Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memandatkan tugas hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara.[2] Dalam melaksanakan tugas tersebut, baik lembaga peradilan maupun hakim dibekali jaminan kemandirian atau independensi yang berlaku universal, yaitu independensi kekuasaan kehakiman.[3] Independensi ini tidak menjadikan lembaga peradilan dan hakim bebas dari evaluasi atau penilaian terhadap kinerjanya. Sebab, lembaga peradilan adalah badan publik dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berperan penting dalam perlindungan dan penegakan hukum.[4] Posisi tersebut menuntut pertanggungjawaban yang lebih luas kepada publik, termasuk dari segi kinerjanya, dan hal ini tidaklah dapat dianggap sebagai sesuatu yang mengancam independensi kekuasaan kehakiman, sepanjang pelaksanannya tidak mengganggu kerja hakim dalam memutus perkara dan tidak menyinggung subtansi perkara.
Dalam konteks Indonesia, penilaian kinerja hakim bukanlah hal yang baru. Sejak awal berdirinya lembaga peradilan Indonesia sistem penilaian kinerja hakim telah dilakukan dengan berbagai metode dan instrumen, antara lain:
- Penilaian kinerja dengan melihat pada produktivitas penanganan perkara;
Metode ini telah diterapkan sejak tahun 1950-an.[5] Metode ini digunakan untuk melihat kinerja hakim secara kuantitas, yaitu dengan membandingkan jumlah perkara masuk dan diputus setiap tahunnya. Metode ini cenderung obyektif, karena mudah diukur dan data yang digunakan untuk mengukurnya tersedia secara konsisten.[6] Meski demikian, metode ini tidak dapat menggambarkan kinerja individu hakim secara utuh karena penyelesaian perkara umumnya, kecuali dalam perkara tertentu, dilakukan dalam bentuk Majelis, sehingga putusan yang dihasilkan pada dasarnya merupakan hasil kerja bersama (Majelis), dan bukan individu.
- Penilaian kinerja dengan melihat pada kualitas putusan;
Metode ini juga telah diterapkan sejak 1950-an[7] dalam bentuk eksaminasi (penilaian kritis atas putusan). Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1996, eksaminasi dilakukan terhadap 3 putusan perdata dan 3 putusan pidana terbaru. Perkara yang dipilih pun harus memenuhi 2 kriteria, yaitu (1) menarik perhatian publik; (2) diajukan banding. Metode penilaian kinerja dengan melihat pada kualitas putusan pada dasarnya bertujuan untuk memetakan kompetensi hakim dalam memutus perkara dan bermuara pada bentuk peningkatan kualitas/kompetensi yang perlu diberikan terhadap hakim yang bersangkutan sebagai bagian dari pembinaan SDM Hakim.
Meski sangat penting, pelaksanaan penilaian dengan metode ini belum sepenuhnya sempurna, utamanya karena kriteria putusan yang diatur dalam SEMA tidak tepat. Pertama, SEMA tidak mengatur lebih lanjut kriteria menarik perhatian publik sehingga penilaiannya menjadi sangat subyektif. Kedua, pengajuan banding memang mengindikasikan adanya ketidakpuasan para pihak terhadap putusan yang umumnya didukung dengan kemampuan para pihak untuk membayar biaya upaya hukum (perkara perdata) dan/atau advokat serta inkonsistensi putusan pengadilan tingkat atas.
Namun hal ini tidak serta mencerminkan bahwa terhadap putusan yang tidak diajukan banding dapat dianggap telah mewakili kepuasan para pihak. Sebab pada kenyataannya tidak diajukan upaya banding juga dapat terjadi karena para pihak tidak mempunyai kemampuan finansial, buta hukum, dst. Artinya, kriteria diajukan upaya banding bukanlah kriteria yang obyektif untuk menentukan suatu putusan layak dieksaminasi.
- Penilaian kinerja melalui instrumen Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
Penilaian kinerja hakim secara individual dilakukan melalui instrumen DP3. Instrumen ini berlaku di masa hakim masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penilaian melalui instrumen ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1979. PP tersebut mengatur bahwa penilaian DP3 diberikan oleh atasan langsung satu kali setahun dan menjadi bahan dalam mempertimbangkan kenaikan pangkat, penempatan dalam jabatan, pemindahan, kenaikan gaji berkala, dll.
Tidak ada panduan untuk mengkualifikasi penilaian atasan langsung, namun terhadap PNS yang keberatan terhadap hasil penilaian atasan langsung dapat mengajukan keberatan sebelum diberi penilaian akhir oleh atasan pejabat penilai. Beberapa aspek yang dinilai dalam instrumen tersebut adalah: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Aspek-aspek tersebut sesungguhnya tidak tepat jika diterapkan terhadap hakim, karena pelaksanaan kekuasaan kehakiman tidak dapat disamakan dengan pekerjaan administratif yang dilakukan oleh Pemerintah.
- Penilaian kinerja melalui instrumen formulir pengawasan dan evaluasi pengawasan;
Formulir pengawasan dan evaluasi pengawasan (EVA.1 dan WAS.1) merupakan instrumen evaluasi kinerja yang paling komprehensif yang pernah dimiliki Mahkamah Agung (MA).[8] Instrumen tersebut diatur dalam Surat Keputusan Ketua MA No. KMA/005/SK/III/1994 dan No. KMA/006/SK/III/1994 sebagai alternatif solusi untuk memperoleh data evaluasi kinerja.[9] Evaluasi hasil pengawasan dilakukan secara bertingkat oleh Ketua Pengadilan pada tingkat pertama dan banding,[10] atau Ketua MA[11] pada tingkat MA. Formulir WAS.1 merupakan formulir dasar yang dipakai untuk mengevaluasi kinerja hakim secara individu dengan aspek penilaian yang terdiri dari: teknis peradilan, administrasi peradilan, tingkah laku dan perbuatan hakim di dalam kedinasan dan di luar kedinasan.
Uraian di atas menunjukan bahwa sistem penilaian kinerja hakim yang pernah diaplikasikan di Indonesia masih jauh dari sempurna. Sistem tersebut mengandung sejumlah kelemahan, utamanya pada metode dan instrumen yang dipilih tidak sesuai dengan karakter pekerjaan dan jabatan hakim, di samping ketiadaan parameter yang obyektif dan monitoring yang tidak konsisten sehingga minim akuntabilitas. Beranjak dari itu, tantangan terbesar dalam merumuskan sistem penilaian kinerja hakim adalah merumuskan sistem penilaian kinerja hakim yang sesuai dengan karakter hakim baik dari segi pekerjaan maupun jabatannya. Karakter tersebut adalah sebagai berikut:
- Hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman;
- Dalam melaksanakan tugasnya hakim diberi jaminan independensi kekuasaan kehakiman;
- Tinggi rendahnya beban kerja hakim, yaitu jumlah perkara yang masuk ke pengadilan, banyak dipengaruhi faktor eksternal, antara lain: tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, efektivitas lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di luar pengadilan, tugas dan wewenang tambahan yang diberikan oleh UU kepada pengadilan, situasi ekonomi dan politik, dst.
- Kecepatan dalam melaksanaan pekerjaan, yaitu penyelesaian perkara, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal seperti kelengkapan Majelis, kesediaan ruang sidang, dst, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain: bobot perkara, kehadiran para pihak dalam sidang, kondisi keamanan, dst.
- Keluaran yang dihasilkan (output), yaitu putusan Pengadilan, berdampak signifikan pada penegakan hukum, keadilan dan kepastian hukum.
- Penilaian kualitas terhadap keluaran pada dasarnya hanya dapat dilakukan secara terbatas, yaitu melalui mekanisme upaya hukum dan tidak boleh mengganggu independensi kekuasaan kehakiman.
- Cenderung bekerja secara kolegial bersama dengan hakim-hakim lainnya di dalam Majelis, kecuali dalam perkara tertentu seperti praperadilan, permohonan adopsi, dll.
- Berkualitas tidaknya putusan tidak dapat disandarkan pada ada tidaknya pengajuan upaya hukum dari para pihak.
Karakter tersebut menjadi pijakan dalam merumuskan sistem penilaian kinerja hakim. Perumusan tersebut dapat merujuk pada metode dan instrumen yang dipakai untuk mengukur kinerja peradilan dalam tataran internasional, antara lain Global Measures of Court Performance[12] dan High Performance Court (HPC).[13] Meski demikian, perlu diingat bahwa kedua metode tersebut difokuskan pada penilaian lembaga peradilan, dan bukan pada individu hakim. Oleh sebab itu, tidak seluruh aspeknya tepat untuk diterapkan dalam menilai kinerja hakim secara individu.
Merujuk pada berbagai kondisi dan acuan sebagaimana telah dijabarkan di atas, rumusan penilaian kinerja hakim yang hendak diusulkan dalam RUU Jabatan Hakim adalah sebagai berikut:
- Penilaian kinerja hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pemegang kewenangan tertinggi administrasi dan organisasi peradilan;
- Penilaian kinerja hakim tidak boleh melanggar asas kemerdekaan/independensi hakim;[14]
- Penilaian kinerja hakim dilakukan melalui instrumen khusus yang disusun dengan memperhatikan karakter pekerjaan dan jabatan hakim;
- Penilaian kinerja hakim dilakukan dengan menggunakan parameter yang obyektif dan terukur;
- Penilaian kinerja hakim dilakukan secara berkala, setidaknya satu hingga dua tahun sekali;
- Aspek penilaian kinerja hakim meliputi:
- Administrasi dan teknis peradilan, meliputi:
- manajemen perkara;
- penguasaan hukum formil;
- penguasaan hukum materiil;
- tenggang waktu penyelesaian perkara sesuai dengan bobot perkara;
- produktivitas penanganan perkara.
- Eksaminasi putusan, meliputi:
- Kesesuaian hukum formil dan materil;
- Argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum;
- Penafsiran hukum dalam pertimbangan hukum;
- Penemuan atau perkembangan hukum ;
- Konsistensi putusan.[15]
- Perilaku Hakim di dalam dan di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Hakim
- Penilaian kinerja hakim dapat melibatkan pengguna pengadilan.[16]
[1] Kepala Divisi Administrasi Peradilan LeIP
[2] Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 angka 8, istilah yang digunakan adalah “menerima dan mengadili,” di mana cakupan mengadili adalah memeriksa dan memutus perkara.
[3] Independensi kekuasaan kehakiman tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama, independensi kolektif, yaitu kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga secara kolektif dalam hubungannya dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Kedua, independensi personal, yaitu kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim terkait dengan jabatannya.
Independensi personal terbagi dua, yaitu: (a) independensi subtantif, yaitu kemandirian yang diberikan kepada hakim dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi memeriksa dan memutus perkara serta menjalankan tugas resmi lainnya dan (b) independensi personal hakim, yaitu kemandirian yang diberikan kepada hakim selama yang bersangkutan menjabat sebagai hakim. Ketiga, independensi internal, yaitu kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim dalam berhubungan dengan kolega dan atasannya ketika melaksanakan tugas yudisialnya. Lihat lebih lanjut dalam Shimon Shetreet, “Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and Contemporary Challenges,” dalam Judicial Independence: The Contemporary Debate, (Martinus Nijhoff Publishers: 1985).
[4] Pim Elbers, Performance Indicators and Evaluation for Judges and Courts, http://www.coe.int/t/dghl/cooperation/cepej/events/OnEnParle/MoscowPA250507_en.pdf
[5] Diadopsi dari zaman penjajahan Belanda. Lihat lebih lanjut dalam Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, LeIP (Jakarta, 2010), hal. 389.
[6] Data tersebut adalah data statistik perkara. Data tersebut wajib dilaporkan setiap bulan dan tahunnya oleh setiap Pengadilan.
[7] Ibid.,
[8] Ibid., hal. 148.
[9] Ibid., hal. 149.
[10] Ibid., hal. 150, wewenang ini dapat didelegasikan kepada Wakil Ketua Pengadilan atau Hakim lain yang ditunjuk.
[11] Wewenang ini dapat didelegasikan kepada Wakil Ketua MA, Ketua Muda atau Hakim Agung lain yang ditunjuk.
[12] Global Measures of Court Performance adalah proses monitoring, menganalisis dan menggunakan data kinerja secara teratur dan terus menerus untuk tujuan transparansi dan akuntabilitas, dan peningkatan efisiensi, efektivitas, dan kualitas keadilan dan selaras dengan nilai-nilai dan area dari court excellence. Global Measures of Court Performance diterbitkan oleh International Framework for Court Excellence (IFCE). Beberapa lembaga yang terlibat dalam IFCE diantaranya; Balanced Scorecard Institute, the Danish Courts, the Dutch Quality Agency for the Judiciary, the European Commission for the Efficiency of Justice, the U.S. Federal Judicial Center, the U.S. National Center for State Courts, Praxiom Research Group, the U.S. National Center for State Courts, the Netherland’s RechtspraaQ, Finland’s Rovaniemi Court of Appeal, Singapore’s Subordinate Courts, the University of Western Australia, the U.S. Utah State Courts, and the World Bank.
Dalam Global Measures of Court Performance ukuran inti yang digunakan untuk menilai kinerja pengadilan terdiri dari; court user satisfaction (tingkat kepuasan pengguna pengadilan), access fees (rata-rata biaya pengadilan/kasus perdata), case clearance rate (persentase kasus teregister/kasus masuk), on-time case processing (persentase kasus yang diselesaikan sesuai dengan jadwal yang ditentukan), pre-trial custody (rata-rata waktu terdakwa menunggu sidang), court file integrity (integritas data pengadilan), case backlog (tumpukan perkara), trial date certainty (kepastian jadwal sidang), employee engagement (keterlibatan pegawai), compliance with court orders (kepatuhan terhadap aturan pengadilan), and cost per case (biaya per kasus).
[13] Disusun oleh National Center for State Court (NCSC), yaitu organisasi independen dan nirlaba yang merupakan wadah informasi (clearinghouse) penelitian serta pertukaran data dan pengetahuan seputar pengadilan untuk mendukung perbaikan kinerja pengadilan di Amerika Serikat. Pelaksanaan pekerjaan NCSC diarahkan oleh Asosiasi Ketua Pengadilan, Asosiasi Administratur Pengadilan, dan Asosiasi Pimpinan Pengadilan lainnya. Terdapat 3 kriteria dan 10 ukuran kinerja peradilan. 3 kriteria kinerja dimaksud adalah; fundamental court value, balanced perspective of the work of the court, and feasibility and sustainability.
Sedangkan sepuluh ukuran kinerja peradilan tersebut adalah: acces and fairness (akses dan keadilan), clearance rate (persentase kasus teregister/kasus masuk), time to disposition (kebutuhan waktu untuk desposisi), age of active pending caseload (usia perkara aktif yang tertunda), trial date certainty (kepastian jadwal siding), reliability and integrity of case files (keandalan dan integritas berkas perkara), collection of monetary penalties (pengumpulan denda), effective use of jurors (efektivitas penggunaan juri), court employee satisfaction (kepuasan pegawai pengadilan), dan cost per case (biaya per kasus). Terdapat 6 (enam) elemen kunci di dalam HPC yaitu; administrative principles, managerial culture, perspectives of a high performing court, performance measurement, performance management, dan quality cycle. Lihat lebih lanjut dalam Brian J. Ostrom dan Roger Hanson, Achieving High Performance: A Framework for Courts, (The National Center for State Courts Working Paper Series, 2010).
[14] Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009.
[15] Lihat lebih lanjut dalam Mahkamah Agung, “Kajian Pengembangan Sistem, Mekanisme, serta Tata Kerja Pengawasan, Penilaian Kualitas dan Kinerja Hakim,” (Jakarta: 2005), hal. 82-84.
[16] Keterlibatan pengguna pengadilan antara lain dalam melalui survey kepuasan pengguna pengadilan.