A. Tanggapan Umum tentang RUU Mahkamah Agung
- Sejak tahun 1999 melalui UU Mahkamah Agung telah dilaksanakan penyatuan atap dengan dialihkannya fungsi-fungsi administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah ke tangan Mahkamah Agung atau lazim dikenal sebagai sistem satu atap (one roof system). Namun demikian permasalahan substansial yang mendasar, yang seharusnya menjadi pondasi berbagai perubahan yang kini tengah terjadi pada badan peradilan dan sekaligus memberi arahan ke mana proses pembaruan ini berjalan belum semuanya terefleksikan dalam perubahan UU MA.
- Desain RUU MA yang tengah dibahas di DPR merupakan desain yang berawal dari UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985 yang kemudian diamandemen melalui UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009. Desain RUU tersebut dirancang dari pemikiran bahwa Mahkamah Agung adalah pelaksana fungsi teknis pengadilan tertinggi. Sedangkan MA yang ada saat ini (pasca satu atap) selain sebagai pelaksana fungsi pengadilan tertinggi, juga adalah pemegang kekuasaan tertinggi administratif seluruh badan peradilan. Upaya tambal sulam yang dilakukan melalui dua kali perubahan tidak memperlihatkan desain komprehensif organisasi Mahkamah Agung sebagai pelaksana fungsi teknis dan administratif pasca penyatuan atap.
- Mahkamah Agung telah melaksanakan berbagai upaya reformasi yang sedikit banyak berdampak pada wajah Mahkamah Agung saat ini yang harus direspon melalui perubahan UU. Selain itu pada beberapa aspek, justru perubahan legislasi-lah yang menjadi prasyarat terjadinya perubahan di MA. Beberapa ketentuan yang krusial untuk diatur di RUU MA tersebut antara lain mengenai implikasi penerapan sistem kamar yang meliputi struktur pimpinan MA, struktur kepaniteraan MA dan ketentuan tentang seleksi hakim agung. Selain itu beberapa ketentuan lain yang telah diatur dalam ketentuan internal MA namun perlu diadopsi dalam perubahan UU antara lain ketentuan tentang hak uji materiil, grasi dan fatwa.