Pembuktian Masyarakat Hukum Adat Pada Gugatan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
oleh: Muhammad Amin Putra
Pendahuluan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, direspon oleh Mahkamah Agung (MA) dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Perma tersebut menjadi pedoman beracara bagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memutus gugatan penetapan lokasi pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota yang mendapat delegasi dari Gubernur, yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah. Poin penting dalam Perma tersebut yaitu mengatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) dapat menjadi penggugat dan mengatur pembuktian kedudukan hukum/legal standing MHA.
Jika merujuk pada perma, MHA harus membuktikan bahwa kesatuan MHA tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Aspek pembuktian MHA yang diatur dalam Perma tersebut menimbulkan perbedaan ketika disandingkan dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2012, yang mengakui MHA setelah dilaksanakan penelitian dan ditetapkan dengan peraturan daerah setempat. Menjadi pertanyaan bagaimana jika kedudukan hukum MHA yang tidak ditetapkan dengan perda dan bagaimana membuktikan kedudukan hukumnya dalam persidangan. Sehingga pembuktian MHA sebagai penggugat dalam sengketa penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum, menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut.
Kedudukan Hukum dalam Persidangan
Menurut pengertiannya, kedudukan hukum/legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan.[1] Pentingnya kedudukan hukum, akan mempengaruhi ada atau tidaknya hak seseorang atau badan hukum mengajukan suatu gugatan atau permohonan atas suatu perkara, dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara.
Sebagai contoh, dalam praktek pengajuan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) di MA dan permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK), pemohon dalam kapasitasnya sebagai penggugat/pemohon wajib menguraikan terlebih dahulu kedudukan hukumnya sebelum masuk pada pembahasan pokok perkara. Selain itu dalam Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) maupun sengketa perdata, juga dikenal asas hukum yaitu point de interest point de action, yang dapat diartikan tidak ada gugatan tanpa adanya kepentingan. Jika merujuk pada klausul “kepentingan”, yang dimaksud dengan “kepentingan” menurut Indoharto adalah nilai yang dilindungi oleh hukum yang dapat diukur dengan ada tidaknya hubungan antara orang yang bersangkutan dengan keputusan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa.[2] Dengan demikian kedudukan hukum menjadi gerbang awal bagi MHA ketika menggugat atau mengajukan permohonan atas kepentingan yang dimiliki.
Pertimbangan Hukum dalam Putusan
Pembuktian yang diminta dalam perma tersebut, sebelumnya sudah merupakan isi dari Pasal 18B UUD 1945 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain itu pembuktian hukum MHA sudah terjadi di MK tahun 2007, yaitu dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 yang intinya memberikan penafsiran terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 41 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenaan dengan ada atau tidaknya kedudukan hukum MHA[3], yaitu:
- Suatu kesatuan masyarakat hukum ada secara de facto masih hidup (actual existence), baik yang bersifat teritorial, geneologis, maupun yang bersifat fungsional, setidaknya-tidaknya mengandung unsur-unsur:
- Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); b. Adanya pranata pemerintahan adat; c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; d. Adanya perangkat norma hukum adat; dan e. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu.
- Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:
- Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
- Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
- Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Masyarakat Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak menggangu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Selain dalam pertimbangan hukum oleh MK dalam putusan Nomor 31/PUU-V/2007, terdapat juga putusan Nomor 01/B/2016/PT.TUN.Mks oleh Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) Makassar, yang memutus sengketa antara Bupati Kabupaten Buton Selatan dan PT. Satya Jaya Abadi melawan Pemangku Adat Masyarakat Adat Saumolewa, Kelurahan Todombulu, Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan. Sengketa ini terkait dengan penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Buton Selatan Nomor: 110 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) An. PT. Satya Jaya Abadi di Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan.
Dalam pertimbangannya, Hakim Anggota II menilai kedudukan MHA harus dibuktikan secara hukum, yaitu dalam bentuk peraturan daerah. Jika sudah terbukti secara hukum, maka baru akan masuk pada aspek kepentingan. Pembuktian secara hukum tersebut, merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan (2) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam pasal tersebut mengharuskan adanya pengukuhan MHA dalam peraturan daerah (perda), yang didahului dengan penelitian dari para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat adat setempat dan tokoh masyarakat adat yang ada didaerah setempat, dan instansi/pihak lain yang terkait.
Pembuktian Kedudukan Hukum MHA
Kedudukan hukum MHA dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 1 angka 4 dalam Perma Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
Penggugat adalah Pihak yang Berhak terdiri atas perseorangan, badan hukum, badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah yang memiliki atau menguasai Objek Pengadaan Tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yang meliputi:
- Masyarakat hukum adat;
Sedangkan tata cara mengajukan gugatan di PTUN, diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a angka 4, yang berbunyi: Dalam hal masyarakat hukum adat: bukti bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
Berdasarkan aturan tersebut, maka MHA harus membuktikan terlebih dahulu kedudukan hukumnya yaitu: a. Kesatuan MHA tersebut masih hidup; b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan; c. Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Rujukan kedudukan hukum MHA dalam gugatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus melihat pada Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan Pasal 22 Perpres Nomor 71 Tahun 2012, MHA sebagai pihak yang berhak atas objek pengadaan tanah, harus memenuhi syarat tertentu.[4] Setelah syarat tertentu tersebut telah terpenuhi, selanjutnya akan dilakukan penelitian dan ditetapkan dengan perda setempat, sebagai pengakuan kedudukan hukum MHA tersebut.
Berdasarkan klausul demikian, terdapat 2 (dua) skema pembuktian kedudukan hukum MHA yang dapat terjadi dalam pengajuan gugatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu: pertama, MHA yang diakui dengan perda setempat dan kedua, MHA yang tidak diakui namun ingin mengajukan gugatan. Terhadap MHA yang sudah diakui dalam bentuk perda setempat tentu akan sangat mudah diterima kedudukan hukum penggugatnya, karena keberadaan perda tersebut merupakan bentuk pengakuan MHA berdasarkan Pasal 22 Perpres 71 Tahun 2012.
Terhadap MHA yang tidak diakui, namun ingin mengajukan gugatan paling tidak harus menguraikan ketiga klausul dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-V/2007 yang sudah disebutkan diatas dalam mengajukan gugatan, dengan pengecualian atas klausul “keberadaanya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku.” Hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa klausul dalam perma tersebut sesuai dengan isi dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 dan perma tidak menjelaskan lebih teknis bagaimana MHA harus melakukan pembuktian.
Selain itu pengakuan MAH yang diharuskan dengan ketentuan produk hukum negara berupa perda, menimbulkan kondisi timpang antara MHA dan Negara, karena dalam perpres tersebut juga tidak mengatur pelibatan MHA dalam proses penelitian. Maka, bagi MHA yang tidak diakui dalam perda dapat melakukan “identifikasi diri sendiri”[5] dalam pengajuan gugatan. Hal ini didasari bahwa dalam perpres tersebut tidak mengatur adanya MHA yang akan mengajukan diri untuk ditetapkan dengan perda. Identifikasi diri tersebut diajukan dengan klausul yaitu:
Klausul | Indikator Pengakuan MHA |
Kesatuan MHA tersebut masih hidup; | a. Masyarakat yang memiliki perasaan kelompok;
Dapat berupa daftar nama masyarakat sebagai bagian dari MHA tersebut. |
b. Pranata pemerintahan adat;
Struktur pemerintahan adat. |
|
c. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; | |
d. Perangkat norma hukum adat; dan
Aturan-aturan yang berlaku dalam MHA tersebut, yang dituangkan dalam tulisan. |
|
e. Masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu.
Teritorial tersebut menjadi wilayah lingkungan hidup dan penghidupan kebutuhan bagi MHA. |
|
Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan; | Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. |
Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. | a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Keberadaan MHA tidak bertujuan menjadi gerakan yang mengancam kekuasaan negara. |
b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. |
Identifikasi diri sendiri ini penting dilakukan MHA dalam proses pengajuan gugatan, karena tidak dikenal proses dismissal dan pemeriksaan persiapan. Sehingga, ketika MHA sudah mampu membuktikan sesuai dengan klausul dan indikator, pembuktian kedudukan hukum MHA selanjutnya dapat dibuktikan lebih lanjut dalam persidangan.
Selain itu keterbatasan pengakuan MHA juga terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Permendagri ini juga menjadi batu sandungan bagi MHA untuk membuktikan dirinya, karena pengakuan MHA diatur oleh pemerintah daerah melalui Keputusan Kepala Daerah setempat.
Terlepas dari perbedaan bentuk produk hukum yang dihasilkan, kondisi ini demikian dibuktikan dalam Putusan PTUN Samarinda Nomor 18/G/2015/PTUN.BJM, yang memutus sengketa antara Masyarakat Adat Mangkalapi Hati’tif melawan Gubernur Kalimantan Selatan, Bupati Tanah Bumbu dan PT. Borneo Indobara. Dalam perkara ini, yang menjadi objek sengketa adalah Surat Rekomendasi Gubernur Kalimantan Selatan tanggal 4 Desember 2008 Nomor:552/001733/Eko, tentang Rekomendasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Eksploitasi Batubara An. PT. Borneo Indobara (Tahap II) di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai MHA sebagai penggugat tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat, karenakan sampai pada pembuktian terakhir, penggugat tidak dapat membuktikan pengakuan sebagai MHA, berupa Keputusan Kepala Daerah setempat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sehingga, kendala pengakuan secara hukum oleh negara tentu perlu dijawab dengan “identifikasi diri sendiri” oleh MHA sangat mungkin diwujudkan dalam gugatan Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
[1] Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 176
[2] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hal. 37-40
[3] Lihat Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 bertanggal 18 Juni 2008
[4] a. terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukurn adat tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjad.i lingkungan hidup para warga persekutuan hukum adat tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum adat tersebut.
[5] Nomenklatur ini sudah dipakai dalam rumusan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat