Para penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung (MA) masih keliru memahami Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Mereka lebih menekankan pada usur kerugian Negara daripada unsur memperkaya diri sendiri. Seharusnya, cara pembuktiannya terbalik: membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri terlebih dahulu, baru membuktikan unsur kerugian Negara. Kesalahpahaman tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Demikian kesimpulan diskusi “Pemaknaan Pasal 2 dan 3 UU Korupsi, Norma dan Praktek” yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Selasa (29/3/2016). Hadir sebagai pembicara, mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah, praktisi hukum Luhut Pangaribuan, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil, dan Jaksa Penuntut Umum KPK Setiawa
Menurut Chandra Hamzah, banyak pihak yang terjebak pada unsur “secara melawan hukum”, “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
“padahal, sejak awal pembentukan sampai sekarang, korupsi diartikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara,”katanya.
Chandra menegaskan, tindakan yang dilarang bukanlah merugikan keuangan negara ataupun melawan hukum, melainkan memperkaya diri sendiri. Unsur “merugikan keuangan negara” dan “melawan hukum”, lanjut Chandra, hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi.
“Dalam memaknai tindak pidana korupsi seharusnya memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri/korporasi terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum,”kata Chandra.
Menurut Arsil, kesalahpahaman memaknai Pasal 2 dan 3 tersebut menciptakan ketidakpastian hukum. Akhibatnya, banyak pejabat ataupun direktur BUMN takut menjalankan kebijakan. “Pemahaman Pasal 2 dan 3 ini perlu diluruskan,”kata Arsil.
“Contoh, putusan MA nomor 69 K/Pid.Sus/2013 menyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara. Padahal itu sebagai akibat bukan sebagai inti delik,” katanya.
Lebih lanjut, Arsil menjelaskan, pergeseran makna juga terjadi pada uang pengganti yang dimaknai sebagai mengganti kerugian negara yang timbul. “Seharusnya uang pengganti yang dibayar terdakwa hanya sebatas yang didapat oleh terdakwa ketika melakukan korupsi,”katanya.
Senada dengan pembicara lain, Luhut pangaribuan menilai terjadi legislative error dalam pembuatan UU Tipikor. “Seharusnya pasal 3 lebih berat kualifikasinya dibanding pasal 2 karena pasal 3 merupakan pemberatan dari pasal 2,”katanya.
Reporter: Muhammad Amin Putra dan Edwin Yonatan
Editor: AJ