Tanggal 28 September 1998 merupakan salah satu momentum penting terkait pengakuan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Pada hari tersebut, Indonesia secara resmi mulai mengakui keberlakuan aturan-aturan anti penyiksaan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) di Indonesia dengan meratifikasi ketentuan tersebut melalui pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1998. Tidak hanya itu, pengakuan Indonesia terhadap ketentuan yang melarang penyiksaan kemudian berlanjut dengan diaturnya jaminan setiap orang untuk bebas dari penyiksaan sebagai salah satu ketentuan HAM dalam amandemen ke-2 UUD NRI 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan dikukuhkan sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Pengaturan-pengaturan norma anti penyiksaan dalam berbagai hukum positif Indonesia tersebut menunjukkan pengakuan sekaligus komitmen kuat Indonesia dalam menjamin perlindungan setiap orang dari segala bentuk penyiksaan di Indonesia.
Salah satu hal yang sangat berkaitan erat dengan konteks penyiksaan adalah penyelenggaraan proses peradilan pidana. Hal ini tidak terlepas dari salah satu tujuan dari tindakan penyiksaan adalah memperoleh keterangan atau pengakuan dimana perolehan keterangan juga sangat lazim terjadi dalam peradilan pidana. Selain itu, kewenangan-kewenangan upaya paksa dalam peradilan pidana merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia yang diperbolehkan untuk tujuan penegakan hukum, yang pada derajat tertentu berpotensi bergeser menjadi tindakan penyiksaan apabila dilakukan secara ekseksif dan tidak proporsional serta dengan tujuan selain untuk penegakan hukum, seperti menimbulkan rasa sakit fisik dan psikis atau memperoleh keterangan. Padahal, Konvensi Anti Penyiksaan dan ketentuan HAM terkait fair trial telah menegaskan bahwa keterangan yang terbukti diperoleh dari tindakan penyiksaan merupakan bukti yang tidak sah dan pengadilan harus mengenyampingkan bukti tersebut dalam persidangan dan penjatuhan hukum. Dengan begitu, aparat penegak hukum perlu selalu memastikan bahwa tidak terdapat tindakan penyiksaan dalam proses peradilan pidana agar keterangan yang diperoleh dari proses tersebut layak dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan putusan.
Namun demikian, masalah dugaan terjadinya penyiksaan dalam peradilan pidana masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Kasus Oki Kristodiawan di Banyumas, Afif Maulana di Padang, dan RF di Ketapang merupakan sebagian dari bukti masih adanya dugaan penyiksaan dalam peradilan pidana Indonesia. Di sisi lain, masih terdapat hambatan bagi saksi dan/atau terdakwa untuk mencabut keterangannya pada tahap penyidikan di persidangan dengan alasan adanya penyiksaan. Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pengadilan-pengadilan Indonesia merespon klaim terjadinya penyiksaan oleh saksi dan/atau terdakwa di persidangan, khususnya dalam menjamin proses persidangan yang tidak melibatkan keterangan yang diperoleh dari penyiksaan.
Berdasarkan hal tersebut, kami Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) berkolaborasi dengan REVISI menghadirkan hasil indeksasi terhadap putusan-putusan pengadilan Indonesia yang khusus menyorot dugaan terjadinya kekerasan/penyiksaan dalam peradilan pidana. Dokumen ini menyajikan berbagai informasi penting terkait dugaan praktik penyiksaan dalam peradilan pidana Indonesia, mulai dari bentuk-bentuk penyiksaan yang terjadi, hubungan terjadinya penyiksaan dengan ketersediaan bantuan hukum, respon pengadilan terhadap klaim penyiksaan yang disampaikan dalam persidangan, hingga rekomendasi-rekomendasi yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyiksaan dalam peradilan pidana Indonesia. Kami berharap dokumen ini dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan mengenai dugaan praktik kekerasan/penyiksaan dalam proses peradilan pidana di Indonesia, termasuk menjadi referensi bagi kajian lain terkait peradilan pidana Indonesia ke depannya.
Kami mengucapkan terima kasih dan selamat kepada seluruh peneliti yang telah berhasil menyelesaikan dokumen ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang turut mendukung serta menyumbangkan ide, kritik, dan saran dalam proses penyelesaian hasil indeksasi ini. Semoga dokumen ini dapat berperan dalam pengayaan hukum acara pidana Indonesia ke depannya guna menghadirkan peradilan pidana Indonesia yang lebih dapat mencegah dan memberantas praktik kekerasan/penyiksaan dalam proses peradilan pidana.
Salam,
Muhammad Tanziel Aziezi
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)