Wacana mengenai “melawan hukum materiil negatif dan materiil positif” akhir-akhir ini kembali mencuat seiring dengan semakin banyaknya perkara tindak pidana korupsi yang diadili. Dalam ajaran melawan hukum materiil positif diartikan meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam perundang – undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Sebaliknya dalam ajaran melawan hukum materiil negatif justru meskipun suatu perbuatan telah melanggar hukum positif namun jika perbuatan tersebut secara sosiologis justru dianggap baik maka terhadap pelaku dapat tidak dipidana.
Dalam sejarah hukum pidana, perdebatan mengenai kedua doktrin ini memang belum berakhir. Sebagian pakar pidana hanya mengakui ajaran melawan hukum materiil negatif yang dapat diterapkan dalam hukum pidana, sementara sebagian lagi menganggap bahwa ajaran melawan hukum materiil positif yang awalnya berkembang dalam ilmu hukum perdata juga dapat diterapkan dalam hukum pidana.
Terlepas dari polemik tersebut “ajaran melawan hukum materiil positif” sebenarnya telah diakui secara jelas dalam ketentuan UU Tipikor, seperti terlihat pada penjelasan Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun pada kenyataannya, hal tersebut juga masih belum diakui oleh berbagai kalangan. Padahal maksud pembuat UU memasukkan “unsur melawan hukum materiil” dalam UU tersebut adalah demi memudahkan pembuktian korupsi. Sehingga dalam membuktikan apakah seseorang melakukan korupsi, tidak lagi secara parsial. Meski pengertian unsur tersebut semakin meluas, tetapi mengapa pelaku korupsi yang dihukum hanya segelintir? Mengapa terasa sulit untuk membuktikan bahwa seseorang melakukan korupsi?
Ternyata munculnya berbagai hambatan dalam penegakkan hukum korupsi tidak terlepas dari keprofesionalan dan kemampuan interpretasi aparat penegak hukum dalam memahami UU Tipikor. Berbagai permasalahan yang muncul tersebut dapat kita temui pada kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terjadi hampir merata di seluruh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia.
Disahkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dinodai oleh tingginya korupsi yang terjadi di lingkungan DPRD. Kebebasan DPRD bersama eksekutif dalam penyusunan anggaran seringkali tidak dibarengi dengan penggunaan anggaran secara proporsional, mengutamakan kepentingan publik dan akuntabel. Untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan anggaran, maka pemerintah mengeluarkan PP 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan APBD yang mengatur tentang pembatasan anggaran bagi dewan. Pembatasan tersebut dinilai telah mencampuri kewenangan daerah. Maka, beberapa anggota DPRD Sumatera Barat mengajukan judicial review atas PP 110 tahun 2000 dengan dalil PP tersebut bertentangan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Mahkamah Agung pun dalam putusannya mengabulkan permohonan judicial review PP 110 tahun 2000.
Masalah yang kemudian timbul adalah beberapa kasus korupsi DPRD terus diperiksa oleh aparat penyidik, sebagian dengan berdasar pelanggaran atas PP 110 tahun 2000 dan sebagian lagi tidak. Sebagian putusan menerima dakwaan JPU dan menghukum terdakwa, sementara sebagian lagi menolak dakwaan dan membebaskan terdakwa.
Putusan PN dan PT Padang merupakan putusan yang dapat ditiru oleh hakim – hakim lain. Majelis hakim, baik pada pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding telah mempertimbangkan dengan tepat unsur melawan hukum materiil dalam kasusk korupsi yang melibatkan seluruh anggota DPRD Sumatera Barat ini. Pertimbangan majelis hakim ini mengutip yurisprudensi MA RI Mahkamah Agung 15 Desember 1983 No. 275 K/Pid/1982 kasus Korupsi Bank Bumi Daya yang menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak patut, tercela, dan menusuk hati perasaan masyarakat banyak. Ukurannya adalah asas hukumnya yang tidak tertulis ataupun asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Modus yang digunakan oleh anggota DPRD ini, antara lain dengan menganggarkan tunjangan kesejahteraan, dimana seharusnya dalam bentuk jaminan asuransi kesehatan, namun para terdakwa telah menerimanya sebagai penghasilan tetap.
Mirip dengan DPRD Padang, DPRD Sidoarjo melakukan praktek korupsi dengan cara menganggarkan sejumlah dana untuk kegiatan pelatihan SDM para wakil rakyat, namun dalam kenyataannya kegiatan tersebut tidak pernah diselenggarakan, sementara uangnya telah dibagikan kepada seluruh ketua, wakil, dan anggota DPRD. Atas perbuatannya tersebut, majelis hakim pun menghukum terdakwa 8 tahun, lebih lama 2 tahun dari tuntutan jaksa.
Selain keberhasilan penuntasan kasus-kasus korupsi di atas, terdapat kasus-kasus serupa yang mengalami kegagalan dalam proses peradilan. Kegagalan disini diartikan bahwa kasus tersebut sebenarnya memiliki indikasi korupsi dan pelaku berpotensi untuk mendapat hukuman, namun dalam praktiknya, para pelaku bebas. Kasus korupsi DPRD Bogor dan Cirebon, sebagai contohnya. Setelah ditelisik, kegagalan kasus tersebut disebabkan terdapat perbedaan persepsi dan interpretasi mengenai unsur melawan hukum. Hakim terlanjur menilai bahwa penggunaan PP 110 Tahun 2000 menyebabkan dakwaan tidak dapat diterima. Padahal penggunaan PP 110 hanya menjadi salah satu formulasi penerapan sifat melawan hukum formil mendampingi sifat melawan hukum materiil yang tercantum dalam UU Tipikor.
Selain perlu pemahaman yang cukup, diperlukan kejernihan berpikir dan sikap objektif dalam menentukan seseorang tersebut melakukan korupsi. Seorang ketua DPRD yang menetapkan APBD dan menuangkannya dalam Peraturan Daerah tidak bisa dijadikan objek tindak pidana secara pribadi. Berbeda, bila uang tersebut dalam kenyataannya di mark up, atau tidak digunakannya sebagaimana peruntukannya atau terdapat penambahan pos yang tidak ada dasarnya. Perbuatan – perbuatan tersebut merupakan perbuatan materiil yang dapat menjadi objek tipikor.
Mempertimbangkan dampak korupsi yang demikian besar, maka perlu ada upaya yang lebih serius dari seluruh lapisan masyarakat. Dari aparat pengadilan, bisa ditunjukkan dengan menggelar sidang terdiri dari lima orang dalam satu majelis, menghukum terdakwa di atas hukuman minimal. Sementara dari jaksa dapat dilihat dari penyusunan surat dakwaan yang jelas, cermat, dan lengkap (tidak mendasarkan pada PP 110 tahun 2000 saja), pengumpulan bukti – bukti yang kuat guna diajukan di persidangan, dan menuntut terdakwa dengan ancaman pidana maksimal.
Redaksi