Pembaca yang budiman,
Senang sekali kami dapat menjumpai Anda kembali. Dictum kali ini hadir mengusung tema “Pers Diadili! (tafsir hakim atas kasus pers)”. Tema ini kami pilih, selain karena waktunya memang sangat tepat – dimana pers tengah menjadi sorotan masyarakat, kami juga coba menawarkan pemikiran yang mungkin bermanfaat bagi Anda semua.
Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus pers, dimana melibatkan, baik antara pers dan pejabat publik; pers dan individu; maupun antara perusahaan pers yang diperiksa pengadilan. Sebut saja kasus Tomi Winata melawan Majalah Tempo, John Hammenda melawan Majalah Trust dan Rakyat Merdeka. Kasus – kasus tersebut sebagian telah diperiksa oleh pengadilan dan diputus bervariasi oleh Majelis Hakim. Sebagian putusan menghukum pers; sebagian membebaskan pers. Atas putusan Majelis hakim tersebut, sebagian masyarakat menilai bahwa putusan tersebut tidak adil, namun sebagian lagi menilai bahwa penghukuman terhadap pers menunjukkan bahwa pers akan kembali dipasung.
Diluar pengadilan pro – kontra mewarnai pemberitaan. Sikap masyarakat terpecah menjadi 2, di satu pihak, menolak pers dihukum/menolak putusan hakim, di pihak lain setuju pers dihukum/setuju putusan hakim. Pihak yang menolak pers dihukum, berargumentasi bahwa kemerdekaan pers telah dijamin oleh UUD 1945 dalam amandemen ketiga. Untuk itu semua pihak harus mendukung pers nasional dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi. Dengan dihukumnya pers, maka pers tidak akan dapat melaksanakan fungsinya, karena para wartawan tidak dijamin keamanannya dalam mencari berita. Mereka juga berupaya meyakinkan masyarakat bahwa UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers merupakan lex specialis dari ketentuan – ketentuan hukum khususnya hukum pidana.
Argumentasi yang bertentangan diajukan oleh pihak lain, yang menyatakan bahwa UU Pers tidak memadai untuk dijadikan acuan penyelesaian sengketa pers. UU Pers ini terdiri dari dua puluh satu (21) pasal yang sama sekali tidak menyentuh materi pencemaran nama baik, penghinaan dan perbuatan melawan hukum. Ketiadaan materi tersebut praktris membuat hakim selalu berpedoman pada KUH Pidana dan KUH Perdata yang lengkap mengatur materi di atas.
Untuk mengetahui lebih jauh berbagai pertimbangan hakim dalam memeriksa kasus – kasus pers tersebut, dictum edisi kali ini mengkaji perkara – perkara, yaitu: 1) Gugatan Tomi Winata melawan Tempo dalam pemberitaan “Gubernur Ali Mazy Bantah Tomi Buka Usaha Judi; 2) Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Akbar Tandjung oleh Rakyat Merdeka; 3) Gugatan Kedaulatan Rakyat melawan Radar Jogja dkk.
Kajian kali ini berupaya untuk menyuguhkan isu yang berbeda. Kajian tidak hanya terbatas membahas apakah UU No. 40 tahun 1999 merupakan lex specialis atas KUH Pidana dan KUH Perdata. Namun, kami coba mengurai konsep – konsep hukum yang selama ini dipergunakan oleh majelis hakim dalam membedah unsur – unsur hukum. Misalnya mengenai batasan unsur kesengajaan yang terdapat dalam Pasal 310 KUH Pidana yang sering digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa pers, seperti yang terdapat dalam kajian Dr. Mudzakkir. Selain itu beliau menilai bahwa sebuah kartun yang melukiskan seorang tokoh dalam bentuk yang dianggap menyedihkan, tidak dapat disebut sebagai penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUH Pidana seperti yang diputus oleh Majelis Hakim pada perkara Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Akbar Tandjung, namun seharusnya masuk ke dalam pasal penghinaan ringan. Dengan kata lain Dr. Mudzakkir tidak sependapat dengan putusan hakim. Bagaimana tepatnya argumentasi beliau, silahkan temukan dalam tulisan beliau.
Yang menarik lagi adalah kajian Dr. Andi Muis yang menjelaskan prinsip – prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang wartawan, yaitu 5W + H (who, what, where, when, why + how); rumus etika berita: akurat, jujur, benar (accurate, fair, and true = AFT); atau benar, teliti, obyektif, dan berimbang (true, accurate, objective, and balance = TAOB). Juga komentar dan kritik yang disampaikan harus beritikad baik (fair comment and criticsm = FCC). Dalam menulis berita, wartawan harus melakukan liputan dua pihak (both side coverage), check and recheck dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat arus bawah (civic journalism). Apabila wartawan dalam memuat berita menerapkan asas – asas tersebut maka akan terhindarkan sengketa pers.
Hal yang penting dicatat adalah munculnya benang merah diantara kajian yang ada, yaitu konsep pencemaran nama baik sangat erat hubungannya dengan nilai – nilai masyarakat itu sendiri. Tentu kita memiliki keingingan pers Indonesia menjadi kekuatan penyeimbang. Namun harus diakui bahwa masyarakat kita belum seterbuka negara maju, sehingga gambar karikatur yang mungkin masih dianggap sopan bila dibandingkan di Amerika, namun bagi masyarakat kita cukup membuat telinga merah dan berbuntut lahirnya gugatan pencemaran nama baik di pengadilan. Apa boleh buat, inilah kenyataan yang harus kita hadapi.
Redaksi