Sistem eksekusi putusan butuh direformasi, selain untuk mewujudkan hak masyarakat tentunya untuk menegakkan hukum dan menciptakan kepastian hukum. Ada beberapa masalah menjadi faktor penghambat eksekusi putusan, salah satunya perihal regulasi yang usang. “HIR yang menjadi hukum acara eksekusi itu berlaku sudah sejak jaman Belanda, sudah tidak sesuai perkembangan zaman dan masyarakat,” tegasnya.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Yudisial Mahkamah Agung Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. dalam Diskusi Publik bertajuk “Mewujudkan Sistem Eksekusi Putusan Perdata yang Efektif dan Efisien” pada Rabu (2/10) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Menurutnya, permasalahan eksekusi putusan banyak ragamnya dan untuk memperbaikinya memerlukan peran dari semua pihak termasuk legislator di DPR dan Pemerintah. Bagi Mahkamah Agung, upaya reformasi sudah dimulai dari internal lembaga peradilan. Dalam rencana jangka pendek, Mahkamah Agung akan berupaya memperbaiki regulasi internal yang terkait prosedur eksekusi putusan. “Juru sita pengadilan juga akan ditingkatkan kualitasnya,” tambahnya.
Respon Pemerintah
Senada dengan yang disampaikan oleh Wakil Ketua MA, Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi Bambang Adi Winarso menyadari perlunya perbaikan ekosistem. “Jadi tidak hanya pengadilan, tapi regulasi dan sistem yang dibentuk harus mendukung untuk keberhasilan eksekusi putusan,” tegasnya.
Dirinya mengambil contoh dari survei Kemudahan Berusaha Bank Dunia, yang menurutnya ada 10 parameter yang dinilai. “Kok banyak sekali, ternyata ini adalah ekosistem lebih tepatnya ekosistem yang terkait iklim usaha,” imbuhnya.
Saat ini Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi sedang mengurusi tentang perbaikan iklim usaha sesuai dengan arahan Presiden. “Apabila dikaitkan dengan permasalahan pengadilan memang perlu ada perbaikan terutama regulasinya,” tegasnya.
Sementara itu Prahesti Pandanwangi (Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas) menyatakan perbaikan sistem perdata sudah termasuk dalam RPJMN 2020-2024. Menurutnya hal ini merupakan tindaklanjut dari arahan presiden yaitu mengundang investasi seluasnya untuk membuka lapangan pekerjaan. Oleh karena itu program prioritas yang dirancang mendukung hal tersebut dan salah satu poin arah kebijakan, yaitu optimalisasi sistem hukum perdata.
“Tidak hanya eksekusi, tapi nanti kita identifikasi perbaikan hukum keperdataan yang diperlukan” katanya.
Selain itu terkait agenda perbaikan sistem perdata, secara perencanaan nasional akan didorong untuk pembaruan substansi hukum di bidang bisnis, penguatan sistem pengadilan berbasis teknologi serta penguatan kelembagaan juru sita. “Tentunya nanti bisa dibahas juga bagaimana perbaikan mekanisme dan sistem di pengadilan,” tambahnya.
Menambahkan apa yang disampaikan oleh Bappenas, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Djoko Puji Raharjo, menyatakan bahwa rancangan undang-undang hukum acara perdata (RKUHPerdata) yang hendak menggantikan mengganti HIR dan Rbg telah menjadi prioritas pembahasan nasional sejak tahun 2019. Sebagai RUU inisiatif pemerintah, naskah akademik dan RKUHPerdata sudah disiapkan. Secara umum, ruang lingkup RKUHPerdata ada 10 (sepuluh), yaitu dimulai sejak gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan.
“Sebetulnya sudah masuk prolegnas sejak tahun 2014 dan proses panjang telah dilalui siap dibahas di DPR,” katanya seraya berharap DPR periode baru dapat melanjutkan RUU ini sebagai prioritas legislasi nasional.
Hasil Riset LeIP
Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), suatu lembaga penelitian dan advokasi yang bergerak dalam isu dan kegiatan pembaruan hukum dan peradilan. LeIP melakukan diseminasi hasil riset tentang pelaksanaan eksekusi putusan perdata di Indonesia. Program riset ini didukung oleh Internasional Development Law Organization (IDLO) dalam kerangka Rule of Law Program dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.
Berdasarkan penelitian tersebut, LeIP berupaya menghadirkan beberapa rekomendasi pokok guna mewujudkan sistem eksekusi putusan perdata yang efektif dan efisien. Pertama, upaya perbaikan tidak hanya tanggung jawab lembaga peradilan, tetapi juga memerlukan peran cabang kekuasaan negara lainnya. DPR dan Pemerintah diharapkan dapat segera membentuk hukum acara perdata yang baru, termasuk perbaikan prosedur eksekusi putusan perdata. Selain itu pemerintah juga diharapkan dapat menerbitkan ataupun memperbaiki peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terkait eksekusi putusan perdata. Pemerintah juga dapat mulai mengintegrasikan informasi seperti kependudukan, keuangan, aset, jaminan sosial, pajak guna dapat diakses untuk kepentingan eksekusi putusan perdata.
Kedua, dalam jangka pendek, Mahkamah Agung diharapkan dapat menghadirkan upaya perbaikan melalui penyempurnaan regulasi internal dan prosedur di pengadilan. Peran Ketua Pengadilan sebagai pejabat berwenang terkait eksekusi putusan, perlu didukung dengan segenap perangkat dan sumber daya yang memadai. Ketiga, aparatur pelaksana putusan pengadilan dalam hal ini juru sita, perlu ditingkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Pendidikan dan pelatihan terkait isu hukum terkini, kemampuan negosiasi, penelusuran aset, komunikasi, dan lainnnya tentu akan sangat menunjang keberhasilan eksekusi putusan.
Brechtje Klandermans, perwakilan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan Ted Hill, Kepala IDLO Den Haag, yang turut hadir menyatakan hasil penelitian ini sangat penting untuk mendukung upaya perbaikan sistem eksekusi putusan perdata. Mereka menyatakan sistem eksekusi putusan perdata yang baik akan berdampak terhadap kepastian hukum, pemenuhan hak masyarakat, serta di sisi lain akan memperbaiki iklim bisnis. LeIP berharap melalui diskusi publik ini akan membuka cakrawala para pemangku kebijakan akan pentingnya memperbaiki sistem eksekusi putusan perdata.