Editorial
Praktik suap menyuap maupun percaloan dalam rekrutmen Pegawai Negeri merupakan salah satu permasalahan yang sudah cukup lama terjadi di negeri ini. Praktik seperti ini tentu akan dan telah merusak birokrasi pemerintahan, yang pada akhirnya membuat orang-orang yang duduk dalam birokrasi bukan lah orang-orang yang profesional. Selain itu praktik ini juga pada akhirnya membuat birokrasi menjadi sistem yang korup karena tentu orang-orang yang masuk dengan cara seperti itu merasa harus untuk mengembalikan ‘modal’ yang telah dikeluarkannya pada saat masuk menjadi pegawai. Dan tidaklah mengherankan jika untuk dapat mengembalikan ‘modal’nya tersebut mereka kemudian menyalahgunakan jabatan dan kewenangan yang ada.
Terkait masalah suap menyuap maupun praktik percaloan dalam rekrutmen Pegawai Negeri di atas, Dictum kali ini mencoba mengupas putusan-putusan Mahkamah Agung yang terkait masalah tersebut. Putusan-putusan yang dipilih untuk dikaji oleh para penulis bukanlah putusan atas perkara suap-menyuap atau korupsinya, namun dimensi lain dari perkara-perkara tersebut. Putusan yang pertama yaitu putusan atas gugatan perdata seorang perantara terhadap ‘mitra’nya untuk mengembalikan sejumlah uang yang telah diberikan dalam rangka meloloskan sejumlah calon pegawai negeri. Gugatan tersebut diajukan karena upaya dalam meloloskan para ‘klien’ ternyata gagal, dan kemudian sang perantara tersebut dituntut oleh para ‘klien’nya untuk mengembalikan uang mereka. Perkara dan putusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung ini cukup menarik, karena mengandung cukup banyak permasalahan hukum yang sangat mendasar. Imam Nasima, S.H., LL.M., peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, memberikan catatan-catatan penting secara mendalam atas putusan ini.
Putusan kedua yang dikaji yaitu putusan dimana pihak perantara (calo) dituntut karena penipuan setelah ternyata ia gagal memenuhi janjinya meloloskan pihak korban yang telah membayar sejumlah uang menjadi pegawai negeri. Putusan ini dikaji oleh Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Selain kajian atas dua putusan tersebut dalam Dictum edisi ini juga memuat Opini dari Alfeus Jebabun, peneliti LeIP, yang menyoroti sistem rekrutmen Hakim Agung dalam kaitannya dengan Sistem Kamar yang telah diterapkan Mahkamah Agung pada akhir tahun 2011 yang lalu. Terakhir, dalam edisi kali ini diulas juga kunjungan pimpinan Hogeraad Kerajaan Belanda ke Mahkamah Agung pada bulan maret 2013 lalu yang menghasilkan beberapa point kerjasama kelembagaan diantara keduanya. Ulasan ini dimuat pada bagian Inforial.
Dewan Redaksi
Download Unduh File PDF “Dictum Edisi 3 – April 2013“.