Pada penghujung Tahun 2024 ini, Jurnal Dictum kembali hadir menemui Pembaca dengan mengusung tema: “Penyiksaan”. Isu penyiksaan dalam proses peradilan pidana masih menjadi masalah serius dalam penegakan hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia di Indonesia. Padahal, praktik penyiksaan bertentangan dengan aturan HAM dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28G ayat (2) UUD 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Tidak hanya itu, praktik tersebut juga bertentangan dengan berbagai instrumen hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yang menyebutkan secara eksplisit larangan penyiksaan, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Pada tahun 2021, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama dengan Revisi melakukan penelitian terkait praktik penyiksaaan dalam peradilan pidana Indonesia yang berupaya menangkap fenomena penyiksaan tersebut dari pengakuan-pengakuan di dalam persidangan melalui putusan-putusan pengadilan. Dari kajian tersebut, diketahui bahwa penyiksaan sering dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mempercepat proses hukum dengan mendapatkan pengakuan dari saksi atau tersangka. Metode penyiksaan yang digunakan bervariasi, mulai dari kekerasan fisik hingga psikologis, yang dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa penyiksaan tidak hanya berdampak buruk pada korban, tetapi juga merusak integritas moral pelaku dan mencederai prinsip keadilan yang menjadi landasan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Selain informasi terkait praktik penyiksaan, LeIP juga mendapatkan informasi lainnya dari penelitian di atas berupa putusan-putusan pengadilan yang sudah berhasil menerapkan prinsip-prinsip HAM dengan baik dalam mempertimbangkan pengakuan saksi dan/atau pelaku terkait terjadinya penyiksaan. Secara umum, putusan-putusan tersebut menyatakan bahwa keterangan yang diperoleh melalui penyiksaan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam persidangan, sejalan dengan prinsip due process of law yang menuntut setiap prosedur peradilan dilakukan secara adil dan tanpa paksaan. Contohnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2026 K/Pid/2011, Majelis Hakim menyatakan bahwa keterangan terdakwa pada tahap penyidikan tidak dapat digunakan dalam persidangan karena diperoleh tanpa pendampingan penasihat hukum dan melalui penyiksaan, sehingga terdakwa dibebaskan karena tidak ada cukup bukti yang sah. Putusan lainnya, yaitu Putusan No. 929 K/Pid/2016 dalam kasus pencurian dan pembakaran rumah yang mengakibatkan kematian, Majelis Hakim membebaskan terdakwa karena keterangan saksi penyidik yang diperoleh melalui penyiksaan dianggap tidak sah. Meskipun demikian, masih terdapat pula putusan-putusan pengadilan yang belum berhasil menerapkan prinsip HAM dengan baik dan masih menggunakan keterangan yang diperoleh dari penyisaan sebagai bukti di persidangan.
Terkait hal ini, Redaksi berpandangan bahwa kajian putusan pegadilan perlu dilakukan secara seimbang, baik terhadap putusan yang berhasil, maupun masih perlu ditingkatkan, dari sisi penerapan prinsip-prinsip hukum dan HAM. Putusan-putusan yang belum berhasil menerapkan prinsip HAM tentu perlu dikaji untuk memberi perspekti lain dan tepat bagaimana seharusnya prinsip-prinsip HAM digunakan secara baik dalam putusan. Hal yang sama berlaku pada putusan-putusan yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip HAM, yang selama ini seringkali kurang diketahui dan mendapatkan perhatian dari masyarakat, sehingga kajian putusan-putusan tersebut diharapkan dapat menjadi pengakuan dan bentuk apresiasi terhadap kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip HAM oleh pengadilan.
Antusias masyarakat, baik akademisi maupun praktisi, untuk mengkaji putusan tentang penyiksaan ini sangat tinggi. Banyak tulisan yang masuk melalui email redaksi, namun untuk edisi kali ini kami hanya menampilkan empat kajian saja. Redaksi juga secara khusus mengundang akademisi dan ahli hukum hak asasi manusia untuk terlibat dalam kajian putusan ini, dan kami mendapat kiriman tulisan dari Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M yang berkolaborasi dengan Damian Agata Yuvens, S.H. Redaksi juga sangat bangga menyajikan karya dari Dr. Widati Wulandari, S.H., M.Crim dan Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M yang berkolaborasi mengkaji putusan Mahkamah Agung 665/K/Pid/2014.
Semoga kajian-kajian yang disajikan dalam Dictum Edisi Desember 2024 mampu menambah wawasan Pembaca.
Selamat membaca.
Dewan Redaksi