Pada hari Kamis, 21 Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan No. 78/PUU-XXI/2023 yang salah satunya memutuskan bahwa pasal “berita bohong”, yaitu Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946, bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini merupakan putusan judicial review yang diajukan oleh penggiat HAM, Fatia Maulidiyanty dan Haris Azhar, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen yang diwakili oleh Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang berisi sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil dan individu penggiat HAM. Permohonan ini sendiri dilatarbelakangi adanya upaya kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris yang sempat mempublikasikan dan mendiskusikan perusahaan-perusahaan tambang yang dianggap “bermain” dalam isu konflik di Papua, yang mengakibatkan Luhut Binsar Panjaitan (sebagai pejabat yang namanya turut disebut) merasa dirugikan dan melaporkan keduanya ke Kepolisian, hingga pada akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutus Fatia dan Haris tidak bersalah.
Putusan ini langsung mendapatkan respon positif dari para aktivis di bidang HAM, khususnya yang berfokus pada isu-isu hak atas kebebasan berekspresi, mengingat pasal-pasal tersebut telah digunakan untuk memproses hukum ekspresi warga sipil yang sah menurut standar HAM. Hal ini tidak terlepas dari pertimbangan hukum MK yang merujuk secara spesifik berbagai ketentuan pembatasan HAM dalam instrumen-instrumen HAM, seperti Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Komentar Umum No. 29 Komite HAM PBB, dan Prinsip Johannesburg, sebagai dasar untuk menghapuskan pasal-pasal “berita bohong” tersebut. MK kemudian juga menjelaskan bahwa unsur esensial “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang berkelebihan” dalam pasal-pasal tersebut telah menimbulkan ambiguitas karena sulitnya menentukan ukuran dan parameter akan kebenaran serta tergantung penilaian subjek hukum yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap Warga Negara.
Secara umum, LeIP mengapresiasi lahirnya Putusan MK No. 78/PUU-XX1/2023 karena telah sejalan dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya terkait pertimbangan MK mengenai ambiguitas dari pasal-pasal “berita bohong”. Perlu diketahui bahwa aturan-aturan hukum pidana umumnya bersifat membatasi kebebasan individu yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan HAM, sehingga pengaturan dan penerapan pasal-pasal pidana harus merujuk pada aturan-aturan pembatasan HAM yang sah [Piet Hein van Kempen, “Introduction – Criminal Law and Human Rights”, dalam Criminal Law and Human Rights, The International Library of Essays on Criminal Law, hal. 14-15]. Dalam rezim HAM, salah satu syarat pembatasan HAM yang sah adalah adanya pengaturan dalam hukum nasional (prescribed by law) dimana Prinsip Johannesburg (yang dirujuk oleh MK dalam putusan ini) pada intinya mengatur bahwa syarat tersebut terpenuhi apabila hukum yang diatur harus dapat diakses, tidak ambigu, dirumuskan secara ketat dan presisi, sehingga memungkinkan individu untuk memperkirakan apakah suatu tindakan tertentu melanggar hukum [Prinsip Johannesburg 1.1 huruf a].
Mengacu pada hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap hukum nasional, termasuk aturan hukum pidana, yang dirumuskan secara ambigu dan tidak presisi tidak boleh dijadikan dasar untuk membatasi HAM dan merupakan bentuk pembatasan HAM yang tidak sah. Oleh karena itu, pasal-pasal “berita bohong” tersebut memang sudah sepatutnya untuk dihapus, sebagaimana yang sudah diputuskan dengan baik oleh MK. LeIP berpandangan bahwa putusan ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai standar minimum bagi MK dalam memutus perkara-perkara lainnya, sehingga MK dapat semakin banyak menghasilkan putusan-putusan berkualitas yang mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM dengan maksimal.
Namun demikian, putusan baik ini masih berpotensi menyisakan masalah dan membuat harapan atas penghapusan pasal-pasal “berita bohong” yang bertentangan dengan HAM berpeluang untuk tidak tercapai. Hal ini tidak terlepas dari masih berlakunya Pasal 263 ayat (1) dan (2) serta Pasal 264 KUHP baru yang mengatur substansi yang sama dengan pasal-pasal “berita bohong” dalam UU No. 1 Tahun 1946 yang sudah dihapus oleh MK melalui putusan ini. Belum lagi, masih adanya kecenderungan aparat penegak hukum tidak patuh terhadap putusan MK, meskipun undang-undang sudah mengatur bahwa putusan MK bersifat final. Akibatnya pasal-pasal yang sudah dicabut tersebut juga masih berpotensi untuk digunakan, baik untuk kasus-kasus baru, maupun pada kasus yang sedang berjalan. Padahal, khususnya dalam kasus pidana yang mulai diperiksa sebelum adanya putusan MK ini dan saat ini masih berjalan, pasal-pasal yang sudah dicabut oleh MK tersebut seharusnya tidak dapat digunakan lagi dengan mengacu pada prinsip penggunaan aturan hukum yang lebih menguntungkan apabila terdapat perubahan hukum selama proses peradilan, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Berdasarkan jabaran-jabaran tersebut, maka LeIP mendorong:
- Pemerintah dan DPR untuk menyeleraskan Pasal 263 ayat (1) dan (2) serta Pasal 264 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang masih mengatur norma serupa dengan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946, dengan Putusan MK No. 78/PUU-XX1/2023 ini;
- Aparat Penegak Hukum untuk memperhatikan Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 dan tidak menggunakan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 dalam kasus-kasus baru setelah putusan MK ini lahir;
- Aparat Penegak Hukum untuk memperhatikan Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 dan menerapkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP pada kasus-kasus Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 yang saat ini masih berjalan;
Jum’at, 22 Maret 2024
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Narahubung:
Muhamad Dwieka Fitrian Indrawan (muhamaddwieka@leip.or.id ,085291360001)
Muhammad Tanziel Aziezi (tanziel.aziezi@leip.or.id ,082260015253)