Hak Asasi Manusia (HAM) telah melewati babakan sejarah yang panjang. Diskusi mengenainya telah dimulai jauh sejak Abad Pencerahan, hingga akhirnya lahir berbagai deklarasi dan kovenan internasional pasca dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948); Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966); Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966); dan lainnya.
Di Indonesia, HAM (secara terbatas) telah diakui dan dilindungi sejak lahirnya UUD NRI Tahun 1945. Babak pembaharuan terhadap HAM selanjutnya muncul pada tahun 2002 melalui Amandemen Kedua UUD 1945. Secara lebih baik dan komprehensif, Amandemen Kedua UUD 1945 telah menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Jaminan tersebut ditemukan pula pada berbagai peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang, seperti halnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, termasuk kovenan-kovenan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Indonesia sebagai sebuah negara, merupakan pihak yang bertanggung jawab (duties holder) atas jaminan terhadap HAM warga negaranya (right holder). Dalam konteks negara, pengadilan (judicial power) adalah bagian dari negara yang juga mengemban kewajiban dalam HAM melalui fungsi utamanya, yakni memeriksa dan mengadili perkara. Oleh karenanya, pada pengadilan disematkan tiga kewajiban pokok, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.
Selain berbagai pengakuan dan tanggung jawab terhadap HAM di Indonesia, sayangnya pengadilan masih belum akrab dengan HAM—sejarah, kerangka hukum internasional dan nasional, pembatasan, hingga bagaimana pengaplikasiannya. Aspek-aspek HAM masih seringkali luput dalam putusan-putusan yang dilahirkan oleh hakim. Hakim sangat jarang menarik hubungan antara suatu perkara dengan dimensi dan kerangka hukum HAM. Padahal dalam prinsip negara hukum (rule of law), perlindungan HAM merupakan elemen substantif dalam negara hukum. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi hakim untuk dapat dan mampu menimbang kerangka hukum HAM dalam memeriksa dan memutus perkara.
Memperhatikan hal tersebut, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) melihat adanya kebutuhan peningkatan kapasitas bagi para hakim dalam memahami HAM. Sebagai bagian dari program peningkatan kapasitas tersebut, LeIP menyusun Modul Pelatihan Calon Hakim “Penerapan Prinsip dan Kerangka Hukum Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan” sebagai bahan ajar dalam pelatihan bagi calon hakim. Modul ini disusun dengan mendengarkan masukan berbagai pihak dan kolaborasi intensif dengan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung RI. Modul ini telah diujicobakan dalam pelatihan calon hakim sebagai bagian dari Program Pelatihan Calon Hakim (PPC Hakim) pada Pusdiklat Mahkamah Agung RI pada bulan Agustus hingga Desember 2019. Dalam program PPC tersebut, Pusdiklat Mahkamah Agung RI bersama dengan LeIP melaksanakan pelatihan HAM untuk 1.585 calon hakim dari lingkungan peradilan umum, agama, dan tata usaha negara. Dalam pelatihan tersebut, para calon hakim diperkenalkan dengan berbagai rujukan kerangka hukum HAM dan tata cara menerapkannya dalam tugas dan fungsi hakim. Pelatihan HAM bagi calon hakim merupakan peluang penting untuk membangun fondasi pemahaman HAM bagi hakim sejak awal karier.
Melalui modul dan pelatihan ini, diharapkan para hakim memiliki pijakan yang kuat mengenai prinsip-prinsip HAM, dan pengadilan dapat menjadi forum yang mampu mewujudkan perlindungan HAM untuk setiap warga negara yang berhadapan dengan hukum.
LeIP mengucapkan terima kasih kepada Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, Mahkamah Agung, Center for Human Rights and International Justice pada Universitas Stanford, serta seluruh pihak yang telah berkontribusi dan mendukung tersusunnya modul pelatihan HAM serta terselenggaranya pelatihan.
Semoga keberadaan modul pelatihan ini membawa manfaat untuk penegakan hukum di Indonesia yang berpihak pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.