Sejak awal reformasi 1998 hingga kini, jaminan normatif tentang kebebasan berekspresi di Indonesia pada satu sisi telah berkembang cukup pesat. Ketetapan MPR No. XVII tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Perubahan UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1999 tentang HAM, serta ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional adalah sejumlah kebijakan dan regulasi yang memberikan dasar perlindungan dan jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia. Kebebasan pers dan terbukanya ruang-ruang penyampaian pendapat dan ekspresi juga merupakan situasi yang mendukung semakin majunya kebebasan berekspresi di Indonesia.
Namun demikian, penghormatan dan perlindungan kebebasan berekspresi menujukkan masih belum sesuai yang diharapkan. Laporan Freedom House 2019 menyebut situasi kebebasan di Indonesia dalam kategori ‘partially free’. Hal ini merujuk pada situasi bahwa Indonesia telah melakukan pencapaian demokrasi yang impresif namun masih berjuang dalam menghadapi berbagai tantangan, diantaranya diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan di Papua dan penggunan hukum yang terkait dengan penghinaan dan penodaan agama yang politis.Lebih spesifik, dalam konteks kebebasan sipil terkait dengan perlindungan kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, masih terdapat berbagai masalah, diantaranya: kekerasan kepada jurnalis, pengekangan kebebasan akademis, diskriminasi kepada kelompok minoritas keagamaan/keyakinan, penggunaan hukum penodaan agama dan penghinaan untuk menjerat ekspresi yang sah.
Sejumlah faktor menjadi penghambat penghormatan dan perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pertama, masih eksisnya sejumlah regulasi, misalnya ketentuan tentang penghinaan di KUHP, penodaan agama, dan berbagai tindak pidana yang terkait erat dengan isu kebebasan berekspresi, misalnya dalam hal ekspresi politik. Kedua, adanya sejumlah regulasi baru yang memperburuk jaminan kebebasan berekspresi misalnya yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE]. Ketiga, munculnya berbagai bentuk ekspresi yang dilakukan dengan mendium baru, misalnya dalam ranah online dan ekspresi yang menggunakan sarana teknologi. Keempat, kegagalan aktor-aktor negara, termasuk pengadilan dalam merespon kasus-kasus kebebasan berekspresi secara tepat dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
Dengan kualitas legislasi yang buruk dan saling inkonsisten, maka peran pengadilan untuk melindungi kebebasan berekspresi menjadi semakin penting. Berbagai kasus ekspresi politik, penghinaan, hoax, fake news, atau kasus-kasus yang dikategorikan sebagai hate crimes, saat ini membanjiri pengadilan. Tidak semua kasus-kasus tersebut adalah ‘kejahatan’ dan banyak diantaranya adalah ‘ekspresi yang sah’. Namun sayangnya dalam banyak kasus, pengadilan belum mampu memberikan putusan yang mampu menyeimbangkan antara perlindungan kebebasan berekspresi dengan kepentingan menjaga ketertiban dan keharmonisan dalam masyarakat berkaitan dengan masalah ekspresi politik, penghinaan, hate speech, hoax, dan sebagainya.
Merujuk pada berbagai permasalahan tersebut, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) melakukan penelitian tentang interpretasi kerangka hukum berdimensi hak kebebasan berekspresi, melalui penerapannya dalam putusan-putusan pengadilan. Berdasarkan kajian ini LeIP juga berharap dapat menyusun sebuah rekomendasi metodologis bagi hakim dalam menyeimbangkan antara pelaksanaan kerangka hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam putusan pengadilan. Untuk mempersiapkan kajian tersebut, LeIP menyelenggarakan Focus Group Discussion untuk melakukan pemetaan tentang kajian kebebasan berekspresi yang telah dilakukan, bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi dalam konteks kekinian, dan cakupan kebebasan berekspresi dalam era informasi teknologi.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Rabu, 26 Juni 2019, di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dihadiri oleh Prof. David Cohen (WSD Handa Center for Human Rights and International Justice, Standford University), Anggara Suwahyu (ICJR), Gading Yonggar (LBH Pers), Damar Juniarto (Safenet), Blandina Lintang Setianti (ELSAM), Gufron Mabruri (Imparsial), Alia Yofira Karunian (ELSAM), Arsil (Peneliti LeIP), Muhammad Tanziel Aziezi (Peneliti LeIP), Dian Rositawati (Peneliti LeIP), Raynov Tumorang Pamintori (Peneliti LeIP), Zainal Abidin (Peneliti LeIP), dan kedua mahasiswa magang dari Stanford University Melodie Liu (WSD Handa Center for Human Rights and International Justice, Standford University) dan Alisha Zhao (WSD Handa Center for Human Rights and International Justice, Standford University).