Pemerintahan Orde Baru (Orba) selama 32 (tiga puluh dua) tahun ditandai dengan berbagai dokumen di awal reformasi. Salah satunya adalah TAP X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. TAP MPR tersebut memotret kondisi hukum pada saat itu.
“Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat”
“Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.”
Di awal reformasi civil society organizations (organisasi masyarakat sipil/OMS) menyusun strategi bersama tentang reformasi peradilan. Saat ini telah 21 (dua puluh satu) tahun reformasi berjalan dan sudah saatnya melihat kembali strategi yang pernah disusun atau setidaknya dijalankan untuk advokasi hukum dan peradilan.
Bertempat di Michael Resort, Kawasan Wisata Gunung Salak Endah, Bogor, pada 15-17 Mei 2019, dihadiri oleh 28 (dua puluh delapan) peserta dari 15 (lima belas) lembaga yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta (LBH Apik Jakarta), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Center for Detention Studies (CDS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) melakukan refleksi bersama dan menyusun sebuah rencana strategis untuk reformasi peradilan.
Kegiatan ini didukung oleh AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice), The Asia Foundation (TAF), dan United States Agency for International Development (USAID) berjalan dengan visi terwujudnya sistem peradilan yang transparan dan akuntabel, mampu memberikan keadilan, kepastian hukum serta menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.