Salinan putusan pengadilan memiliki peran yang vital dalam bersengketa di pengadilan. Lewat salinan putusan, dapat diketahui legal reasoning dibalik keputusan hakim dalam menyelesaikan sebuah sengeketa. Selain itu, salinan putusan pengadilan juga merupakan prasyarat bagi para pihak ketika hendak mengajukan upaya hukum. Sebab, bahan utama dalam menyusun memori banding atau memori kasasi adalah salinan putusan pada tingkat pertama.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika salinan putusan pengadilan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai ketangan para pihak. Jika salinan putusan tak kunjung sampai ke tangan para pihak, ada peluang hilangnya kesempatan para pencari keadilan untuk mengajukan upaya hukum. Hal ini disebabkan adanya jangka waktu penyampaian memori banding atau kasasi. Atas hal tersebut, sudah seyogyanya salinan putusan sampai kepada para pihak yang bersengketa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Untuk menjamin hak dari para pihak yang bersengketa dipengadilan atas salinan putusan, maka dibuatlah aturan agar salinan putusan diserahkan sesegera mungkin. Berdasarkan Pasal 52A ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum mengamanatkan bahwa sejak pembacaan putusan pengadilan, Pengadilan Negeri memiliki waktu paling lama 14 (empat belas) hari untuk mengirimkan salinan putusan pengadilan agar sampai ke tangan para pihak yang bersengketa. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka ketua pengadilan selaku pimpinan administrasi pengadilan akan mendapatkan sanksi. Permasalahannya, di Institusi Mahkamah Agung belum ada lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi ini.
Dalam rangka penyelesaian permasalahan keterlambatan salinan putusan, LeIP memandang perlu untuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung guna menegakkan peraturan Pasal 52A UU Peradilan Umum. Agar kedepannya, setiap Ketua Pengadilan Negeri yang terlambat menyerahkan salinan putusan dikenakan sanksi administrasi. Pemberian sanksi ini semata-mata ditujukan sebagai stimulant agar pengadilan menaati apa yang diamanatkan dalam Pasal 52A UU Peradilan Umum. Jika hal ini terus dipertahankan bukan tidak mungkin salinan putusan dapat sampai ketangan para pihak kurang dari 14 (empat belas) hari.
Akan tetapi, sebelum jauh kesana perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah memang benar terjadi keterlambatan pengiriman salinan putusan di Pengadilan Negeri. Kemudian perlu juga dibuktikan apakah keterlambatan salinan putusan pengadilan menyulitkan para praktisi hukum dalam beracara dipersidangan. Untuk itu, LeIP mengajak para advokat dan jaksa agar berpartisipasi dalam pengentasan permasalahan ini. Sebab Advokat dan Jaksa merupakan pihak yang mengalami langsung dampak dari keterlambatan penyerahan salinan putusan.
Sebagai alat pengumpul data, LeIP mengadakan Survey tentang pelaksanaan penyerahan salinan putusan pada tingkat Pengadilan Negeri. Survey ini ditujukan kepada seluruh advokat dan Jaksa yang pernah bersidang di Pengadilan Negeri di wilayah DKI Jakarta. Survey ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman praktisi hukum di pengadilan terkait keterlambatan salinan putusan. Selain itu, melalui survey ini juga akan menangkap fenomena-fenomena yang dialami oleh advokat dan jaksa tatkala menghadapi lambatnya salinan putusan pengadilan. Kedepannya survey ini akan dijadikan sebagai bahan advokasi ke Mahkamah Agung agar keterlambatan pengiriman salinan putusan pengadilan tidak terjadi lagi.
Berikut adalah link survey untuk menguji keterlambatan salinan Putusan, partisipasi anda sangat bermakna dalam membawa dunia peradilan kearah yang lebih baik.
https://survey.indexalaw.id/OS–leipevaluasisalinanputusan
Informasi lebih lanjut hubungi kami melalui:
Muhammad Rafi (muhammad.rafi@leip.or.id)