Muhammad Rafi, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Sabang Kelas II)
Dr (c) Erwin Susilo, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Sigli Kelas IB)
Doktrin rarest of rare merupakan prinsip penting dalam hukum pidana India yang mengintrodusir bahwa hukuman mati hanya layak dijatuhkan dalam “kasus-kasus yang benar-benar luar biasa, di mana kejahatan yang dilakukan begitu keji, brutal, atau mengganggu nurani publik, sehingga tidak ada bentuk hukuman lain yang lebih pantas.” Tujuan pokok dari doktrin ini adalah untuk membatasi penerapan hukuman mati agar tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan hanya diberikan dalam situasi yang benar-benar ekstrem dan tak terhindarkan [1].
Landasan historis dari doktrin ini dapat ditelusuri ke putusan Mahkamah Agung (MA) India dalam perkara Bachan Singh v. State of Punjab (1980). Dalam perkara tersebut, MA mengafirmasi bahwa hukuman mati tetap konstitusional, namun memberikan batasan yang sangat ketat mengenai penerapannya. MA menekankan bahwa hukuman mati hanya bisa dijatuhkan ketika hukuman lain, seperti penjara seumur hidup, tidak lagi memadai untuk mencerminkan tingkat kesalahan pelaku. Dengan kata lain, hukuman mati bukanlah norma, melainkan pengecualian yang hanya berlaku dalam kasus yang “sangat jarang dan sangat berat” [2] [3].
Penelitian Jyoti Diwakar merumuskan kriteria penerapan doktrin ini secara rinci. Pertama, hukuman mati hanya diberikan untuk kejahatan yang luar biasa dan sangat berat, dengan tingkat kesalahan yang ekstrem. Kedua, prinsip dasar yang dianut adalah bahwa hukuman penjara seumur hidup harus menjadi aturan umum, sedangkan hukuman mati hanyalah pengecualian. Ketiga, hukuman mati harus dijatuhkan hanya jika pilihan lain benar-benar tidak memungkinkan. Keempat, penilaian hakim bersifat individual dan kontekstual karena tidak ada pedoman absolut. Kelima, hakim wajib menyeimbangkan faktor pemberat dan faktor pemaaf secara saksama. Keenam, interpretasi terhadap faktor pemaaf harus dilakukan secara luas, termasuk menilai kemungkinan bahwa terdakwa dapat direhabilitasi. Terakhir, bukan semata-mata karena kejarangan kejahatanlah hukuman mati dapat dijatuhkan, melainkan karena tingkat kekejaman dan keadaan khusus yang menyertainya [4].
Menariknya, MA India juga pernah mengelompokkan kejahatan yang bisa masuk dalam kategori rarest of rare menjadi lima kategori: (1) kejahatan yang sangat brutal dan mengerikan sehingga memicu kemarahan publik; (2) motif kejahatan yang mencerminkan kebejatan moral; (3) kejahatan yang mengakibatkan dampak sosial luas, seperti genosida atau pembunuhan kelompok rentan; (4) skala besar atau dampak berat dari kejahatan; dan (5) karakteristik korban yang termasuk kelompok rentan seperti anak-anak atau orang lanjut usia [5].
Sejumlah putusan Mahkamah Agung India mencerminkan penerapan konkret doktrin ini. Dalam perkara Shankar Kisanrao Khade v. State of Maharashtra (2013), meskipun kejahatan dinilai berat, MA menyimpulkan bahwa tingkat kebrutalan tidak cukup ekstrem untuk memenuhi syarat rarest of rare, sehingga hukuman mati tidak dijatuhkan. Sebaliknya, dalam Santosh Kumar Satishbhushan Bariyar v. State of Maharashtra (2009), MA melakukan penilaian mendalam terhadap sifat kejahatan dan dampaknya, dan membuka kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati bila benar-benar diperlukan. Dalam kasus Mohinder Singh v. State of Punjab (2013), MA menegaskan bahwa kekejaman harus benar-benar ekstrem dan mengerikan agar layak diklasifikasikan sebagai rarest of rare [6].
Lebih lanjut, perkara Deepak Rai v. State of Bihar (2013) menunjukkan penerapan nyata dari doktrin ini, di mana MA menjatuhkan hukuman mati karena kejahatan yang dilakukan sangat keji dan terencana, serta menimbulkan dampak yang menghancurkan bagi korban dan keluarganya. Terakhir, dalam Md. Mannan @ Abdul Mannan v. State of Bihar (2019), MA kembali menekankan bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan jika semua alternatif tidak memadai, dan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap menjadi perhatian pokok [6].
Penerapan di Indonesia
Menariknya, prinsip kehati-hatian yang mirip juga mulai tercermin dalam beberapa putusan MA Republik Indonesia. Misalnya, dalam Putusan No. 1754 K/Pid.Sus/2019, Mahkamah menegaskan bahwa “pidana mati harus diterapkan secara selektif dan hanya dalam keadaan-keadaan yang benar-benar pantas, terlebih jika masih ada faktor pemaaf yang layak dipertimbangkan.” Dalam pandangan majelis, karena pidana mati berkaitan erat dengan hak untuk hidup yang bersifat mutlak, maka penghormatannya tidak boleh diabaikan [7].
Selanjutnya, dalam Putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011, MA mengoreksi hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa yang hanya berperan sebagai alat dari pelaku utama. MA menyatakan bahwa pemberian hukuman yang lebih berat kepada terdakwa dibanding pelaku utama justru tidak proporsional dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Putusan ini menyitir prinsip-prinsip dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang menekankan bahwa hukuman mati harus dijatuhkan dengan sangat selektif dan proporsional terhadap peran serta kesalahan pelaku [7]. Dengan demikian, baik doktrin rarest of rare di India maupun putusan MA di Indonesia menunjukkan arah pemikiran yang serupa, yaitu bahwa pidana mati harus dijatuhkan dengan kehati-hatian ekstra, mempertimbangkan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan martabat manusia.
Doktrin rarest of rare ini sudah seyogyanya dikedepankan oleh setiap hakim tatkala akan mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang. Kendati bagi, sebagian cedikiawan hukum menganggap hukuman mati justru kontraproduktif dalam memberikan efek deteren alih-alih penjeraan dan hukuman mati masih hidup dalam hukum pemidanaan di Indonesia. Penerapan doktrin ini merupakan bentuk kompromi yang proporsional di tengah dorongan masyarakat Internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Dengan demikian prinsip penegakan HAM berbanding lurus dengan penegakan hukum itu sendiri.
Referensi
[1] Ankita Jakhmola, et al., ‘SENTENCING POLICY IN INDIA’, Russ. Law J., Vol. 11, No. 5s, 2023.
[2] S. Cherukuri, ‘Sexual Violence against Women, the Laws, the Punishment, and Negotiating the Duplicity’, Laws, Vol. 10, No. 2, 2021.
[3] C. Hoyle and S. Lehrfreund, ‘Contradictions in Judicial Support for Capital Punishment in India and Bangladesh: Utilitarian Rationales’, Asian J. Criminol., Vol. 15, No. 2, 2020.
[4] J. Diwakar, ‘The Court of Bigotry: Contested Sexuality of Dalit and Non-Dalit Women’, Contemp. Voice Dalit, Vol. 14, No. 2, 2022.
[5] S. S, ‘What is the “rarest of rare” doctrine? | Explained’, The Hindu. [Online].
[6] Kanoon, ‘rarest of rare’. [Online].
[7] LeIP, Koleksi Landmark Decisions, kategori isu HAM terkait “Hak Untuk Hidup”. [Online].