
Meski secara normatif memindahkan Pengadilan Pajak di bawah MA adalah narasi yang sederhana, namun proses transisi pengelolaan Pengadilan Pajak kepada MA disinyalir bakal menemui jalan berliku dan tantangan, termasuk isu independensi peradilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XXI/2023 mengabulkan sebagian permohonan pengujian uji materil terhadap Pasal 5 Pasal ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Setidaknya putusan tersebut berdampak terhadap pengalihan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak yang semula dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi di bawah Mahkamah Agung (MA).
Putusan tersebut terkait frasa “Departemen Keuangan” inkonstitusional secara bersyarat. Melalui putusan ini, MK mengamanatkan peralihan seluruh pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dari Kemenkeu kepada MA yang dilakukan secara bertahap selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026.
Salah satu pertimbangan utama putusan MK No.26/PUU-XXI/2023, terkait pentingnya Pengadilan Pajak untuk memiliki independensi dari cabang kekuasaan lainnya. Terlebih, Pengadilan Pajak merupakan cabang kekuasaan kehakiman yang menjadi forum penyelesaian sengketa pajak yang melibatkan cabang kekuasaan eksekutif sebagai salah satu pihak yang berperkara. Selain peralihan kewenangan, transisi pengelolaan Pengadilan Pajak kepada MA perlu menjamin terciptanya desain peradilan pajak yang selaras dengan prinsip-prinsip independensi peradilan.
Penyatuan atap pertama kalinya terjadi di era reformasi dan diamanatkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pemisahan yang Tegas antara Fungsi-Fungsi Yudikatif dan Eksekutif (TAP MPR No. X/MPR/1998). Amanat TAP MPR No. X/MPR/1998 kemudian ditindaklanjuti dengan perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dikuatkan dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.
Peneliti Senior LeIP, Dian Rositawati berpandangan, problem independensi Pengadilan Pajak sebenarnya telah menjadi perbincangan dan catatan dari berbagai kalangan yang terlibat dalam penanganan perkara pajak. Hal ini tak lepas dari kedudukan Pengadilan Pajak yang berada langsung di bawah Kemenkeu.
Begitupula hakim Pengadilan Pajak juga direkrut oleh Kemenkeu yang sebagian besar di antaranya merupakan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Padahal, Kemenkeu adalah cabang kekuasaan eksekutif yang hampir pasti selalu menjadi pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak.
Sementara independensi hakim dalam menjalankan tugasnya menurut perempuan biasa disapa Tita itu merupakan prinsip penting dalam sistem hukum yang bertujuan untuk memastikan proses peradilan berlangsung secara adil, objektif, dan tidak terpengaruh oleh eksternal. Adanya potensi intervensi dari lembaga eksekutif maupun legislatif dalam penentuan tentang bagaimana seorang hakim diangkat, jenjang karier, hingga besaran gaji yang diterima, perlu dikaji secara komprehensif.
Dalam konteks Pengadilan Pajak, terdapat risiko potensi intervensi lembaga pemerintah atas Pengadilan Pajak melalui berbagai mekanisme administrasi peradilan. Kedudukan Kemenkeu sebagai pemegang kewenangan administrasi peradilan sekaligus sebagai pihak dalam sengketa pajak dapat menimbulkan implikasi kelembagaan yang krusial jika dipandang dari sudut independensi peradilan.
Kondisi tersebut dapat menggerus kepercayaan publik karena Pengadilan Pajak selama ini dipandang belum sepenuhnya menjadi lembaga peradilan yang independen dan imparsial dalam menangani perkara pajak di Indonesia. Problem fundamental ini perlu menjadi perhatian khusus dalam pengaturan pengelolaan Pengadilan Pajak di bawah MA ke depannya.
“Meski secara normatif memindahkan Pengadilan Pajak di bawah MA adalah narasi yang sederhana, namun proses transisi pengelolaan Pengadilan Pajak kepada MA disinyalir bakal menemui jalan berliku dan tantangan, termasuk isu independensi peradilan,” ujar Tita.
Nah, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dengan dukungan DDTC telah menyelesaikan kajian persiapan penyatuan atap Pengadilan Pajak dari Kemenkeu kepada MA. Kajian persiapan ini setidaknya mengidentifikasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi sepanjang proses transisi, dan juga menyentuh kompatibilitas Pengadilan Pajak terhadap pengadilan pada umumnya.
LeIP melalui kajian ini juga memberikan rekomendasi model dan bentuk ideal bagaimana seharusnya Pengadilan Pajak di bawah MA. Fokus dari apa yang didapati dari model dan bentuk ideal Pengadilan Pajak adalah dorongan kuat LeIP dalam upaya penyatuan atap untuk terus memperkuat independensi peradilan.
Namun ternyata, menurut Tita kondisi ideal tersebut tidak akan terlaksana tanpa adanya upaya perubahan terhadap UU Pengadilan Pajak. Dengan diadakannya peluncuran ini, LeIP berharap para pemangku kebijakan terkait dapat melihat dan mengidentifikasi permasalahan yang akan dihadapi ke depannya selama proses transisi, dan menyadari pentingnya perubahan akan UU Pengadilan Pajak.
Dengan adanya perubahan UU Pengadilan Pajak, menurut Tita LeIP menaruh harapan agar para pemangku kebijakan seperti Kemenkeu, MA, DPR, dan Bappenas fokus pada masalah independensi dan kompatibilitas pengadilan pajak yang seharusnya dapat diselesaikan melalui perubahan UU tersebut.
Acara peluncuran kajian ini diselenggaran pada Rabu (23/4/2025) di Hotel Sari Pacific, Jakarta. Harapannya, peluncuran ini juga menjadi momentum bagi para pemangku kebijakan tersebut untuk menyadari pentingnya perubahan UU Pengadilan Pajak dalam menyongsong penyatuan atap Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung.
Rabu, 23 April 2025
Hormat kami,
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Materi Pembicara: