Oleh: Muhammad Amin Putra (Peneliti LeIP)
Satu bulan terakhir, media massa di Indonesia ramai memberitakan kasus pemerkosaan yang disertai kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap korban. Rata-rata yang menjadi korban adalah anak di bawah umur. Dimulai dengan kasus Yuyun di Rejang Lebong, Bengkulu, Eno di Tangerang, bocah kelas IV SD di Jatinom, dan LN bocah 2,5 tahun di Bogor. Kenyataan ini menambah panjang daftar kekeserasan seksual di Indonesia.
Pasca berlakunya undang-undang tentang perlindungan anak, jumlah kekerasan pada anak khususnya kekerasan seksual terus meningkat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan, pada tahun 2007 kekerasan seksual yang dialami oleh anak sejumlah 527 kasus, dan mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 626 dan pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi 705 kasus.[1]
Kondisi demikian mendorong banyak pihak, terutama para pemerhati perlindungan anak mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah undang-undang perlindungan anak. Presiden Joko Widodo pun merespon dengan cepat tuntutan tersebut dengan menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu tersebut mengatur sanksi berat terhadap pelaku kekerasan seksual: pidana minimal 5 tahun penjara, bahkan membuka ruang untuk dijatuhkan hukuman mati. Perppu juga mengatur pidana tambahan berupa: pengumuman di publik, sanksi kebiri kimiawi dan pemasangan chip. Pertanyaannya: apakah sanksi yang diatur dalam Perppu telah sesuai dengan alasan utama lahirnya Perppu tersebut? Selain itu dengan penambahan pemidanaan, apakah akan menimbulkan efek jera?
Aspek Legislasi Perppu
Secara formal, proses penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tidak memenuhi syarat terbitnya suatu perppu. Syarat lahirnya perppu adalah adanya kegentingan yang memaksa.[2]Mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sendiri, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tiga parameter.
Pertama, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam menerbitkan perppu, seharusnya pemerintah berpedoman pada putusan MK tersebut. Dalam menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016, tidak ada kebutuhan mendesak, apalagi kekosongan hukum. Sebab, masalah kejahatan seksual telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menimbang Efek Jera
Berdasarkan isi Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur perubahan sanksi pidana serta ditambahkannya pidana tambahan bagi pelaku kejahatan seksual.
- Ditambahnya pemidanaan denda menjadi Rp. 5 milyar dan pidana penjara bagi pelaku dengan ancaman maksimum 15 tahun dan minimum 5 tahun, jika dilakukan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama;
- Jika mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; jika pelaku merupakan seorang residivis atas tindakan sebagaimana disebutkan sebelumnya maka dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip;
- Jangka waktu kebiri kimia paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Selain itu pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
Sanski berat disertai pidana tambahan yang cukup berat pula bermaksud untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak. Dengan sanksi yang demikian, pemerintah mengharapkan adanya efek jera bagi pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Pemerintah berpandangan bahwa meningkatkan pemidanaan merupakan cara paling efektif dalam menekan tindakan pidana. Ini pandangan yang cukup keliru dan reaktif.
Efektivitas sanksi pidana seringkali dinilai dalam konteks penangkalan (deterrence). Padahal banyak penelitian menyajikan fakta bahwa cara berpikir sepert itu sangat keliru. Sanksi yang sangat tinggi ditambahi pidana denda dan pidana tambahan berupa kebiri, dan pemasangan cip bagi pelaku kejahatan seksual belum memberikan jaminan tidak terulangi/menangkal atau dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
Data dari World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai negara di dunia membuktikan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera[3]. Selain itu tindakan kebiri kimia terhadap pelaku jika dilihat dari sisi medis, menurut Roslan Yusni Hasan dokter spesialis syaraf atau neurologi, penggenaan kebiri kimia justru menyakiti seseorang karena akan membuat kondisi hormon seseorang menjadi tidak seimbang, dan pelaku yang sudah dikebiri bisa kembali memperkosa meskipun libidonya rendah karena memorinya mengenai kekerasan seksual tetap masih ada, bahkan berpotensi lebih agresif dan memicu depresi[4].
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan hukuman tersebut bisa jadi salah sasaran dan dikhawatirkan menjadi boomerang. Ia memaparkan, seringkali pelaku kekerasan seksual dianggap memiliki abnormal sex drive atau libido seks yang tinggi dan dengan dorongan tidak normal.
Padahal, belum tentu semua kasus kekerasan seksual dilakukan oleh pelaku yang memiliki abnormal sex drive, dan variabel yang harus diatur jika hukuman kebiri dijadikan peraturan akan sangat kompleks[5]. Disisi lain, pelaksanaan kebiri tidak diatur lebih lanjut apakah dilakukan secara paksa atau sukarela, terdapat ketidaksamaan konsep antara kebiri kimia dibarengi dengan rehabilitasi.
Penggunaan bahasa cip oleh pembentuk perppu, juga tidak memberikan kejelasan berupa apa, tujuan apa dan sebagai langkah apa dilakukannya pemasangan cip tersebut. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tidak mencantumkan satupun kata cip. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata cip diartikan sebagai keping kecil bahan semikonduktor yang mengandung rangkaian elektronika dalam bentuk rangkaian padu[6]. Dengan demikian, tidak ada kejelasan makna terhadap penggunaan frasa “cip” dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016.
Dari sisi keadilan bagi korban kekerasan seksual, data Litbang Kompas menunjukan bahwa sebanyak 53,9% dari 596 responden menyatakan bahwa dengan beragam jenis hukuman akan memberikan keadilan bagi pelaku. Sedangkan 40,4% menyatakan tidak memberikan keadilan bagi pelaku[7].
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mendapat penolakan Ikatan Dokter Indonesia(IDI) sebagai eksekutor pelaksanaan hukuman kebiri. Penolakan tersebut didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kodekteran Indonesia (Kodeki)[8].
Dengan kondisi demikian, menurut saya, tidak perlu dilakukan pemidanaan tambahan berupa kebiri. Sebab, jika tetap menerapkan sanksi tersebut, pemerintah harus memastikan obat-obat atau bahan kimia yang diperlukan untuk melakukan eksekusi. Jika pemerintah masih berasumsi dengan peningkatan pemidanaan akan berkolerasi dengan berkurangnya peluang terjadinya tindak pidana, penegakan hukum menjadi poin penting.
Disamping upaya penegakan hukum dalam undang-undang, sangat penting untuk memberikan pemahaman kembali pada tingkat masyarakat bahwa perlindungan anak merupakan tanggung jawab sosial. Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas, bahwa sebanyak 34,7% menyatakan penyebab utama maraknya kekerasan seksual adalah pengawasan dari orang tua/masyarakat kurang, 18,8% pendidikan seksual kurang lengkap dan 19,8% menyatakan hukuman kurang berat[9].
Dengan demikian, upaya perlindungan preventif merupakan amanat undang-undang sebelum terjadinya kekerasan seksual bagi anak. Dijelaskan lebih rinci dalam Pasal 25 bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak, bahwa selain peran negara dan orang tua, masyarakat memiliki hak perlindungan oleh masyarakat baik ketika kejahatan seksual dilakukan oleh orang tua sekalipun.
(Penulis bisa dihubungi melalui email: muhammad.aminputra
[1] www.kpai.go.id, Kompilasi Pelanggaran Hak Anak 2007-2009, diakses pada 3 April 2015, pkl 16:16
[2] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan
[3] http://icjr.or.id/hukum-kebiri-indonesia-latah-atau-tanpa-solusi/, diakses pada 27 Mei 2016, Pkl. 14:54 WIB
[4] https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/27/063774577/ahli-saraf-hukuman-kebiri-membuat-orang-lebih-agresif diakses pada 27 Mei 2016, Pkl. 15:00 WIB
[5] Menguji Euforia Kebiri, Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia Mappi FH UI Koalisi Perempuan Indonesia Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri), hlm. 7
[6] http://kbbi.web.id/cip diakses pada 27 Mei 2016, Pkl. 15:44 WIB
[7] Pro dan Kontra Hukuman Pelaku Kekerasan Seksual, Kompas, Senin, 20 Juni 2016, hal. 5
[8] Lihat Pasal 5 Sumpah Dokter Sebagai hasil Muktamar Ikatan Dokter Sedunia (WMA) di Geneva pada bulan September 1948, dikeluarkan suatu pernyataan yang kemudian diamandir di Sydney bulan Agustus 1968. Pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Sya’ra Departemen Kesehatan RI dan Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia, kemudian dikukuhkan oleh Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan disempurnakan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II yang diselengarakan pada tanggal 14-16 Desember 1981 di Jakarta dan diterima sebagai lafal Sumpah Dokter Indonesia. Lafal ini disempurnakan lagi pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pertimbangan dan Pembelaan Anggota (MP2A), 20-22 Mei, 1993.
[9] Pro dan Kontra Hukuman Pelaku Kekerasan Op.cit, hal. 5