangan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung bukanlah sesuatu hal yang baru. Akan tetapi, hal ini menjadi menarik ketika wacana tersebut justru dilontarkan sendiri oleh seorang Juru Bicara Komisi Yudisial yang seharusnya sudah mengenal mengenai seluk beluk Mahkamah Agung. Melihat pernyataan tersebut tampaknya kita harus mengenal Mahkamah Agung jauh lebih dalam lagi.
Mahkamah Agung merupakan lembaga pengadilan tertinggi yang diberikan wewenang untuk memeriksa perkara Kasasi. Karena wewenangnya tersebut Mahkamah Agung disebut juga sebagai iudex jurist. Berbeda dengan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang disebut sebagai iudex factie. Perbedaan prinsipil diantara keduanya adalah terletak pada objek yang diperiksa. Pada iudex factie, pengadilan yang bersangkutan memeriksa kebenaran fakta dan penerapan hukum dari perkara yang bersangkutan. Sedangkan pada iudex jurist hanya memeriksa mengenai ketepatan penerapan hukum saja. Konsekuensi perbedaan tersebut berdampak pada hukum acaranya.
Dikarenakan iudex factie juga memeriksa kebenaran fakta, maka dalam hukum acaranya terdapat agenda pemeriksaan keterangan saksi atau ahli, yang sering kita dengar sebagai proses pembuktian. Agar fakta yang diperiksa di tingkat pertama dan tingkat banding benar-benar teruji keabsahannya, maka persidangan dilakukan dengan terbuka dimana masyarakat dapat menyaksikan langsung proses pemeriksaan sehingga tidak ada fakta yang disembunyikan. Itulah sebabnya dalam persidangan pada tingkat PN dan PT harus dilakukan dengan terbuka untuk umum.
Sedangkan objek perkara dalam iudex iurist (kasasi) terdiri dari 3 objek, yakni : 1) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; 3) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Jika objek yang diperiksa adalah hal yang demikian maka sudah jelas pemeriksaan saksi atau ahli tidak diperlukan lagi, sebab fakta yang didapatkan di tingkat PN dan/atau PT sudah dianggap benar terjadi.
Jika Komisioner KY ini sedikit lebih rajin mungkin untuk lebih mudah memahami hukum acara dalam Kasasi dapat melihat BAB XVII KUHAP Bagian Kedua tentang Pemeriksaan Untuk Kasasi maupun BAB IV Bagian Kedua UU Mahkamah Agung. Dalam prosesnya pemohon kasasi mengajukan permohonan ke pengadilan negeri setempat. Atas permohonan tersebut pemohon wajib untuk membuat Memori Kasasi yang berisi alasan-alasannya dalam mengajukan kasasi. Terhadap termohon kasasi, diberikan hak kepada pihak lawannya untuk mengajukan kontra memori kasasi. Kemudian perkara diperiksa oleh minimal 3 majelis hakim yang didasarkan oleh berkas perkara yang diterima dari pengadilan dibawahnya. Setelah membaca berkas perkara, mempertimbangkan alasan permohonan dan bantahannya, barulah majelis hakim bermusyawarah untuk menentukan hasil putusannya.
Memang baik KUHAP maupun UU MA memberikan wewenang kepada Kasasi (MA) untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap saksi dan ahli apabila dibutuhkan. Dalam Pasal 253 KUHAP dan Pasal 50 UU MA Kasasi diberikan 2 sistem model pemeriksaan yakni dengan memanggil langsung kepada saksi atau ahli atau JPU untuk memberikan keterangan yang diperlukan. Kemudian sistem yang kedua adalah memerintahkan pengadilan asal untuk memeriksa kembali saksi atau ahli atau terdakwa. Dalam hal demikan maka tentunya kebutuhan akan adanya persidangan yang harus terbuka menjadi relevan. Akan tetapi bentuk pemeriksaan ini sangat langka terjadi jika tidak bisa dibilang tidak pernah terjadi.
Jika ternyata proses beracara di tingkat Kasasi adalah sebagaimana yang dijelaskan diatas, pertanyaan utamanya adalah pemeriksaan mana yang harus dilakukan secara terbuka untuk umum? Dari nature pemeriksaan kasasi, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 253 KUHAP dan Pasal 50 KUHAP pada dasarnya persidangan yang dapat dilakukan secara terbuka pada dasarnya hanyalah sidang pembacaan memori dan kontra memori kasasi (oral statement) dan tahap pembacaan putusan.
Jika agenda pembacaan memori kasasi dan kontra memori atau pembacaan putusan kasasi harus dilakukan secara terbuka dan para pihak diwajibkan hadir, maka akan menimbulkan pembengkakan biaya, utamanya bagi pemohon kasasi. Bayangkan berapa biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya seperti penginapan dan sebagainya yang dikeluarkan oleh pemohon dan termohon kasasi yang tersebar diseluruh Indonesia hanya untuk membacakan memori kasasi dan kontra memori kasasi atau mendengar pembacaan putusan semata. Dan, pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana argumentasinya bahwa dengan adanya sidang oral statement maupun pembacaan putusan yang terbuka akan mengurangi praktik permainan perkara di MA?
Jika bukan kedua tahapan tersebut yang dimaksudkan perlu ada sidang terbuka untuk umum, lantas agenda persidangan mana lagi yang akan dibuka? Apakah maksudnya musyawarah hakim harus dilakukan secara terbuka? Entah di belahan dunia mana ada musyawarah hakim yang dilakukan secara terbuka, yang bisa ditonton publik atau para pihak bak sidang di DPR.
Akhir kata, sejatinya kekhawatiran dan itikad baik dari Farid Wadji tersebut harus diapresiasi. Ide dan gagasan yang diajukannya memang semata-mata untuk memperbaiki Mahkamah Agung. Akan tetapi sebelum memperbaiki Mahkamah Agung, justru akan jauh lebih baik jika terlebih dahulu mengenali apa itu Mahkamah Agung dan nature perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
[1] Peneliti Muda pada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
[2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt572010b15d785/catatan-ky-untuk-sistem-penanganan-perkara-ma
[3] Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) sudah menterjemahkan dan membukukan disertasi dari Sebastian Pompe kedalam bahasa Indonesia dengan Judul “Runtuhnya Mahkamah Agung”. Akan tetapi tanpa mendiskreditkan narasumber tidak ada satupun kutipan yang demikian terdapat dalam literatur yang dimaksud.