Pada tanggal 4 April 2024, Pengadilan Negeri (PN) Jepara membacakan putusan atas perkara No. 14/Pid.Sus/2024/PN.Jpa dengan terdakwa Daniel Frits Tangkilisan. Majelis Hakim PN Jepara memutus bahwa Daniel bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”, sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Majelis Hakim menilai bahwa perbuatan Daniel yang menulis komentar di akun Facebook-nya dengan menyebutkan frasa “masyarakat otak udang” telah menimbulkan rasa kebencian di sebagian kelompok masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa, yang kemudian menimbulkan pro dan kontra, sehingga unsur-unsur pasal UU ITE tersebut dinilai telah terpenuhi.
LeIP memandang bahwa putusan PN Jepara tersebut tidak tepat dalam penerapan hukumnya. LeIP menilai terdapat setidaknya 2 hal yang menunjukkan kekeliruan Majelis Hakim dalam putusan tersebut, yaitu: 1) terkait penggunaan pasal yang lebih menguntungkan posisi Terdakwa pasca perubahan kedua UU ITE; dan 2) terkait pertimbangan atas unsur “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Pertama, perlu diketahui bahwa UU ITE mengalami perubahan di tengah berjalannya proses hukum terhadap Daniel. Salah satunya adalah menghapus unsur “antargolongan” pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE (yang digunakan terhadap Daniel) dan menambahkan unsur-unsur baru yang lebih jelas batasannya, antara lain “kebangsaan”, “etnis”, “warna kulit”, dan lainnya. Dengan hilangnya unsur “antargolongan” pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE pasca perubahan tersebut, maka jelas bahwa seharusnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE pasca perubahan adalah ketentuan yang lebih menguntungkan bagi Daniel. Terkait hal itu, terdapat Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mengatur bahwa apabila terjadi perubahan dalam perundang-undangan setelah terjadinya perbuatan pidana, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Dengan begitu, seharusnya Majelis Hakim menggunakan rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang tidak lagi memuat unsur “antargolongan” kepada Daniel.
Namun sayangnya, Majelis Hakim masih menggunakan rumusan lama Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam menghukum Daniel. Majelis hakim menilai dalam pertimbangannya bahwa tidak dapat ditentukan ketentuan mana yang lebih menguntungkan Terdakwa karena tidak terjadi perubahan yang signifikan pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan tidak adanya kriminalisasi atau dekriminalisasi dalam perubahan kedua UU ITE atas delik Pasal 28 ayat (2). Bahkan, unsur “antargolongan” adalah unsur yang menjadi kunci dalam menentukan Daniel bersalah dalam perkara ini karena majelis hakim PN Jepara memandang “sebagian kelompok masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa” termasuk sebagai lingkup “antargolongan”.
Atas hal ini, LeIP berpandangan bahwa dalam menilai ketentuan mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Terdakwa tidak semata-mata dilihat dari apakah ada delik yang dihapus (dekriminalisasi) atau ada delik yang ditambahkan (kriminalisasi). Adanya perubahan unsur pasal yang dirumuskan secara lebih ketat, presisi, dan tidak ambigu juga termasuk kondisi yang menguntungkan seorang Terdakwa karena ia akan lebih mudah menyusun pembelaan dirinya atas tindak pidana yang dituduhkan. Unsur “antargolongan” dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebelum perubahan kedua – dengan mengacu kepada putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 – adalah unsur yang ambigu karena MK hanya menjelaskan bahwa “antargolongan” adalah semua entitas yang tidak terwakili oleh istilah “suku”, “agama”, dan “ras”, sehingga tidak jelas batasan dari makna “antargolongan”. Atas dasar tersebut, LeIP menilai Majelis hakim PN Jepara telah lalai dalam menilai secara teliti dan cermat perubahan UU ITE dan kaitannya dengan hak Terdakwa untuk diterapkan ketentuan hukum yang lebih menguntungkannya.
Kedua, majelis hakim secara ceroboh menilai bahwa unsur “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” telah terbukti. Salah satu dasar argumentasi Majelis hakim tersebut adalah fakta bahwa frasa “masyarakat otak udang” menimbulkan rasa kebencian di sebagian kelompok masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa karena terjadi kegaduhan atau pro dan kontra di antara mereka sendiri. Sayangnya, penilaian majelis hakim tersebut menunjukkan lemahnya pemahaman atas konteks hak asasi manusia (HAM) dalam perkara ini.
Dalam sejarahnya, lahirnya larangan ujaran kebencian – seperti yang diatur di Indonesia dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE atau ketentuan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik – terkait erat dengan kebebasan berekspresi dan adalah bentuk kepatuhan terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang mendorong negara-negara pihak untuk mengatur larangan perbuatan advokasi kebencian berdasarkan kebangsaan, ras, dan agama. Ketentuan tersebut diatur dalam KIHSP karena dalam diskursus pengakuan atas kebebasan berekspresi setelah Perang Dunia Kedua muncul pertanyaan tentang sejauh mana kebebasan harus dibiarkan, mengingat adanya masalah dan bahaya atas ideologi dan pemikiran yang terkait dengan superioritas ras dan kebangsaan [Myungkoo Kaang, dkk. (ed), Hate Speech in Asia and Europe: Beyond Hate and Fear, hal. 138]. Berdasarkan faktor kesejarahan tersebut, adanya larangan ujaran kebencian dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan dari ancaman diskriminasi dan serangan kebencian karena adanya superioritas ras atau kebangsaan.
Berdasarkan hal tersebut, Pasal 28 ayat (2) UU ITE menjadi tidak kompatibel untuk diterapkan dalam perkara ini karena tidak jelas kelompok rentan mana yang dimaksudkan untuk dilindungi dari perbuatan Daniel. Majelis hakim juga keliru dalam menyatakan penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak lepas dari tujuan pemidanaan yaitu mencegah adanya main hakim sendiri terhadap Terdakwa dari kelompok yang merasa benci atas informasi yang disebarkan Terdakwa. Argumen ini, selain tidak jelas dasar hukumnya, semakin memperlihatkan inkompetensi majelis hakim dalam menganalisis delik ujaran kebencian karena kebencian yang dilarang oleh delik ini seharusnya bukanlah kebencian terhadap informasi yang diedarkan Terdakwa melainkan kepada kelompok rentan yang perlu dilindungi.
Selain itu, Majelis hakim juga seharusnya merujuk berbagai penjelasan mengenai instrumen HAM internasional, termasuk Camden Principles dan Rabat Plan of Action, yang relevan dalam melakukan analisis hak atas kebebasan berekspresi dan kaitannya dengan ujaran kebencian. Camden Principles menerangkan bahwa unsur “kebencian” dan “permusuhan” sebagai bagian dari larangan ujaran kebencian harus dipahami sebagai emosi berupa kritikan keji, rasa memusuhi, dan rasa jijik yang intens dan irasional terhadap kelompok yang jadi sasaran. Sementara itu, Rabat Plan of Action telah memberikan panduan berupa “six-part threshold test” dalam menilai apakah suatu perbuatan layak dipidana sebagai ujaran kebencian, salah satunya yaitu unsur bahwa niat harus dibuktikan dengan adanya advokasi atau hasutan dari Terdakwa untuk membenci atau memusuhi masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa.
Mengacu kepada rujukan-rujukan tersebut, LeIP menyimpulkan bahwa Majelis Hakim telah keliru dalam menyatakan terpenuhinya unsur “kebencian” hanya karena adanya kegaduhan atau pro dan kontra di antara masyarakat terkait pelaporan Daniel ke polisi dan adanya unjuk rasa dari pihak yang mendukung dan menolak pemidanaan terhadap Daniel. Hal ini dikarenakan adanya pro dan kontra bukanlah standar dalam menentukan “telah terjadi kebencian” terhadap kelompok masyarakat tertentu. Pertimbangan hukum majelis hakim juga tidak menerangkan dengan jelas adanya bukti yang cukup terkait tujuan/niat jahat dari Terdakwa berupa perbuatan advokasi atau hasutan untuk membenci atau memusuhi kelompok masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, apabila mengacu kepada Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebelum perubahan kedua, seharusnya Daniel diputus tidak terbukti bersalah melakukan delik tersebut.
Secara umum, LeIP sangat menyayangkan putusan dalam perkara ini. Hal ini dikarenakan putusan ini tidak sejalan dengan upaya dari pengadilan-pengadilan Indonesia yang semakin banyak menerapkan prinsip-prinsip HAM melalui putusan-putusannya, termasuk terkait hak atas kebebasan berekspresi. Bahkan, putusan ini tidak sejalan dengan pidato Ketua Mahkamah Agung pada sebuah kesempatan yang pada intinya meminta para Hakim menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam memeriksa dan memutus perkara.
Berdasarkan jabaran-jabaran di atas, maka LeIP mendorong:
- Mahkamah Agung untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan hakim dalam melakukan identifikasi dan analisis prinsip-prinsip HAM terhadap perkara pidana yang beririsan dengan hak atas kebebasan berekspresi;
- Majelis hakim pada tingkat banding dan kasasi untuk memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM terkait larangan ujaran kebencian dalam memeriksa perkara terdakwa Daniel Tangkilisan; dan
- Majelis hakim pada tingkat banding dan kasasi untuk secara hati-hati dan cermat memeriksa perkara terdakwa Daniel Tangkilisan dengan mempertimbangkan penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pasca perubahan kedua dengan mengacu kepada Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Rabu, 17 April 2024
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Narahubung:
Muhammad Tanziel Aziezi (tanziel.aziezi@leip.or.id)
Raynov Tumorang (raynov@leip.or.id)