Di tengah pandemi covid-19 ini, Dictum kembali hadir dengan mengusung tema:
“Kontestasi dan Dinamika Keberlakuan Hukum Adat dalam Ruang Persidangan”. Sebagaimana
kita ketahui, keberadaan masyarakat adat di Indonesia telah diakui melalui konstitusi beserta
beberapa aturan turunannya. Dalam mengadili suatur perkara pun, hakim dan hakim konstitus
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Dalam praktik, dinamika relasi dan kontestasi antara hukum adat dan hukum negara
terus berlangsung. Di satu sisi masyarakat adat masih terus memperjuangkan haknya untuk
mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan
adat yang disepakati bersama. Namun di sisi lain interaksi antara hukum adat dan hukum
negara serta ketentuan lain di luar hukum adat tidak bisa dihindari. Selain itu kritik terhadap
beberapa norma hukum adat yang bertetangan dengan hak asasi manusia dan kesetaraan
gender juga mengemuka. Dalam bidang hukum waris misalnya, sebuah putusan pengadilan
menyatakan bahwa hukum adat dinilai ketinggalan zaman dan bertentangan dengan hak asasi
manusia. Pendapat ini dapat dibaca dalam pertimbangan hukum kasus waris adat putusan 147
K/Pdt/2017. Dalam putusan tersebut, MA memberikan pertimbangan bahwa dalam sistem
hukum adat yang menganut budaya patriarki, wanita memiliki kedudukan waris yang sama
dengan laki-laki.
Pergumulan eksistensi hukum adat tidak hanya terjadi pada ranah perdata, tetapi juga
pada kasus pidana. Pasal 103 UU Desa mengatur tentang kewenangan Desa Adat untuk
menyelesaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah
yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara
musyawarah; penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa
Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat.
Pasal ini tentu saja mengundang perdebatan dalam praktik. Berbagai pihak berpendapat
bahwa kewenangan lembaga adat ini tidak seharusnya meliputi penyelesaian sengketa pidana.
Sebab, hukum pidana menganut asas “lex scripta” dan “lex certa”, dimana asas “nullum delictum nulla
poena sine privea lege poenali”, melarang keberlakuan hukum yang tidak tertulis karena dianggap
akan mengancam kepastian hukum yang diusung sebagai landasan utama keberlakuan hukum
pidana. Selain itu juga muncul kekhawatiran bahwa pertarungan kepentingan dan kekuasaan
dalam pranata masyarakat adat juga dapat menimbulkan resiko pada rentannya perlindungan
pada kelompok minoritas dan marginal pada ranah pidana.
Terlepas dari perdebatan di atas, dalam praktik, Mahkamah Agung pernah memberikan
pengakuan pada keberadaan hukum pidana adat melalui putusan kasasi. Dalam putusan No. 32
K/Pid/2010, Terdakwa keberatan dengan putusan judex factie Pengadilan Negeri Majene dan
Pengadilan Tinggi Makassar karena menjatuhkan pidana kepadanya dengan pidana adat karena
terbukti melakukan zinah adat. Menurut Terdakwa, hukum adat tidak dapat diterapkan dalam
ranah hukum publik. Namun, Majelis Hakim Kasasi menolak argumen Terdakwa.
Dalam konteks keadilan restorative (restorative justice) muncul pemikiran untuk kembali
memperkuat eksistensi lembaga penyelesaian adat dalam ranah hukum pidana, namun dibatasi
pada tindak pidana ringan saja. Penguatan peran pranata adat dalam menyelesaikan kasus
pidana ringan, dinilai dapat membantu mengatasi beban lembaga penegak hukum. Selain
itu juga penyelesaian adat dianggap lebih dapat memberikan pemulihan. Sistem pidana adat
pada umumnya mengenal mekanisme denda. Mekanisme ini dinilai dapat membantu penegak
hukum untuk mengurangi model penghukuman melalui pemenjaraan. Dalam praktik, lembaga
kepolisian telah mempergunakan lembaga penyelesaian adat untuk menghindari penyelesaian
melalui sistem peradilan pidana. Namun praktik ini bukannya tanpa masalah. Dalam berbagai
kasus, tindak pidana yang tidak seharusnya diselesaikan melalui pemulihan adat, seperti
kekerasan terhadap perempuan dan anak, justru dianggap selesai secara adat tanpa melalui
proses pidana.
Berbagai diskursus dan dilema eksistensi hukum adat sangat menarik untuk dikaji,
terutama dengan melihat kasus-kasus kongkret yang muncul di pengadilan. Oleh karena
itu pada edisi kali ini Jurnal Dictum akan fokus kepada putusan pengadilan yang memuat
dimensi hukum adat dan keberlakuannya. Selain memuat artikel hasil kajian terhadap putusan
pengadilan, Dictum juga akan menampilkan hasil kajian atau opini tentang respon pengadilan
dalam menghadapi tantang pandemic covid-19 dalam mengadili perkara.
Selamat membaca.