Oleh: Nur Syarifah[1]
Pengantar
Bulan Februari lalu Badan Legislasi DPR telah memasukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019.[2] Hal ini ditanggapi secara positif terutama oleh kalangan hakim, mengingat hingga kini tidak ada satupun perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang jabatan hakim. Dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa hakim adalah pejabat negara. Namun dalam paket UU Perubahan tentang UU Peradilan Tahun 2009 hakim sama sekali tidak disebut sebagai pejabat negara, melainkan sebagai pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak kepegawaian hakim, tidak menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. Sebaliknya, dalam beberapa peraturan yang mengatur mengenai hak dan fasilitas pejabat negara, hakim (selain hakim agung) selalu dikecualikan
Di sisi lain, penyatuan atap mengalihkan urusan SDM peradilan, termasuk hakim kepada Mahkamah Agung (MA). Namun hingga kini tidak ada penyesuaian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan SDM peradilan pasca penyatuan atap. Kondisi ini menegaskan bahwa telah terjadi pembiaran ketidakjelasan jabatan hakim oleh eksekutif dan legislatif. Pembiaran ini pada akhirnya berujung pada jatuhnya martabat dan kehormatan hakim, serta melemahkan fungsi kekuasaan kehakiman. Karena itu, keberadaan RUU Jabatan Hakim sangatlah penting. Mengapa? Sebab RUU ini mengatur segala konsekuensi yang melekat pada jabatan hakim, di mana konsekuensi tersebut juga berpengaruh terhadap independensi peradilan.
Prinsip-Prinsip Universal Kekuasaan Kehakiman
Untuk mengurai keterkaitan jabatan hakim dengan independensi peradilan, berikut dijabarkan beberapa instrumen internasional terkait prinsip-prinsip universal independensi kekuasaan kehakiman sebagai berikut:
- Setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang independen dan tidak memihak” [Article 10 Universal Declaration of Human Rights, 19480];
- Setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang kompeten, independen dan tidak memihak berdasarkan hukum [Article 14 International Covenant of Civil and Political Rights, 1966];
- Setiap hakim bebas memutuskan berdasarkan fakta dan pemahamannya terhadap hukum tanpa pengaruh; bujukan; tekanan; ancaman atau intervensi dari pihak mana pun atau untuk alasan apapun, dan peradilan independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif [Article 2 The Syracuse Draft Principle on Independence of the Judiciary, 1981];
- Hakim harus mendapatkan independensi personal dan independensi subtantif. Independensi personal mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara memadai untuk memastikan bahwa hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif. Independensi substantif mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, hakim tidak tunduk pada apapun selain hukum dan hati nuraninya. Kekuasaan kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi kolektif seperti halnya eksekutif [Article A.1-A.2 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence,1982];
- Peradilan harus memutus dengan tidak memihak, berdasarkan fakta-fakta dan sesuai dengan hukum, tanpa pembatasan; pengaruh yang tidak tepat; bujukan; tekanan; ancaman atau intervensi baik langsung maupun tidak langsung dari pihak mana pun atau untuk alasan apapun. Peradilan memiliki yurisdiksi terhadap isu hukum apapun dan harus memiliki kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah isu yang diajukan kepadanya sesuai dengan kompetensinya sebagaimana didefinisikan oleh hukum. Tidak boleh ada campur tangan yang tidak pantas atau tidak beralasan dalam proses peradilan. Prinsip ini tidak mengurangi hak judicial review oleh otoritas yang kompeten.” [Article 2-4 United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary, 1985];
- (d) Hakim harus memastikan hak setiap orang untuk mendapat proses peradilan yang adil. Hakim harus mendukung hak setiap orang untuk mendapatkan proses peradilan yang adil dalam waktu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pengadilan yang independen dalam menentukan hak-hak sipil atau tindak pidana yang akan dijatuhkan. Independensi hakim sangat dibutuhkan untuk keadilan yang tidak memihak berdasarkan hukum. Semua institusi dan otoritas nasional maupun internasional harus menghormati, melindungi dan mempertahankan independensi-independensi tersebut [Article 1 Universal Charter of the Judge, 1999];
- Independensi peradilan merupakan prasyarat untuk terwujudkan negara hukum dan jaminan fundamental terhadap peradilan yang adil. Seorang hakim harus menjunjung tinggi independesi peradilan baik dari aspek individu maupun institusi [Value 1The Bangalore Principles Of Judicial Conduct, 2002].
Dari jabaran prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- Independensi kekuasaan kehakiman merupakan instrumen untuk mewujudkan nilai-nilai lainnya seperti the rule of law atau nilai-nilai konstitusional;
- Independensi tersebut harus dijamin oleh negara dan direfleksikan dalam konstitusi dan hukum negara, serta wajib dihormati oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya.
- Independensi kekuasaan kehakiman dilekatkan pada dua objek, yaitu pada badan/lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai pelaksana fungsi peradilan (pemeriksa dan pemutus perkara).
Independensi Kekuasaan Kehakiman
Bertolak dari pembagian kemandirian kekuasaan kehakiman menurut Shimon Shetreet dalam “Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and Contemporary Challenges,”[3] terdapat tiga macam independensi kekuasaan kehakiman yang dilekatkan sesuai objeknya (badan/lembaga peradilan dan hakim), yaitu: independensi kolektif; independensi personal; dan independensi internal. Berikut adalah jabaran dari ketiga macam independensi tersebut.
- Independensi kolektif, yaitu kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga secara kolektif dalam hubungannya dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Kemandirian kolektif mensyaratkan bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara; direfleksikan dalam konstitusi dan hukum negara; dan wajib dihormati oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya.[4] Aspek-aspek independensi kolektif meliputi: (1) jaminan konstitusi terhadap keberadaan dan jalannya lembaga peradilan; (2) pembagian wewenang yang jelas dan tegas diantara pilar kekuasaan dalam Konstitusi; (3) hubungan dan kemandirian lembaga peradilan dengan pilar kekuasaan dan/atau lembaga negara lainnya; dan (4) peraturan perundangan-undangan yang menjamin/melindungi lembaga peradilan dan hakim (larangan membuat aturan/kebijakan yang merugikan hakim). Dalam konteks Indonesia, independensi kolektif terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Badan peradilan adalah lembaga yang mandiri dan harus terbebas dari intervensi pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.”
- Independensi personal, yaitu kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim terkait dengan jabatannya. Independensi personal terbagi dua, yaitu: (1) independensi subtantif, yaitu kemandirian yang diberikan kepada hakim dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi memeriksa dan memutus perkara serta menjalankan tugas resmi lainnya dan (2) independensi personal hakim, yaitu kemandirian yang diberikan kepada hakim selama yang bersangkutan menjabat sebagai hakim. Aspek-aspek independensi subtantif meliputi: (a) kebebasan dalam memutus; (b) kebebasan dari partai politik; (c) kenetralan; (d) menghindari konflik kepentingan; dan (e) jaminan kerahasiaan. Sedangkan aspek-aspek independensi personal hakim meliputi: (a) pengangkatan hakim; (b) masa jabatan hakim; (c) penempatan hakim; (d) karir hakim; (e) pemberhentian hakim; (f) kesejahteraan hakim; dan (g) keamanan hakim. Dalam konteks Indonesia, independensi personal terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 48/2009 yang berbunyi: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
- Independensi internal, yaitu kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim dalam berhubungan dengan kolega dan atasannya ketika melaksanakan tugas yudisialnya. Aspek-aspek independensi internal meliputi independensi dari kolega dan atasan dalam memeriksa dan memutus perkara, serta prosedur/manajemen administrasi perkara dan kebebasan dalam memutus. Jaminan independensi internal di Indonesia terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 48/2009 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dampak Pengaturan Jabatan Hakim Terhadap Independensi dan Profesionalitas
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengaturan jabatan hakim akan berdampak pada berbagai kepastian, yaitu: kepastian rekrutmen; kepastian masa kerja; kepastian metode promosi, mutasi; kepastian remunerasi dan kesejahteraan; dan kepastian hak-hak lain yang melekat pada jabatan. Kepastian ini akan berpengaruh pada kesejahteraan para hakim dan menekan sifat koruptif individu hakim (dorongan hakim untuk mengambil keuntungan lebih dari jabatannya karena desakan ekonomi akibat minimnya kesejahteraan). Kesejahteraan tersebut menjadikan profesi hakim sebagai profesi yang bermartabat, terhormat dan berwibawa, sehingga menaikan dan menjaga kehormatan hakim (professional) dan memperkuat fungsi kekuasaan kehakiman (independen).
Mengutip dari Ahmad Mujahidin dalam Peradilan Satu Atap di Indonesia, 2006, dan PH Lane dalam Constitutional Aspects of Judicial Independence, peradilan yang mandiri tercipta jika didukung oleh tenaga hakim yang berwawasan luas, integritas moral yang tinggi; serta dijamin keselamatan dan kesejahteraannya,[5] dan guarantee tenure and salary for judges (jaminan masa jabatan dan gaji hakim), serta jaminan pengangkatan dan persyaratan yang jelas untuk menjadi hakim merupakan hal-hal pokok yang mutlak didapatkan badan peradilan maupun hakim untuk mendukung terlaksananya kemandirian kekuasaan kehakiman.”[6] Adalah kewajiban negara untuk memenuhi kesejahteraan hakim, yakni gaji pokok, tunjangan (jabatan dan khusus), biaya dinas, pensiun, rumah jabatan milik negara, jaminan kesehatan, sarana transportasi milik negara dan jaminan keamanan sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang terkait dengan Badan-Badan Peradilan, Tahun 2009
Pengaturan Jabatan Hakim Menurut Prinsip-Prinsip Internasional
Berikut adalah subtansi pengaturan jabatan hakim menurut prinsip-prinsip internasional, di mana prinsip-prinsip ini wajib menjadi rujukan bagi legislatif dan eksekutif dalam merumuskan RUU Jabatan Hakim.
- Rekrutmen dan Pelatihan
- Individu yang dipilih untuk menjadi bekerja di pengadilan adalah individu yang memiliki integritas dan kemampuan yang diimbangi dengan kualifikasi dan pelatihan dalam bidang hukum. Metode rekrutmen hakim harus menjamin tidak adanya rekrutmen dengan motif yang tidak layak. Dalam rekrutmen hakim tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau pendapat lainnya, suku, status kelahiran, memiliki wawasan kebanggsaan.[7]
- Rekrutmen hakim harus dilaksanakan berdasarkan faktor-faktor yang objektif dan transparan, serta berdasarkan kualifikasi yang professional. Rekrutmen harus dilaksanakan oleh badan independen, di mana termasuk di dalamnya adalah representasi dari pengadilan.[8]
- Hakim diangkat untuk seumur hidup. Alasan-alasan pemindahan dan usia pensiun harus dijamin oleh hukum. Hakim tidak boleh diangkat untuk periode percobaan, kecuali system hukum mengatur bahwa persyaratan untuk menjadi hakim tidak mensyaratkan adanya pengalaman praktis/pengalaman professional. Rekrutmen hakim harus berdasarkan sistem merit.[9]
- Masa Jabatan
- Masa jabatan, independensi, keamanan, remunerasi, kondisi pelayanan, dan usia pensiun harus dijamin dengan memadai oleh hukum. Hakim, baik diangkat maupun dipilih harus memiliki masa jabatan yang dijamin oleh hukum.Promosi hakim harus dilaksanakan berdasarkan sistem merit, dengan mengutamakan kemampuan, integritas dan pengalaman hakim yang bersangkutan.[10]
- Hakim tidak dapat diberhentikan, kecuali dimungkinkan oleh hukum dan hanya diputuskan melalui prosedur penegakan disiplin yang layak. Masa jabatan hakim adalah seumur hidup atau untuk suatu periode tertentu dan hal tersebut tidak boleh membahayakan independensi peradilan. Perubahan apapun yang berdampak pada usia pesiun tidak boleh berlaku retroaktif.[11]
- Tindakan Disiplin dan Pemberhentian
- Hakim hanya dapat diberhentikan karena alasan ketidakmampuan fisik atau pelanggaran yang membuat mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Semua tindakan disiplin atau pemberhentian harus dilaksanakan berdasarkan standar perilaku yudisial. Penjatuhan sanksi disiplin atau pemberhentian harus dapat direview secara independen.[12]
- Proses tindakan disiplin harus dilaksanakan secara adil dan memberikan kesempatan kepada hakim yang bersangkutan untuk mengajukan pembelaan melalui mekanisme hearing. Prosedur tersebut harus terekam secara gambar. Hakim yang bersangkutan dapat meminta proses tersebut dilaksanakan di depan public. Putusan disiplin harus dipublikasikan. Alasan-alasan pemberhentian hakim harus didefinisikan dengan jelas dan harus ditetapkan oleh hukum. Semua tindakan disiplin harus didasarkan pada standar peradilan, dan diumumkan melalui peraturan yang ditetapkan pengadilan. Hakim tidak akan diberhentikan kecuali karena alasan adanya tindak pidana, lalai, ketidakmampuan fisik atau mental yang nyata yang membuatnya tidak layak menjabat sebagai hakim. Dalam sistem di mana kekuasaan untuk mendisiplinkan hakim dipegang oleh lembaga selain Legislatif, forum tindakan pendisiplinan harus dibentuk secara permanen di mana mayoritas anggotanya terdiri dari unsur peradilan.[13]
- Remunerasi dan Pensiun
Hakim harus menerima remunerasi yang cukup untuk menjamin independensinya dari segi ekonomi (kesejahteraan). Remunerasi tidak boleh didasarkan pada hasil kerja hakim yang bersangkutan dan tidak boleh dikurangi/dipotong selama masa jabatannya. Hakim berhak pensiun dengan hak pensiun yang besarannya disesuaikan dengan tingkat keprofesionalannya.[14]
Jika disimpulkan, secara garis besar uraian prinsip-prinsip di atas uraian adalah sebagai berikut:
- Tidak ada metode standar rekrutmen hakim yang baku. Metode rekrutmen hakim diserahkan kepada masing-masing negara namun dengan mekanisme seleksi yang transparan, imparsial, independen, tidak ada intervensi politik, dan terdapat representasi pengadilan serta persyaratan yang obyektif, yaitu integritas dan pengetahuan/kompetensi dalam bidang hukum.
- Pengangkatan dan masa jabatan hakim wajib diatur/dijamin secara memadai oleh hukum, untuk kepastian; independensi; dan keamanan hakim. Masa jabatan dapat: (a) diatur seumur hidup; (b) dibatasi denganusia pensiun; (c) untuk suatu periode yang jelas yang diatur menurut hukum. Tidak boleh ada masa percobaan kecuali dalam sistem rekrutmen tertutup, dan perubahan apapun yang berdampak pada usia pesiun tidak boleh berlaku retroaktif.
- Promosi wajib dilaksanakan berdasarkan sistem merit dengan mengutamakan kemampuan, integritas dan pengalaman hakim yang bersangkutan.
- Hakim hanya dapat diberhentikan karena alasan ketidakmampuan fisik atau pelanggaran yang membuat mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Tindakan disiplin atau pemberhentian harus dilaksanakan prosedur penegakan disiplin yang layak.
- Besaran remunerasi harus mampu menjamin kehidupan yang layak dan tidak boleh didasarkan pada hasil kerja hakim yang bersangkutan serta tidak boleh dikurangi/dipotong selama masa jabatannya. Hakim berhak pensiun dengan hak pensiun yang besarannya disesuaikan dengan tingkat keprofesionalannya.
Dalam konteks Indonesia, salah satu hal yang sangat perlu diperhatikan oleh perumus RUU dalam merumuskan jabatan hakim adalah kekhususan karakter hakim di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa karakter pejabat negara yang melekat pada hakim berbeda dengan karakter pejabat negara pada umumnya, di mana pejabat negara pada umumnya tersebut: (a) direkrut berdasarkan proses pemilihan politik atau penunjukkan; (b) merupakan unsur pimpinan lembaga negara atau lembaga tertinggi negara; dan (c) tidak mempunyai jenjang karir setelah pengangkatannya.
Penutup
Diaturnya jabatan hakim dalam UU merupakan hal yang tepat. Hal ini mengingat bahwa: (a) materi muatan UU adalah hal-hal yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 7 ayat [1] UU No. 10 Tahun 2004 jo. UU No.12 Tahun 2011); (b) kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang sejajar dengan eksekutif. Tidak tepat jika pengaturan jabatan hakim diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh eksekutif, kecuali pada tingkatan peraturan pelaksanaan; dan (c) status hakim merupakan konsekuensi dari sistem penyatuan atap yang mempunyai dampak fundamental terhadap susunan organisasi badan peradilan, khususnya terhadap status dan pengelolaan hakim dari tingkat pertama hingga MA; (d) proses rekrutmen melibatkan setidaknya dua lembaga negara yaitu KY dan MA, dan juga pada titik tertentu mempertimbangkan persoalan formasi dan keuangan negara; dan (e) pengaturan jabatan hakim di berbagai negara diatur dalam UU, antara lain: Belanda (Dutch Judicial Officers Act, 2001), Canada (Judges Act, 1985), Queensland (Judges Act, 1957), India (Judges Inquiry Act, 1968), New Zealand (Supreme Court Judges Act, 1958), dan Afrika Selatan (Judges Remuneration and Conditions of Employment Act, 2001).
[1] Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
[2] http://www.parlemen.net/sites/default/files/dokumen/Daftar%20RUU%20Prolegnas%202015-2019%20%26%20Prioritas%202015%2009Feb15.pdf
[3] Judicial Independence: The Contemporary Debate, (Martinus Nijhoff Publishers: 1985).
[4] Karena sifatnya yang melihat kepada institusi/lembaga dan mensyaratkan untuk dijamin dalam konstitusi, kemandirian kolektif sering disebut sebagai institutional independency atau constitutional independency.
[5] Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, 2006.
[6] PH Lane, Constitutional Aspects of Judicial Independence, dikutip dari Helen Cunningham, Fragile Bastion: Judicial Independence in the Nineties and Beyond, 1999, http://www.judcom.nsw.gov.au/publications/education-monographs-1/monograph1/fblane.htm dan S.A. de Smith dalam Constitutional and Administrative Law. Hal pokok yang mutlak didapatkan lainnya adalah: non political appointment to a court (ketiadaaan pengaruh politik); executive and legislative non interference with court proceedings and of office holders (ketiadaan intervensi eksekutif dan legislatif dalam proses peradilan); budgetary and administrative autonomy (otonomi anggaran dan administratif); jaminan imunitas; jaminan dibolehkannya berbeda pendapat (dissenting opinion); kerahasiaan rapat musyawarah hakim; sanksi atas pelecehan terhadap kekuasaan kehakiman
[7] United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146.
[8] The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International Association of Judges in Taipei (Taiwan) on November 17, 1999, article 9.
[9] International Bar Association Resolutions Minimum Standars Of Judicial Independence 1982.
[10] United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146.
[11] The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International Association of Judges in Taipei (Taiwan) on November 17, 1999, article 8.
[12] United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146.
[13] International Bar Association Resolutions Minimum Standars Of Judicial Independence, 1982.
[14] The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International Association of Judges in Taipei (Taiwan) on November 17, 1999, article 13.