Tahun 2014 silam, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan pidana penjara 1 tahun 6 bulan terhadap Dokter Bambang Suprapto. Dia terbukti bersalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik dan tidak memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Bambang melanggar Pasal 76 dan Pasal 79 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Kedua pasal tersebut sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan Nomor 4/PUU-V/2007, MK telah menyatakan kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kenyataan pahit yang dialami ahli bedah yang bertugas di Ngawi tersebut menampilkan satu permasalahan dalam manajemen pengetahuan yang tersedia bagi hakim serta penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Kondisi demikian memberikan gambaran tentang manajemen pengetahuan belum “membumi”, keberadaan data, informasi dan pengetahuan yang tersedia seolah belum dikelola dengan baik.
Apakah Manajemen Pengetahuan
Manajemen pengetahuan diartikan sebagai upaya terstruktur dan sistematis dalam mengembangkan dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk membantu proses pengambilan keputusan bagi peningkatan kinerja organisasi. Aktivitas dalam manajemen pengetahuan meliputi upaya perolehan, penyimpanan, pengolahan dan pengambilan kembali, penggunaan dan penyebaran, serta evaluasi dan penyempurnaan terhadap pengetahuan sebagai aset intelektual organisasi[1].
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) menjelaskan, pengetahuan dibagi menjadi pengetahuan tacit/implisit yang dimiliki oleh individu, dan pengetahuan eksplisit yang tersedia di organisasi[2].
Sedangkan dalam buku Intriduction to Knowledge Management, digambarkan perkembangan konseptual dari data menjadi sebuah pengetahuan. Proses menghubungkan dan memahami data yang tersedia dapat menjadi sebuah informasi, ketika informasi yang tersedia dapat membentuk dihubungkan akan membentuk pola pemahaman dan menjadi sebuah kebijakan oleh pihak pengambil kebijakan ketika pengetahuan tersebut telah membentuk pemahaman prinsip[3]. Sebagai contoh Dirjen Lapas memiliki data jumlah narapidana dan kapasitas lapas, dari data tersebut didapat informasi bahwa tejadinya overcapacity, berdasarkan informasi mengenai overcapacity lapas tersebut menjadi penting diketahui penyebabnya (pengetahuan) dan dapat diambil suatu kebijakan untuk menanggulangi overcapacity tersebut.
Manajemen Pengetahuan Peradilan dan Stakeholder Terkait
Konteks manajemen pengetahuan dalam sebuah peradilan tidak berbicara hanya pada lembaga pengadilan (Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya), tetapi juga berkaitan dengan pemangku kepentingan lain, yang fungsinya akan saling berkaitan. Manajemen pengetahuan dalam peradilan memegang peranan penting dalam memberikan instrumen tidak hanya bagi hakim untuk menciptakan putusan yang berkualitas, namun termasuk dalam perkembangan hukum.
Identifikasi terhadap manajemen pengetahuan peradilan dalam mendukung siklus manajemen pengetahuan perolehan, penyimpanan, pengolahan dan pengambilan kembali, penggunaan dan penyebaran, serta evaluasi dan penyempurnaan dapat dirumuskan dalam 3 (tiga) hal.[4]
Pertama, manajemen dan organisasi. Dalam membentuk manajemen pengetahuan peradilan, pembentukan pengelolaan terhadap personal dalam lembaga memegang peranan penting. Terhadap siapa dan melakukan apa harus terbangun. Di Hoge Raad Belanda, misalnya, terdapat Parket yang beranggotan Advocaat Generaal yang memberikan advis atau pertimbangan terhadap suatu perkara sebelum perkara terkait disampaikan kepada hakim agung[5].
Demikian halnya dalam manajemen pengetahuan peradilan, stakeholder terkait memiliki peran penting dalam mendukung terbentuknya putusan yang berkualitas oleh hakim dalam pengadilan. Lembaga legislatif dan lembaga eksekutif harus memastikan dalam pembentukan peraturan, bahwa naskah-naskah penting yang dipergunakan dalam pembentuknannya dapat digunakan dan diakses baik oleh hakim, jaksa, advokat serta akademisi dalam melakukan kajian.
Kedua, infrastruktur. Untuk mendukung manajemen dan organisasi, infrastruktur yang baik sangat dibutuhkan khususnya oleh lembaga peradilan. Khususnya infrastruktur teknologi dan informasi dalam mendukung tugas dan kinerja peradilan serta stakeholder. Beberapa poin penting diantaranya database putusan yang sudah terkategorisasi dan dapat diakses dengan mudah, serta infrastruktur dalam keahlian yang memberikan kepastian terhadap validitas pengetahuan yang tersedia.
Ketiga, personal dan budaya. Aspek personal dan budaya memegang peranan penting dalam sebuah manajemen pengetahuan peradilan. Proses sharing knowledge menjadi instrumen yang dibutuhkan dalam membangun manajemen pengetahuan peradilan, karena dapat menentukan performa lembaga peradilan. Sebagai contoh dalam Kamar Tata Usaha Negara (TUN), hakim dengan spesialisasi pajak hanya dimiliki oleh hakim agung Hary Djatmiko, ketika yang bersangkutan berhalangan maka akan mempengaruhi kualitas dan jumlah putusan.
Manajemen pengetahun dalam internal stakeholder terkait yaitu kejaksaan, pemerintah dan DPR memberikan pengaruh yang signifikan dalam membentuk manajemen pengetahuan secara menyeluruh. Peran kejaksaan dalam mendukung terbentuknya manajemen pengetahuan dapat melakukan pendataan dan pemetaan ketika melakukan penuntutan, khususnya terhadap perkara-perkara yang memiliki isu hukum tertentu.
Sebagai contoh bahwa berdasarkan Pasal 263 KUHAP Jaksa tidak diberikan kewenangan mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun, dalam kasus Muchtar Pakpahan[6] jaksa justru melakukan peninjauan kembali, sehingga sampai dengan saat ini jumlah PK Jaksa untuk tahun 2014 berjumlah 83[7]. Sepatutnya pihak kejaksaan dapat menindaklanjuti sebagai sebuah manajemen pengetahuan dengan melakukan kajian dan menilai apakah PK Jaksa dibutuhkan sebagaiman dalam Aticle 84 ICC[8].
Kondisi demikian serupa dengan DPR dalam membentuk undang-undang yang digunakan oleh hakim dalam memutus suatu perkara, baik berupa naskah akademik, memorie van toelichting hingga tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Karena terhadap putusan Mahkamah Konstitusi membutuhkan tindaklanjut oleh DPR, berdasarkan amanat Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keakuratan dan validitas pengetahuan yang dibutuhkan oleh hakim sangat penting, karena sampai saat ini tidak ada data yang ditampilkan oleh DPR ataupun pemerintah berupa jumlah undang-undang yang sudah dibatalkan, diubah sebagian, dalam bagian per pasal yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebagai contoh dalam manajemen pengetahuan dipraktekan di Dubai Courts Knowledge Management Department yang ditugaskan untuk proses mendefinisikan, mengkategorikan, memperbarui dan mengevaluasi pengetahuan[9]. Selain itu dipertemen tersebut bertanggung jawab untuk menyebarkan dan menyebarluaskan budaya pengetahuan di Dubai Courts, serta untuk memastikan pengetahuan diterima oleh semua karyawan dan bahwa dampak positif pada mereka kinerja yang akan dicapai, untuk menjamin kinerja dilakukan dengan baik[10]. Selain terdapat divisi yang khusus mengelola manajemen pengetahuan, penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi sangat mendukung dalam manajemen pengetahuan. Website knowledge management portal dan aplikasi e-Judge System yang terintegrasi didalamnya e-Communication and correspondence system, e-Information system, e-Knowledge system, court judge e-Office, case registration system, e-Payment system, e-Archive system, e-Hearing system, e-Case management system, e-Judgment registration system, e-Advocate service system, e-Party services, and e-Performance management system, yang digunakan oleh Dubai Courts[11] merupakan bentuk manajemen pengetahuan yang memberikan kemudahan bagi kebutuhan organisasi instansi peradilan, khususnya hakim dalam menciptakan putusan yang berkualitas.
Muhammad Amin Putra
Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
[1] Dalam Buku 8 bagian Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management), Hal. 3
[2] Ibid.,
[3] Filemon A. Uriarte, Introduction to Knowledge Management, (Jakarta: Asean Foundation, 2008),Hal. 2
[4] Ibid., hlm. 16-24
[5] Penerapan Sistem Kama, Catatan Proses Kegiatan Kerja Sama Mahkamah Agung RI dan Hoge raad Kerajaan Belanda dalam rangka Penguatan Sistem Kamar, hlm. 19
[6] Putusan Nomor 55PK/Pid/1996, yang diputus oleh hakim ketua H. Soejono, SH. dan hakim anggota Sarwata, SH.; dan Palti Radja Siregar
[7] Pendataan dari Nomor Perkara 64 PK/Pdt/2014 s/d Nomor Perkara 698 PK/Pdt/2014.
[8] https://krupukulit.com/2008/11/07/dilema-peninjauan-kembali-oleh-jaksa-catatan-atas-putusan-ma/ diakses pada 12 Agustus 2016, pkl 11:10 WIB
[9] Dubai Courts Knowledge Management, hlm. 8
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,hlm. 13