Jakarta, 21 Oktober 2021
Lahirnya UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membawa perubahan besar pada institusi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Sebelas tahun pasca diresmikannya gelombang pertama Pengadilan Tipikor di tingkat provinsi sebagai amanat undang-undang tersebut, berbagai fenomena yang menandai terjadinya beberapa permasalahan tampak telah mewujud pada institusi Pengadilan Tipikor. Indikasi permasalahan inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan East-West Center (EWC) mengenai Pengadilan Tipikor yang secara resmi diluncurkan pada hari ini melalui webinar bertajuk “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pasca-2009: Antara Harapan dan Kenyataan”.
Dalam webinar tersebut, Wakil Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK), Alexander Marwata, Ak. S.H., CFE., menyampaikan bahwa KPK memiliki sejumlah ekspektasi terhadap Pengadilan Tipikor yang diharapkan dapat menjadi “role model bagi pengadilan pada umumnya dari aspek administrasi perkara, fasilitas pengadilan yang efisien, transparan dan akuntabel, serta modern yang didukung teknologi informasi”. Lebih lanjut lagi, beliau mengemukakan bagaimana proses penanganan perkara, ketepatan waktu, jaminan keamanan, hingga kualitas dan integritas SDM yang ada pada Pengadilan Tipikor saat ini masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.
Melalui keynote speech-nya, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial, Dr. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H. menyampaikan bahwa “Mahkamah Agung tidak menutup mata adanya berbagai masalah yang perlu disikapi dan mendapat perhatian untuk lebih meningkatakan penyelenggaraan peradilan terhadap perkara korupsi yang berkualitas dan efektif.” Menurutnya, evaluasi terhadap permasalahan Pengadilan Tipikor perlu dilakukan agar dapat dicarikan solusinya, baik dengan memperkuat kapasitas hakim bersertifikasi tipikor, pemberian insentif, hingga berbagai alternatif solusi dalam penelitian ini yang disambut baik oleh Mahkamah Agung.
Desain Awal dan Realita Pengadilan Tipikor
Chandra M. Hamzah, salah satu pelaku sejarah pembentukan Pengadilan Tipikor yang hadir dalam webinar tersebut, menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor dibangun dengan harapan dapat menjadi pengadilan berintegritas tinggi dan berkualitas. Salah satu pengejawantahan akan integritas tersebut dilakukan melalui pengadaan jabatan hakim ad hoc. Ia juga menyatakan bahwa pada awal pembentukannya, Pengadilan Tipikor menjadi salah satu institusi yang sarat akan substansi dan menguji keahlian keilmuan hukum para pihak terlibat di dalamnya. Baginya, tujuan dan desain awal Pengadilan Tipikor saat ini telah bergeser dari apa yang dirancang pada awal pembentukan.
Pengadilan Tipikor saat ini dalam realitanya memang mengalami berbagai kendala. Sebagaimana disampaikan oleh Nani Indrawati, S.H., M.H., Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Pengadilan Tipikor di tingkat pertama seringkali dihadapkan pada beban kerja yang terlalu tinggi, hal ini diperparah dengan tidak diterapkannya ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Pengadilan Tipikor, di mana Hakim Karier dibebaskan dari tugasnya menangani perkara lain selama mengadili perkara tipikor. Ia juga menuturkan terjadinya penurunan standar dalam pelaksanaan proses persidangan maupun dalam manajemen sumber daya manusia.
Persepsi publik juga mempengaruhi penilaian akan kinerja Pengadilan Tipikor secara umum. Kendati demikian, sering kali penilaian tersebut didasarkan semata-mata pada conviction rate di Pengadilan Tipikor. Prof. Simon Butt, Profesor Hukum Indonesia dari University of Sydney, menyatakan bahwa penilaian kinerja Pengadilan Tipikor seharusnya tidaklah didasarkan semata-mata pada conviction rate. Ia berpendapat bahwa idealnya, kinerja Pengadilan Tipikor diukur berdasarkan esensi awal pembentukannya serta berdasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang peradilan yang baik.
Hasil Penelitian LeIP
LeIP menyimpulkan bahwa pengadilan Tipikor belum sepenuhnya mencapai tujuan pembentukannya. Pengadilan ini dibentuk sebagai solusi atas ketidakpercayaan publik dan sebagai upaya mendorong penanganan korupsi yang efektif dan efisien. Namun dalam kenyataannya kepuasan publik terhadap pengadilan tipikor justru menurun. Terdapat beberapa penyebab yang ditemukan oleh LeIP antara lain:
Pertama, belum optimalnya fungsi hakim ad hoc yang seharusnya dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas persidangan. Hakim Ad Hoc yang terpilih pada umumnya adalah sarjana hukum yang belum tentu memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam penyelesaian perkara tipikor yang kompleks. Kedua, ditemukan bahwa hanya 13% atau 126 hakim hakim bersertifikasi tipikor di tingkat pertama yang bersidang di pengadilan tipikor. Sedangkan 87% atau 833 di antaranya justru tidak ditempatkan di pengadilan tipikor. Ini merupakan inefisiensi dalam program sertifikasi hakim. Sementara di sisi lain pada pengadilan-pengadilan di kota besar yang sibuk, terdapat keluhan terhadap ketersediaan jumlah hakim tipikor di tengah-tengah jumlah perkara tipikor yang tinggi. Ketiga, penelitian ini juga menemukan bahwa pengadilan tipikor justru menyebabkan inefisiensi penanganan perkara concursus (perkara gabungan) yang mungkin muncul dalam perkara korupsi, misalnya pada perkara tindak pidana pajak yang menyertai terjadinya suatu korupsi.
Dalam webinar sekaligus peluncuran buku ini, Tim Peneliti menyarankan beberapa rekomendasi yang didasarkan pada peninjauan ulang terhadap kondisi dan desain Pengadilan Tipikor saat ini. Pertama, dengan meninjau ulang kelembagaan dan kewenangan Pengadilan Tipikor, Tim Peneliti merekomendasikan agar pembentukan Pengadilan Tipikor di tingkat kabupaten/kota tidak perlu dikakukan, diadakannya mekanisme yang memungkinkan persidangan perkara tipikor di PN terdekat, serta memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor agar dapat menangani jenis perkara lain yang berhubungan dengan tipikor.
Kedua, Tim Peneliti menyarankan untuk meninjau ulang sistem sertifikasi dan distribusi hakim karier. Dengan meninjau status quo kondisi hakim karier, Tim Peneliti merekomendasikan perlu dilakukannya analisis kebutuhan hakim karier berbasis data yang nantinya harus terus diperbarui secara rutin. Di samping itu perlu pula dilakukan perubahan terhadap mekanisme pemberian SK penempatan hakim karier, mengatur ulang pelaksanaan tugas hakim karier, mempertimbangkan pemberian insentif tambahan, serta menyusun program diklat berkelanjutan bagi hakim karier.
Ketiga, Tim Peneliti memberikan rekomendasi berdasarkan peninjauan ulang terhadap konsep dan praktik hakim ad hoc juga harus dilakukan. Berdasarkan kajian dan tinjauan yang dilakukan, Tim Peneliti merekomendasikan perlunya mendesain ulang pola kerja, rekrutmen, hingga diklat terhadap hakim ad hoc. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan pemetaan beban kerja dan tipologi perkara.
Keempat, Tim Peneliti juga merekomendasikan dilakukannya penguatan terhadap kepaniteraan Pengadilan Tipikor guna menjamin dukungan administrasi yang mumpuni. Penguatan ini dapat dilakukan dengan melakukan penunjukan panitera pengganti khusus Pengadilan Tipikor serta dengan melaksanakan pendidikan dan orientasi khusus panitera pengganti pada Pengadilan Tipikor.
Lebih lanjut, buku “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pasca-2009: Antara Harapan dan Kenyataan” dapat diakses melalui website LeIP di www.leip.or.id. LeIP berharap terbitnya penelitian ini akan menambah perspektif para pemangku kebijakan dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang secara strategis mampu mendorong kinerja serta peran krusial Pengadilan Tipikor dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Narahubung:
Muhammad Tanziel Aziezi (+62 822-6001-5253)
Peneliti LeIP