Undang–Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua telah menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya jaminan terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, berpendapat, dan berekspresi. Negara, termasuk lembaga yudikatif bertanggungjawab dalam memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan oleh
Pengadilan melalui putusan yang adil dan konsisten.
Dalam praktiknya, putusan pengadilan terhadap suatu isu yang serupa belum seluruhnya konsisten. Hal ini tidak hanya berujung pada ketidakadilan, tetapi juga hilangnya kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi warga negara. Situasi ini juga terjadi dalam penerapan Pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama.
Kajian yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2017
terkait kerangka hukum, penafsiran dan penerapan ketentuan-ketentuan mengenai penodaan agama di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus yang diperiksa oleh pengadilan. Upaya untuk
membawa perkara penodaan agama melalui mekanisme peradilan merupakan hal yang positif untuk
menjaga ketertiban dan ketenangan di masyarakat. Namun pada sisi lain, proses peradilan yang tidak
sesuai dengan jaminan perlindungan HAM akan “menjebak” lembaga pengadilan berkontribusi pada
pelanggaran HAM warga negara.
Selain kajian yang dilakukan LeIP di atas, beberapa laporan studi lain dengan topik yang sama menunjukkan bahwa proses peradilan dalam perkara-perkara penodaan agama seringkali menerapkan
unsur-unsur tindak pidana (elements of crime) Pasal 156a KUHP secara tidak konsisten. Konsekuensinya,
bentuk perbuatan yang dapat dianggap sebagai penodaan agama menjadi sangat luas. Berbagai putusan
kasus penodaan agama dianggap melanggar hak asasi, khususnya terkait dengan hak atas kebebasan
beragama atau berkeyakinan, serta hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Dalam menerapkan Pasal 156a KUHP yang dibentuk pada masa lalu—di mana konteks kenegaraan pada
saat itu juga belum tentu sejalan dengan perkembangan jaminan HAM saat ini, dibutuhkan penafsiran-penafsiran baru sesuai dengan norma-norma HAM yang berkembang di Indonesia. Berbagai masalah yang terkait dengan prosedur beracara juga bersinggungan dengan perlindungan hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), antara lain pengaruh tekanan massa yang berdampak pada independensi lembaga peradilan Modul Pelatihan dan Panduan Penafsiran Hukum Penodaan Agama Berdasarkan Prinsip HAM disusun oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Pusdiklat Teknis Balitbang Kumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia dan LeIP sebagai bahan ajar dan referensi dalam pelatihan penafsiran dan penggunaan pasal-pasal penodaan agama berdasarkan prinsip HAM.
Pelatihan ini dilaksanakan sebagai bentuk peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, khususnya
hakim, dalam merespon banyaknya perkara dugaan penodaan agama di masyarakat. Melalui pelatihan
ini diharapkan para penegak hukum memiliki pijakan yang kuat dalam menafsirkan serta menggunakan
pasal-pasal penodaan agama berdasarkan prinsip HAM, dan pengadilan dapat menjadi forum yang
mampu mewujudkan perlindungan HAM untuk setiap warga negara yang berhadapan dengan hukum.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung tersusunnya modul dan
panduan, serta terselenggaranya pelatihan, yaitu WSD Handa Center for Human Rights and International
Justice – Stanford University dan The Royal Norwegian Embassy.
Semoga keberadaan modul, panduan dan pelatihan ini membawa manfaat untuk penegakan hukum di
Indonesia yang lebih baik.