Hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia dijamin pemenuhannya oleh Negara dalam konstitusi maupun sejumlah peraturan perundangan seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan ratifikasi sejumlah konvensi internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan lainnya. Pemenuhan ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari seluruh kekuasaan Negara yang meliputi legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Tidak hanya dengan memastikan tersedianya ruang penyampaian pendapat dan ekspresi dan perolehan informasi, tetapi Negara juga harus memastikan hak kebebasan berekspresi tersebut tetap terjamin secara proporsional kala dihadapkan dengan pemenuhan hak asasi lainnya. Berkaitan dengan tanggung jawab ini, Pasal 28J UUD 1945 dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR mengatur kewenangan Negara untuk membatasi hak kebebasan berekspresi ini dalam situasi tertentu yang mendesak dan pembatasannya harus diatur secara jelas melalui undang-undang. Dengan dasar inilah, terdapat beberapa undang-undang di Indonesia yang mengatur ketentuan pidana yang berkaitan dengan ekspresi yang melanggar hak orang lain.
Esensi dari ketentuan dalam undang-undang ini ada untuk menjamin proporsionalitas dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, bukan sebagai alat represi atau menekan laju demokrasi. Namun, pada praktiknya, terjadi banyak tindakan represi atas kebebasan berekspresi yang justru terjadi dengan menggunakan beberapa undang-undang tersebut seperti KUHP, UU ITE, UU Diskriminasi Ras dan Etnis, dan sebagainya. Banyak perkara yang melibatkan warga sipil, aktivis, maupun jurnalis yang hanya menjalankan hak berekspresinya dan berakhir di pengadilan. Misalnya, kasus Fatia dan Haris Azhar, Muhammad Asrul, Diananta, Kho Seng Seng, dan sederet kasus lainnya. Data Amnesty International Indonesia mencatat dari 2019 hingga 2024 terdapat 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Dari sekian banyak kasus, 421 kasus telah diputus oleh pengadilan. Data SAFEnet pada triwulan ketiga tahun 2024 juga menunjukkan terdapat 42 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital dan adanya masyarakat sipil dan aktivis perempuan yang dikriminalisasi. Banyaknya perkara pelanggaran kebebasan berekspresi yang masuk ke sistem peradilan pidana dan berujung di pengadilan mengindikasikan pentingnya peran hakim maupun institusi pengadilan dalam menjamin hak berekspresi. Hakim harus memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai kebebasan berekspresi dan bagaimana menyeimbangkan pemenuhan hak tersebut dengan hak-hak asasi manusia lainnya.
Di samping berbagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi, ancaman terhadap hak asasi manusia di ruang-ruang digital—yang lazim disebut sebagai hak digital—juga kian mengkhawatirkan. Masifnya perkembangan teknologi tidak hanya berkontribusi secara positif kepada masyarakat, tetapi juga berdampak pada meningkatnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia di ruang digital. Pelanggaran tersebut dapat berupa intrusi terhadap hak atas privasi, represi terhadap kebebasan berekspresi, pembatasan akses terhadap informasi, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO). Di Indonesia, keberadaan beberapa undang-undang, seperti halnya UU ITE, justru mengakselerasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak digital. Pasal 27 ayat (1) UU ITE, misalnya, seringkali digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi korban KBGO. Selain itu, terdapat pula Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang juga sering digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah.
Melihat situasi yang belum ideal tersebut, pengadilan memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak digital. Terlebih, Human Rights Council menegaskan bahwa hak-hak yang telah melekat pada manusia juga harus dilindungi dalam ruang-ruang digital. Perlindungan hak digital oleh pengadilan tersebut dapat dilakukan melalui penerapan dan pengkontekstualisasian UU HAM serta instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional terhadap hak digital, mempertimbangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam perkara yang berdimensi pelanggaran hak digital, dan lainnya. Putusan No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, perkara soal internet shutdown di Papua, merupakan contoh baik di mana pengadilan mampu melindungi kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Di lain sisi, terdapat Putusan No. 574 K/Pid.Sus/2018 dan No. 83 PK/PID.SUS/2019, kasus Baiq Nuril, yang justru gagal melihat dimensi KBGO yang dialami oleh Baiq Nuril. Dua putusan tersebut hanyalah sekelumit di antara banyaknya putusan yang masih belum mampu memberikan perlindungan terhadap hak-hak digital.
Berdasarkan hal-hal tersebut, LeIP dengan dukungan dari Luminate mengumpulkan dan menganalisis putusan pengadilan dalam perkara kebebasan berekspresi dan hak digital yang telah menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dengan baik. Hasil dari pengumpulan dan analisis tersebut akan dipublikasikan sebagai “putusan-putusan penting” atau “landmark decisions” agar masyarakat mengetahuinya. Publikasi ini juga sebagai bentuk apresiasi kepada hakim yang menerapkan prinsip hak asasi manusia, mendorong mereka untuk terus menghasilkan putusan berkualitas. Selain itu, putusan tersebut dapat menjadi referensi bagi hakim lain dan bahan kajian bagi akademisi dan peneliti tentang penerapan prinsip hak asasi manusia oleh pengadilan.
Berangkat dari proses pengumpulan dan analisis putusan-putusan penting yang telah dilakukan, LeIP berencana menyelenggarakan webinar untuk melengkapi hasil penelitian tersebut. Webinar ini berencana mengundang akademisi dan perwakilan lembaga atau masyarakat sipil yang terlibat dalam penelitian dan advokasi terkait kebebasan berekspresi dan hak digital.
Dapat diunduh di sini
Materi Presentasi Pembicara Webinar “Putusan-putusan Penting (Landmark Decisions) terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital”:
- Paparan Peneliti LeIP, Shevierra Danmadiyah, S.H., LL.M. & Johanna G. S. D. Poerba, S.Hum., S.H.
- Nur Ansar, S.H. (Peneliti ICJR)
- Nenden Sekar Arum, S.Kom., M.Sc. (Direktur Eksekutif, SAFEnet)
- Eko Riyadi, S.H., M.H. (Direktur, PUSHAM UII)
- YM Suharto, S.H., M.Hum. (Wakil Ketua Mahkamah Agung RI bidang Yudisial)