KUHP Belanda dan KUHP Indonesia
Wetboek van Straftrecht (WvS) atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sampai sekarang belum memiliki terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia sejak ditetapkan berlaku oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. KUHP atau WvS yang berlaku saat ini masih dalam bahasa aslinya yakni bahasa Belanda dan hanya memiliki terjemahan tidak resmi dari para pakar hukum pidana seperti Moeljatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Dalam setiap terjemahan masing-masing ahli tersebut sangat mungkin menggunakan redaksi yang tidak seragam sehingga dalam praktiknya menimbulkan pemahaman hingga penerapan yang berbeda-beda. Hal ini kemudian menjadikan pasal-pasal pidana dengan mudahnya dapat digunakan untuk menuntut seseorang, hingga akhirnya berakibat pada penerapan hukum pidana secara berlebihan khususnya dalam membatasi hak-hak kebebasan sipil.
Tindak pidana makar atau yang dalam bahasa Belanda disebut aanslag misalnya, dalam berbagai penerjemahan KUHP ternyata dimaknai jauh dari pemahaman kata aanslag yang berarti onslaught violent attack, fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat (vigorious).
Kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari ICJR, YLBHI, dan LBH Masyarakat sempat mempertanyakan pemberlakukan KUHP yang tidak memiliki terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia tersebut dengan menggugat Presiden dan Kementerian Hukum dan HAM ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2018.[1] Landasan gugatan pada intinya bertumpu pada argumen bahwa berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, setiap peraturan perundang-undangan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Gugatan ini seharusnya dijadikan momentum untuk segera mengatasi masalah ketidakpastian hukum yang timbul dari penerapan KUHP yang tidak memiliki terjemahan tunggal tersebut. Namun sayangnya, gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima karena dianggap masuk dalam ranah tata usaha negara.
Dengan tertutupnya peluang diterjemahkannya KUHP dalam bahasa Indonesia secara resmi, saat ini upaya yang paling mungkin dilakukan untuk dapat mengembalikan pemaknaan pasal-pasal KUHP sesuai aslinya adalah dengan merujuk pada penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) atau Risalah Pembahasan yang ditulis ketika KUHP Belanda (WvS) dan KUHP Indonesia (WvS NI) disusun. Upaya penerjemahan MvT ini dilakukan oleh ICJR dan LeIP pada 2020 dengan melibatkan para akademisi pakar hukum pidana seperti Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., LL.M. sebagai penulis terjemahan, Arsil (sebagai penyunting penyelia/chief editor), Dr. Widati Wulandari, S.H., M.Crim., Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc., dan Dr. Nella Sumika Putri, S.H., M.H. sebagai tim penyunting.
Oleh karena cakupan MvT yang begitu luas, maka penerjemahan dilakukan terhadap beberapa bagian MvT dengan isu-isu terpilih. Pemilihan isu ini salah satunya mempertimbangkan bahwa ketentuan dalam KUHP tersebut contohnya delik penghinaan juga menjadi rujukan dalam penerapan pasal-pasal pidana lainnya seperti yang tercantum dalam UU ITE. Isu-isu terkait kesusilaan seperti zina, pencabulan, persetubuhan dengan anak, dan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kesusilaan (atau kehormatan) lainnya dalam KUHP yang kerap diperdebatkan untuk dikriminalisasi juga dianggap penting untuk masuk dalam penerjemahan MvT.
Selain mengenai tindak pidana penghinaan, makar, kesusilaan sebagaimana disebut di atas, salah satu isu dalam MvT yang dirasa juga penting untuk diterjemahkan dan dianalisis adalah ketentuan-ketentuan terkait tindak pidana korupsi. Dalam KUHP terdapat beberapa pasal terkait tipikor yang kemudian diadopsi secara langsung ke dalam undang-undang khusus yang mengaturnya yakni, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Untuk itu, isu mengenai korupsi ini juga menjadi relevan untuk ditetapkan sebagai isu pilihan untuk melihat bagaimana pengaturan awalnya yang tercermin dari penjelasan MvT sehingga nantinya juga dapat dijadikan rujukan baik bagi hakim maupun penegak hukum lainnya ketika menerapkan pasal-pasal UU Tipikor.
Indonesia saat ini juga dalam upaya untuk melakukan pembaruan hukum pidana melalui pengesahan Rancangan KUHP (RKUHP). RKUHP direncanakan oleh Pemerintah akan disahkan dalam waktu dekat yakni pada akhir 2021 setelah dibahas dan mendapat persetujuan DPR untuk menggantikan KUHP yang berlaku saat ini. Meskipun demikian, diskursus mengenai perdebatan penyusunan pasal-pasal pidana yang tertuang dalam MvT KUHP Belanda dan KUHP Indonesia dipandang masih relevan. Argumentasi tim perumus pasal pidana dalam MvT tersebut dapat dirujuk dan dipertimbangkan dalam agenda pembahasan RKUHP yang pada dasarnya masih mengatur hal-hal (tindak pidana/kejahatan) yang sama. Dengan menggali alasan/argumentasi asal mula pengaturan hukum pidana juga dapat menjawab persoalan apakah suatu pasal pidana tertentu kemudian masih tetap dapat dipertahankan atau bagaimana seharusnya penyesuaian arah pengaturan tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi masyarakat hari ini.
Dalam konteks pembangunan hukum, agenda pembahasan RKUHP tentu juga menjadi fokus advokat sebagai salah satu pihak yang akan menerapkan hukum. Berbagai kegiatan diskusi publik sepanjang 2021 dilaksanakan secara spesifik untuk membahas pasal-pasal yang akan berdampak pada profesi advokat. Salah satu poin perdebatan yang muncul yakni terkait adanya ancaman kriminalisasi terhadap advokat karena menjalankan profesinya (Pasal 282 RKUHP). Kritik dari kalangan advokat tersebut kemudian ditanggapi dan mendapat dukungan dari tim penyusun RKUHP yang juga sepakat untuk melakukan revisi terhadap ketentuan pasal yang dianggap bermasalah.[2]
Kontribusi advokat oleh karenanya dapat terlihat cukup signifikan dalam proses perumusan RKUHP. Hal ini perlu dijadikan peluang untuk meningkatkan kapasitas advokat agar lebih mumpuni dalam berkontribusi terhadap proses pengembangan hukum pidana maupun penerapannya ke depan. Salah satu cara yang perlu didorong adalah dengan memberikan pemahaman atas pentingnya penggunaan risalah pembahasan (MvT) WvS (KUHP Belanda) dan WvS NI (KUHP Indonesia). Dalam konteks tersebut, setidaknya terdapat tiga manfaat yang akan diperoleh oleh advokat:
Pertama, Meningkatkan kapasitas advokat dalam menyusun pembelaan dan memperkuat akses terhadap keadilan. MvT KUHP Belanda dan KUHP Indonesia membahas argumentasi/perdebatan tim perumus ketika menyusun pasal-pasal pidana seperti penghinaan, ujaran kebencian, makar dan penghinaan terhadap penguasa/badan umum. Hal ini menjadi relevan dengan kondisi Indonesia saat ini dimana pasal-pasal tersebut marak digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan pendapat. Advokat perlu mengetahui konteks pembentukan pasal-pasal pidana tersebut untuk menyusun argumentasi hukum dalam pembelaan agar kliennya yang terjerat dengan pasal-pasal tersebut tidak dijatuhi pidana. Dengan demikian akses terhadap keadilan bagi tersangka/terdakwa dapat terjamin.
Kedua, Menjadi bahan/sumber penyusunan modul untuk kegiatan CLE (Continuing Legal Education/CLE) bagi advokat. Salah satu isu penting yang diangkat dalam kegiatan CLE yakni mengenai penanganan dan pencegahan penyiksaan yang rentan dialami oleh klien advokat. MvT KUHP Belanda dan KUHP Indonesia juga membahas beberapa isu kejahatan jabatan salah satunya mengenai penyalahgunaan wewenang dan penyiksaan yang juga relevan sebagai bahan referensi untuk penyusunan modul CLE. Pengembangan modul CLE khususnya mengenai penyiksaan ke depan oleh karenanya juga dapat merujuk pada MvT KUHP Belanda dan KUHP Indonesia.
Ketiga, Meningkatkan kapasitas advokat dalam menyusun rekomendasi/masukan terhadap RUU. Dengan memiliki pengetahuan tentang pentingnya penggunaan MvT, advokat juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah untuk mendorong adanya sistematisasi penyusunan RUU dan pasal-pasalnya. Kewajiban untuk merujuk pada risalah pembahasan RUU (MvT) perlu menjadi bagian dalam proses sistematisasi tersebut.
[1] https://icjr.or.id/belum-juga-menetapkan-terjemahan-resmi-kuhpwetboek-van-strafrecht-wvs-ylbhi-icjr-dan-lbh-masyarakat-somasi-presiden-ri-karena-tidak-melaksanakan-perintah-uu-no-24-tahun-2009-tentang-bendera-bah/, diakses pada 9 Juni 2020.
[2] https://hukum.rmol.id/read/2021/08/19/501091/ruu-kuhp-terkait-advokat-berpotensi-besar-direvisi