Pada Kamis, 2 Maret 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. yang mengabulkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perkara ini bermula ketika Prima merasa dirugikan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024, sehingga ia melakukan gugatan perdata terhadap KPU. Putusan ini kemudian mendapat sorotan publik yang masif karena salah satu amar putusannya adalah “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari” — yang dinilai berdampak pada penyelenggaraan pemilu. Melihat situasi tersebut, LeIP memandang ada dua permasalahan mendasar dalam kasus ini.
Pertama, penting untuk menelisik lebih lanjut mengenai isu independensi dan adanya mekanisme upaya hukum dalam merespon Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Adanya intervensi langsung maupun penyikapan lembaga lain yang tidak proporsional — sebagaimana diserukan dan dilakukan oleh beberapa pihak — sejatinya merupakan upaya pengikisan independensi peradilan. Mengingat, tiap hakim pada prinsipnya memiliki independensi yang harus dihormati, bahkan oleh Mahkamah Agung sekalipun. Selain pengikisan independensi peradilan, LeIP menilai upaya intervensi yang tidak proporsional juga merupakan wujud pengesampingan kerangka hukum yang sudah ada dalam menyikapi putusan peradilan. Tentu terdapat permasalahan mendasar pada kualitas kompetensi hakim yang menangani perkara tersebut, namun keadaan ini bisa ditindaklanjuti melalui mekanisme berdasarkan kerangka hukum yang sudah tersedia, bukan melalui pemanggilan oleh DPR, bahkan penonaktifan.
Secara mendasar, perlu dipahami bahwa Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. merupakan putusan pengadilan tingkat pertama dalam kasus perdata. Artinya, apabila suatu putusan belum berkekuatan hukum tetap, putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum lanjutan oleh pihak berperkara. Dalam peristiwa ini, upaya hukum yang dapat ditempuh pihak berperkara adalah banding di pengadilan tinggi. Mekanisme demikian cukup menjadi mekanisme yang adil terhadap perkara yang diajukan penggugat terhadap tergugat pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. LeIP memahami kegelisahan dan pertanyaan besar publik akan putusan yang dijatuhkan. Namun penting bagi berbagai pihak, khususnya legislatif maupun eksekutif untuk tetap menghargai putusan pengadilan. Melalui mekanisme tersebut pula, selain independensi peradilan tetap berjalan, hakim tidak lepas dari tuntutan jabatannya untuk memeriksa dan memutus perkara sesuai dengan kompetensi jabatannya.
Jikapun terdapat indikasi pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim dalam Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, secara ideal, telah terdapat mekanisme pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan dalam UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yudisial, dan berbagai peraturan perundang-undangan turunannya. Oleh Mahkamah Agung, dapat dilakukan upaya pemeriksaan etik hingga pemberian petunjuk, teguran, atau peringatan; dan pengusutan masalah inkompetensi — tanpa mengurangi independensi hakim yang bersangkutan. Sehingga, dapat dilakukan upaya-upaya yang lebih tepat sasaran atas permasalahan yang mencuat, seperti halnya pembinaan kepada hakim yang bersangkutan. Selanjutnya, oleh Komisi Yudisial, dapat pula dilakukan upaya pemeriksaan dan pengawasan. Upaya-upaya semacam ini akan lebih objektif dan proporsional — dan tentunya konstitusional — dalam merespon adanya “ketidaktepatan” yang dilakukan oleh para hakim. Lebih jauh, upaya semacam ini justru akan menjaga independensi peradilan dalam memutus sebuah perkara. Sehingga, solusi alternatif yang penting untuk dipertimbangkan adalah membangun keterhubungan antara pengawasan dan pembinaan — jangan sebatas dilihat sebagai persoalan pemberian sanksi, tetapi juga pembinaan terhadap kompetensi hakim.
Kedua, perihal kompetensi hakim dalam memutus, kualitas kompetensi jabatan yang dimiliki hakim akan berpengaruh pada kualitas putusan. Artinya, jika hakim tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang prosedur penanganan perkara, maka hal ini akan terefleksikan pada keterampilan hakim menerapkan hukum di persidangan. Pada akhirnya hal ini memberikan gambaran sikap hakim sebagai wajah peradilan terhadap perkara yang diperiksa. Terkait hal ini, LeIP memahami kemunculan sorotan publik terhadap aspek kualitas hakim dalam kasus ini sebagai bentuk harapan publik untuk memiliki hakim yang berkualitas, terutama hakim yang bertugas di pengadilan kelas tertinggi (1A khusus) di Indonesia. Untuk itu, Mahkamah Agung harus menyikapi serius adanya potensi masalah kompetensi ini dengan menjalankan fungsinya untuk melakukan pengawasan dan pembinaan hakim. Apabila nantinya Mahkamah Agung menemukan masalah kompetensi pada hakim-hakim yang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung harus melakukan pengawasan dan pembinaan lanjutan dengan tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi mengingat pemberian sanksi tanpa ada upaya pembinaan yang relevan dan berkelanjutan tidak akan menyelesaikan permasalahan kompetensi hakim.
Berdasarkan hal-hal tersebut, LeIP mendorong hal-hal sebagai berikut:
- Mendorong publik untuk tetap menjaga independensi peradilan dengan menempuh sikap yang konstitusional dalam merespon Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.;
- Mendorong para pihak untuk menggunakan upaya hukum yang konstitusional jika menemukan indikasi kesalahan dalam Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.;
- Jika ditemukan pelanggaran etik, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan secara bersama-sama dengan mengedepankan pengawasan dan pembinaan sebagaimana diatur dalam UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial beserta peraturan perundang-undangan turunannya; dan
- Mendorong Mahkamah Agung membangun sistem pengawasan dan pembinaan komprehensif yang terintegrasi, sehingga dapat berkontribusi nyata pada peningkatan kompetensi hakim.
Jakarta, 6 Maret 2023
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
- Mentari A. R. (Peneliti LeIP), telepon: +62 856-5416-9311
- Muhamad Dwieka F. (Peneliti LeIP), telepon: +62 852-9136-0001
- Shevierra Danmadiyah (Peneliti LeIP), telepon: +62 812-3632-5338