Pada Kamis (20/2), Presiden Prabowo mengundang para hakim ke Istana Negara. Pertemuan ini terjadi sehari setelah Presiden menyampaikan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim dalam acara peluncuran Laporan Tahunan Mahkamah Agung pada 19 Februari 2025. Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa Presiden meminta “back-up” dalam penegakan hukum terkait adanya langkah-langkah “keras” yang akan diambil Pemerintah. Dilansir dari DDTC News, Yusril memberi contoh pelanggaran ketentuan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sasaran langkah penegakan hukum yang akan dilakukan Pemerintah.
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) mengecam pertemuan ini. Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak seharusnya memberikan arahan kepada para hakim. Sikap Presiden dalam mengundang para hakim ke Istana Negara, disertai permintaan “back-up” dalam penegakan hukum, memberi kesan kuat adanya intervensi terhadap independensi peradilan dan menempatkan hakim dalam posisi yang rentan terhadap tekanan eksekutif. Sekilas, pertemuan ini terkesan menunjukkan itikad baik Pemerintah dalam mendukung penegakkan hukum. Namun, undangan ini justru mengindikasikan upaya intervensi Pemerintah terhadap independensi peradilan, baik independensi kelembagaan maupun independensi personal.
Ancaman Independensi Kelembagaan
Independensi kelembagaan mengacu pada perlindungan peradilan dari pengaruh cabang kekuasaan lain. Pemanggilan para hakim oleh Presiden bukan hanya keliru, namun juga menunjukkan ancaman nyata terhadap prinsip fundamental kekuasaan kehakiman yang dijamin dalam Konstitusi UUD 1945. Konstitusi telah menggariskan bahwa kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan oleh karenanya tidak boleh tunduk pada tekanan politik dan eksekutif. Hakim telah dibekali kompetensi dan keterampilan untuk mengadili perkara secara mandiri. Presiden sebagai kepala eksekutif tidak punya kewenangan dan justifikasi apapun untuk memberikan pengarahan kepada hakim. Tindakan ini bukan hanya tidak relevan, tetapi juga berbahaya karena melemahkan batas tegas antara eksekutif dan yudikatif.
Arahan Presiden kepada para hakim untuk memberikan “back-up” kepada Pemerintah adalah bentuk intervensi langsung yang mencederai prinsip check and balances dan nyata-nyata melanggar prinsip independensi peradilan. Jika benar Pemerintah berkomitmen pada supremasi hukum, maka satu-satunya langkah yang harus diambil adalah memastikan Pemerintah mematuhi hukum yang berlaku dan memastikan tidak ada campur tangan politik. Pertemuan dan pengarahan seperti ini jelas mengindikasikan upaya intervensi terhadap independensi kekuasaan kehakiman dan keinginan eksekutif untuk mengendalikan proses hukum sesuai dengan kepentingannya
Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, peradilan akan kehilangan otoritasnya sebagai institusi yang bebas dan imparsial. Presiden tidak boleh memperlakukan hakim sebagai instrumen eksekutif, dan sebaliknya para hakim tidak boleh membiarkan dirinya menerima atau mengikuti arahan Pemerintah yang justru dapat mencederai prinsip independensi peradilan.
Ancaman Independensi Personal Hakim
Pertemuan ini juga berpotensi mengganggu independensi personal para hakim dalam menjalankan tugas mengadili perkara. Terlebih, saat ini terdapat banyak perkara yang melibatkan Pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), pidana korupsi, perizinan, hingga uji materiil. Hakim memiliki kewajiban untuk bertindak adil dan mandiri sebagaimana ditegaskan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mereka harus terbebas dari hubungan yang tidak patut dengan eksekutif, legislatif, maupun kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandiriannya. Oleh sebab itu, para hakim harus menyadari risiko intervensi yang dapat mengganggu independensi personalnya dalam menegakkan hukum.
Dalam sistem negara hukum, Presiden dan para hakim harus memahami batas-batas peran dan kewenangannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan kekuasaan negara. Presiden harus menahan diri untuk tidak campur tangan dalam urusan yudikatif dengan cara apapun. Sementara hakim harus tegas dalam menjaga independensinya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak hakim yang menganggap pertemuan ini sebagai hal yang normal atau bahkan mendukungnya. Sikap ini mencerminkan lemahnya pemahaman terhadap prinsip independensi peradilan dan menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran di kalangan hakim mengenai pentingnya menjaga jarak dengan kekuasaan eksekutif. Jika para hakim sendiri tidak paham atau bahkan abai terhadap independensinya, maka perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam sistem negara hukum terancam punah.
Pemerintah Harus Fokus pada Bentuk Dukungan yang Sah terhadap Peradilan
Dalam pemahaman yang utuh tentang independensi peradilan, negara tetap harus berperan mendukung fungsi dan tugas pengadilan. Dukungan terhadap independensi peradilan diwujudkan dalam bentuk kebijakan untuk menjamin peningkatan kesejahteraan hakim dan operasional pengadilan yang memadai. Dukungan ini bukanlah hadiah atau janji politik, melainkan kewajiban negara untuk memastikan pengadilan dapat berfungsi secara independen dan efektif dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu, komitmen Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan hakim harus tetap dijalankan tanpa syarat atau kepentingan tertentu dari pemerintah.
Memandang hal-hal di atas, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menuntut:
- Pemerintah menghentikan segala bentuk intervensi terhadap independensi peradilan, baik melalui arahan atau pun tekanan lainnya;
- Pemerintah segera merealisasikan kewajibannya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim;
- Mahkamah Agung untuk menjaga martabat dan independensi kelembagaannya dengan tidak menundukkan diri pada tekanan dari cabang kekuasaan lainnya;
- Para hakim untuk menjaga dan mempertahankan independensi personalnya dengan mengadili perkara secara independen, bebas, dan imparsial, termasuk dalam perkara-perkara yang melibatkan kepentingan Pemerintah.
Jakarta, 21 Februari 2025
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Narahubung:
Muhamad Dwieka Fitrian Indrawan – Peneliti LeIP (0852-9136-0001)
Shevierra Danmadiyah – Peneliti LeIP (0812-3632-5338)
Johanna G. S. D. Poerba – Peneliti LeIP (0851-5689-8912)