Pilihan Panitia Kerja RUU Komisi Yudisial untuk memberikan kewenangan penyadapan kepada Komisi Yudisial adalah berlebihan. DPR melupakan khitah KY sebagai lembaga pengawas eksternal yang hanya berwenang menegakkan kode etik & kode perilaku Hakim dan bukan menegakkan hukum pidana sehingga tidak seharusnya diberikan kewenangan melakukan upaya paksa dalam hal ini penyadapan. Tidak tepat kiranya, apabila “wewenang lain” dalam Pasal 24B UUD 1945 diterjemahkan sebagai kewenangan melakukan penegakan hukum pidana.
Berdasarkan pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa KY memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, serta perilaku hakim. Artinya KY bukan penyidik tindak pidana. Usulan kewenangan penyadapan dengan argumentasi untuk mengungkap kasus pelanggaran kode etik hakim antara lain suap, pemerasan, tindakan modus mafia peradilan lainnya adalah tidak tepat. Seharusnya, ketika KY menemukan indikasi tindak pidana seharusnya KY segera merujuk laporan tersebut kepada Kepolisian, Kejaksaan atau KPK sebagai lembaga yang berwenang. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan sistem penegakan hukum dan bahkan dapat menimbulkan potensi negatif di masa depan dimana tindak pidana yang dilakukan pejabat pengadilan ditarik dan diselesaikan di ranah etik.
Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, maka seluruh kegiatan penyadapan pada dasarnya adalah dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara, yakni hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana diberikan oleh Pasal 28F UUD 1945. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan pengeledahan.