Setiap penegak hukum, yaitu Jaksa Penuntut Umum (JPU), Advokat, dan Hakim perlu melakukan riset ketika menangani suatu perkara. Sebagai contoh, untuk menjaga konsistensi putusan, Hakim perlu untuk mengetahui apakah sebelumnya pernah ada perkara serupa yang telah diputus dan bagaimana sudut pandang (standpoint) yang diambil serta argumentasi hukum Hakim dalam perkara tersebut. Akan lebih baik lagi, jika mereka juga mengetahui sudut pandangdan argumentasi hukum penegak hukum lainnya.
Dalam proses penanganan perkara, termasuk perkara tindak pidana korupsi (Tipikor), para penegak hukum mengalami berbagai tantangan. Pertama, adalah memahami substansi tindakan yang diduga sebagai Tipikor untuk dikaitkan dengan unsur-unsur pasal Tipikor dalam perundang-undangan. Upaya para penegak hukum dalam memahami substansi perkara, cukup sulit karena biasanya mengandung beberapa isu atau permasalahan sekaligus. Misalnya, masalah perizinan dengan perlindungan lingkungan, atau masalah teknis infrastruktur dengan pengadaan barang dan jasa.
Tantangan yang kedua adalah mengupayakan kualitas produk hukum yang dihasilkan dalam perkara tersebut. Yaitu pelaksanaan proses penyidikan, penyusunan dakwaan, dan pembuatan putusan. Dalam membuat produk-produk tersebut, penegak hukum diharapkan mampu bersikap konsisten untuk menghindari disparitas serta menyediakan argumentasi hukum yang berkualitas.
Tantangan tersebut sebenarnya bisa dijawab dengan mekanisme manajemen pengetahuan yang baik. Namun, pada praktiknya Kajian Manajemen Pengetahuan di Sektor Peradilan yang dilakukan oleh LeIP pada 2016 menemukan sumber informasi yang tersedia bagi penegak hukum masih sangat minim.[1] Akibatnya, Hakim dan JPU yang ingin melakukan riset untuk penanganan perkara mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan informasi yang mereka cari.[2] Pada saat beban perkara cukup tinggi, sangat mungkin aparat penegak hukum akhirnya melewati proses riset yang dibutuhkan. Terutama kegiatan mencari dan mengkaji putusan-putusan pengadilan terdahulu dalam kasus yang serupa.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya sumber informasi yang terintegrasi dan aksesibel yang dapat membantu para penegak hukum melakukan analisis secara lebih efisien. Sumber informasi yang memenuhi kriteria tersebut, dalam bidang teknologi informasi disebut sebagai data warehouse (pusat data), yaitu sistem yang terdiri dari komponen perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat digunakan untuk melakukan analisis atas data berjumlah besar dengan lebih efisien dalam proses pengambilan keputusan.[3]
Sistem semacam ini lazim digunakan oleh pengadilan-pengadilan di negara lain. Negara yang memiliki pusat data sektor peradilan yang cukup maju dan komprehensif di antaranya adalah 1) negara bagian New South Wales di Australia berupa Judicial Information Research System (JIRS) dan 2) Belanda berupa the Dutch abbreviation for Wetenschappelijk Onderzoek- en Documentatiecentrum/Netherlands Research and Documentation Center (WODC) dan National Academic Research and Collaborations Information System (NARCIS).
Sebagai bagian dari langkah awal untuk membangun data warehouse (pusat data), telah dilakukan kajian untuk mengetahui jenis data informasi, serta kriteria data warehouse yang diperlukan dalam penanganan perkara tipikor. Rumusan dan kriteria itu kemudian digunakan sebagai alat uji dalam untuk memeriksa dan mengaudit, apakah sesungguhnya telah ada format data warehouse yang mendekati gambaran ideal tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil audit ini bersama-sama dengan hasil kajian dalam laporan final output 1.1.menjadi panduan pembuatan data warehouse penanganan perkara tipikor.
[1] Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Kajian Manajemen Pengetahuan di Sektor Peradilan. LeIP, Jakarta: 2016.
[2] Ibid.
[3] Dewi Agushinta, Data Warehouse. Universitas Gunadarma: Depok, 2012, hal 21.



