Nur Syarifah[1]
Runtuhnya kepemimpinan Soeharto di tahun 1998 telah menuntut adanya Pemerintah yang terbuka, dalam artian memberi ruang partisipasi yang lebih luas dalam pengambilan keputusan publik. Hal ini disebabkan pemerintahan orde baru sangat membatasi keterlibatan publik dan transparansi menjadi hal yang tabu. Akibatnya, penyelenggaraan negara jauh dari akuntabel. Pengambilan keputusan diambil secara diam-diam tanpa melibatkan pihak luar meski dampaknya berlaku terhadap publik.
Berkaca pada kondisi tersebut, pada era reformasi isu keterbukaan dan partisipasi publik menjadi salah satu isu dominan yang mewarnai proses advokasi pembaruan di berbagai sektor, termasuk hukum. Proses advokasi tersebut dilakukan melalui pendekatan kolaborasi antara publik dengan penyelenggara negara. Secara alamiah, pola advokasi tersebut terdiferensiasi menjadi dua pola.[2] Pola pertama yaitu dengan meneruskan skema face to face dan pemanfaatan media untuk public pressure. Pola kedua adalah dengan memasuki ruang-ruang advisory, dan tak jarang technical assistant kepada penyelenggara negara, di mana masyarakat sipil mulai memasuki kerja-kerja teknokratik untuk bersama dengan penyelenggara negara melaksanakan program-program pembaruan.
Sebagai salah satu institusi penegak hukum, Kejaksaan tak luput dari target pembaruan peradilan. Target tersebut diwujudkan dengan dorongan untuk melibatkan pihak eksternal dalam program pembaruan dengan menggunakan pola pendekatan yang kedua sebagaimana disebutkan di atas. Titik pertama masuknya pihak eksternal dalam proses pembaruan di Kejaksaan sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 2000, yaitu ketika Kejaksaan melalui Biro Perencanaan Kejaksaan Agung bersama dengan Komisi Hukum Nasional -kini telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 176 tentang Pembubaran 10 Lembaga Non Struktural- dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia – sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis kampus yang fokus pada pembaruan hukum dam pemantauan proses peradilan – melakukan studi tentang Standar Minimum Profesi Jaksa (SMPJ).
Keterlibatan ini dapat dikatakan sebagai suatu capaian yang progresif baik bagi Kejaksaan maupun publik pada saat itu, mengingat dengan karakter semi militeristik yang melekat padanya -antara lain terlihat dengan pemberlakuan sistem Rencana Tuntutan (Rentut) serta jenjang dan tanda pangkat untuk Jaksa- Kejaksaan dinilai tertutup dan sulit dijangkau pihak luar (publik).
Pasca program penyusunan SMPJ tersebut keterlibatan publik dalam program pembaruan Kejaksaan semakin intensif, terutama sejak tahun 2004, yaitu sejak dibentuknya Tim Pembaruan Kejaksaan oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Tim ini dikoordinir oleh Wakil Jaksa Agung dengan beranggotakan pejabat Kejaksaan dan tenaga ahli Kejaksaan dengan tugas: merumuskan program prioritas pembaruan Kejaksaan; menyusun rencana pelaksanaan program secara detil, termasuk penentuan target dan indikator keberhasilan; menggalang dukungan pihak-pihak terkait, termasuk dukungan pendanaan serta melibatkan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan program pembaruan, termasuk para ahli, akademisi, dan masyarakat, dst; mengarahkan pelaksanaan program pembaruan Kejaksaan; serta memantau dan menilai perkembangan pelaksanaan program pembaruan Kejaksaan.
Program pembaruan Kejaksaan yang diluncurkan tepat pada Hari Bakti Adhyaksa ke-45 pada tanggal 22 Juli 2005 tersebut difokuskan pada 5 (lima) aspek, yaitu: organisasi dan tata kerja; sumber daya manusia (SDM); manajemen umum; manajemen perkara; dan sistem pengawasan. Kelima aspek tersebut kemudian diturunkan menjadi 15 (lima belas) program pembaruan yang dapat dilaksanakan oleh Kejaksaan secara independen/tidak bergantung dengan lembaga lainnya). [3] Untuk merealisasikan kelima belas program tersebut Jaksa Agung kemudian membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang bertugas menyusun Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang terkait dengan bidang-bidang program pembaruan[4] dengan keanggotaan yang terdiri dari pejabat Kejaksaan, perwakilan masyarakat, dan akademisi.
Di tahun 2008, seiring dengan program Reformasi Birokrasi (RB) yang digulirkan Pemerintah, Kejaksaan menjadi institusi yang menjadi prioritas program RB selanjutnya setelah Mahkamah Agung, Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, program pembaruan Kejaksaan kemudian lebih difokuskan pada implementasi Program RB sebagai kegiatan pembaruan yang lebih menyeluruh. Program tersebut dilaksanakan melalui beberapa tahapan,[5] di mana dalam setiap tahapan tersebut keberadaan perwakilan masyarakat sebagai wujud partisipasi publik diakomodir dengan merekrut individu maupun organisasi yang mempunyai kemampuan dan ketertarikan di bidang hukum dan pembaruan peradilan untuk memberikan asistensi teknis kepada Kejaksaan dalam melaksanakan program-program pembaruan.
Dengan kata lain, proses advokasi program pembaruan Kejaksaan juga mengadopsi pendekatan kolaborasi dalam pola yang kedua sebagaimana telah disebutkan di atas Selain MaPPI, beberapa perwakilan masyarakat yang pernah terlibat tersebut antara lain individu-individu di luar Kejaksaan yang masuk dalam Pokja Pembaruan atau Tim Asistensi Pembaruan dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Dari sisi masyarakat sipil, program pembaruan Kejaksaan merupakan momentum untuk terlibatnya publik dalam memantau kerja-kerja Kejaksaan, khususnya kerja-kerja pembaruan. Masuknya perwakilan masyarakat sipil dalam program pembaruan tak lain bertujuan untuk membuka ruang partisipasi publik dalam kerja-kerja pemerintahan, sekaligus sebagai katalisator dan “pengawas” jalannya pemerintahan. Peran ini menimbulkan tantangan tersendiri, khususnya terkait dengan persyaratan mendasar yang hendaknya dimiliki oleh perwakilan masyarakat sipil tersebut: pertama, keahlian dan/atau kompetensi.
Program pembaruan Kejaksaan bertujuan untuk menyederhanakan dan mengefektifkan birokrasi Kejaksaan. Program ini tidak hanya mencakup pembaruan business process Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, namun juga mencakup pembaruan organisasi Kejaksaan secara keseluruhan, pembaruan manajemen SDM pelaksananya, dan pengelolaan perubahan dalam organisasi yang sedang mengalami pembaruan kultur dan pola pikir. Karena itu, program pembaruan Kejaksaan tidak hanya membutuhkan orang-orang yang memahami business process Kejaksaan dari hulu ke hilir, di mana peran ini secara umum merupakan porsinya internal Kejaksaan, namun juga pihak eksternal, yakni praktisi manajemen, khususnya manajemen perubahan; manajemen organisasi; manajemen SDM; manajemen informasi, dst agar pembaruan berjalan lancar dan menyeluruh. Kepada para praktisi inilah ide-ide pembaruan diharapkan dapat muncul mewarnai proses pembaruan, dan untuk itu inovasi, ketajaman dalam melihat akar masalah dan ketepatan dalam merumuskan rekomendasi sangat dibutuhkan.
Sebab, kesalahan dalam mendiagnosa akar masalah akan berakibat pada kesalahan dalam merumuskan rekomendasi, sehingga permasalahan yang sama akan terus terjadi dan bahkan menimbulkan peluang terjadinya permasalahan baru. Kedua, kemampuan dan pengalaman dalam bidang advokasi kebijakan. Sebagaimana telah disinggung di atas, keterlibatan perwakilan masyarakat sipil dalam program pembaruan Kejaksaan berperan dalam memberikan asistensi teknis kepada Kejaksaan. Peran ini menuntut adanya kemampuan dan pengalaman perwakilan masyarakat sipil tersebut dalam bidang advokasi kebijakan.
Hal ini mengingat tataran keterlibatan perwakilan masyarakat sipil dalam proses pembaruan berada dalam posisi dan level yang strategis, yakni bekerja dan berhubungan langsung dengan pihak pengambil kebijakan di internal Kejaksaan. Karena itu, bentuk pendekatan advokasi yang dilakukan akan sangat berbeda dengan ketika melakukan pendekatan advokasi kepada pelaksana putusan atau bahkan publik/masyarakat awam. Ketiga, independensi. Di tengah posisinya yang strategis, perwakilan masyarakat sipil dituntut untuk tetap independen/tidak dapat dipengaruhi oleh unsur manapun. Hal ini bertujuan agar ia dapat tetap kritis dan objektif dalam melihat pembaruan Kejaksaan secara menyeluruh.
Dari sisi Kejaksaan, program pembaruan juga menimbulkan tantangan, yakni: pertama, kesediaan menyadari dan mengakui permasalahan-permasalahan yang dihadapi Kejaksaan. Sebab, tanpa kesadaran dan pengakuan pembaruan sulit dilaksanakan, dan secara logika reformasi birokrasi tidak perlu dilaksanakan jika pada dasarnya institusi tersebut sudah baik. Kedua, ketepatan mengalokasikan dukungan lembaga donor. Program pembaruan tidak sepatutnya digantungkan pada dukungan lembaga donor terus-menerus. Kejaksaan harus mempunyai pos anggaran tersendiri yang dialokasikan dengan tepat sejak perencanaan.
Dukungan anggaran yang diberikan oleh lembaga donor sepatutnya dialokasikan pada program-program pembaruan yang tepat, dalam artian bukan program rutin yang berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi utama Kejaksaan. Hal ini bertujuan untuk menguatkan rasa kepemilikan Kejaksaan terhadap program pembaruannya sendiri, serta menjaga wibawa dan independensi institusi Kejaksaan. Ketiga, menguji kemajuan program pembaruan. Setelah sekian tahun pembaruan dilaksanakan Kejaksaan patut menguji efektifitasnya sebagaimana pernah dilakukan untuk pertama kalinya pada tahun 2006 melalui Asessment 1 Tahun Pembaruan Kejaksaan. Pengujian ini untuk memetakan tingkat kemajuan pelaksanaan program pembaruan, efektivitas peran pihak-pihak yang terlibat dalam pembaruan dan merumuskan langkah lanjutan yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan pembaruan.
Keempat, menjaring SDM Kejaksaan yang berkualitas. Pembaruan Kejaksaan sepatutnya juga menjadi momen bagi Kejaksaan untuk menjaring dan memetakan SDM Kejaksaan yang potensial, dalam artian mempunyai kualitas subtansi hukum yang baik, berintegritas dan mempunyai visi pembaruan. Penjaringan ini dapat dilakukan dengan menempatkan SDM tersebut dalam Tim Teknis atau Pokja-Pokja yang dibentuk sebagai pelaksana program pembaruan sekaligus sebagai tempat berkumpulnya calon-calon pemimpin (pool of resources) Kejaksaan yang handal, sehingga program pembaruan dapat lebih efektif dan sekaligus memudahkan Pimpinan Kejaksan dalam menjaring calon-calon pimpinan selanjutnya. Di sisi lain, bagi SDM Kejaksaan sendiri penempatan dalam Tim Teknis atau Pokja akan menjadi kesempatan untuk melatih dan menunjukan kemampuan mereka sebelum pada akhirnya diberi kepercayaan memimpin satuan atau unit kerja tertentu di Kejaksaan.
[1] Kepala Divisi Administrasi Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, anggota Tim Asistensi Pembaruan Kejaksaan Tahun 2008.
[2] Akuntabilitas Sosial dan Civil Society Organization (CSO) di Indonesia. http://kebebasaninformasi.org/2013/12/03/akuntabilitas-sosial-dan-cso-di-indonesia/, diunduh pada 10 Desember 2014.
[3] Lihat lebih lanjut kelima belas program dalam http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi.php?section=4
[4] Perja tersebut dikenal dengan Paket Perja Pembaruan karena memuat unsur-unsur pembaruan, seperti jaminan adanya sistem yang obyektif, transparan dan akuntabel untuk meningkatkan profesionalisme kinerja dan integritas korps Adhyaksa. Paket Perja tersebut terdiri dari: Perja Sistem Rekrutmen Calon Jaksa; Perja Pembinaan Karir; Perja Pendidikan dan Latihan; Perja Kode Perilaku Jaksa; Perja Standar Minimum Profesi Jaksa; dan Perja Penyelenggaraan Pengawasan.
[5] Tahapan tersebut meliputi: penataan organisasi, penataan tata laksana, pemetaan sistem manajemen sumber daya manusia, penguatan unit organisasi, penyusunan peraturan perundang-undangan, pengawasan internal dan manajemen perubahan), lihat lebih lanjut dalam http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi.php?section=7.